KOTA SERANG, biem.co –- Turunnya kebijakan terkait izin pemerintah terhadap liquid vape mendapat sambutan baik.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Republik Indonesia kini menyerahkan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) kepada pengusaha produk tembakau alternatif atau produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), pada Rabu (18/7/2018) lalu,
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Asosiasi Personal Vaporaizer Indonesia (APVI) Banten sekaligus CEO King Vapor, Audiar Lutfi Fadly (24th) mengaku sangat menyambut baik atas kebijakan pemerintah tersebut. Meskipun sempat ada negosiasi kepada pemangku kebijakan terhadap persentase cukai itu sendiri.
“Karena apa yang Vapers (red: pengguna Vape) cita-citakan sudah terwujud, legal diakui oleh pemerintah. Dengan seperti itu, liquid vape sendiri yang selama ini dipandang katanya narkoba, berbahaya dan lain sebagainya itu sudah dipatahkan lewat pengakuan dari pemerintah. Jadi, nggak ada lagi, tuh, vapers-vapers yang merasa ketakutan untuk ngevape,” tutur Audiar saat diwawancarai awak biem di King Vapor Serang, Senin (06/08).
Berdasarkan hasil kebijakan pemerintah, liquid vape akan dikenakan cukai sebesar 57 persen dari harga jual produk liquid vape itu sendiri. Hal ini tentunya akan memengaruhi daya beli masyarakat.
“Itu pasti mempengaruhi daya beli masyarakat. Dari cukai, 57 persen tersebut mungkin produsen liquid bisa lebih bijak untuk menurunkan harganya. Sehingga ketika liquid itu masuk kepasaran dan kena cukai pun tidak mahal untuk dipasarkan,” jelas Audiar.
“Sebenarnya, kita sendiri dari pelaku usaha vape merasa keberatan dengan cukai 57 persen itu, karena industri vape sendiri masih baru dan dikhawatirkan hal tersebut para pengusaha vape yang skalanya masih kecil itu mati bisnisnya. Perumpamaannya, kalau harga liquid itu Rp 100.000 dengan cukai 57 persen dari harga juga itu berati untuk cukai saja sudah Rp 57.000 itu berati konsumen harus mengeluarkan cost sebesar Rp 157.000,” imbuhnya.
Di samping itu. Audiar mengatakan produsen liquid juga memerlukan standarisasi usaha, seperti izin usaha industri dan lain sebagainya serta membutuhkan tahap yang panjang.
“Selain step yang panjang, butuh dana yang besar juga, banyak produsen liquid yang skalanya masih kecil takut untuk memproduksi lagi,” ujarnya.
Sekedar informasi, terkait pengenaan cukai terhadap liquid vape akan diberlakukan per 1 Juli 2018. Namun, pemerintah merelaksasi sehingga mulai dipertegas pada 1 Oktober 2018.
Audiar mengaku tidak ada penurunan konsumen semenjak berlakunya kebijakan tersebut.
“Karena liquid vape ini sudah legal, antusias konsumen justru meningkat, dulu malah lebih mahal harganya dari pada sekarang-sekarang ini. Karena dulu barang-barang yang dijual kita ambil langsung dari luar Indonesia. Jadi untuk konsumen masih stabil hingga saat ini. Dan untuk harga, saya rasa tidak mempengaruhi konsumen, karena liquid itu ada yang premium dan non-premium jadi kembali lagi ke kemampuan beli konsumen, kalau konsumen low budget itu bisa pilih yang non-premium. Intinya, vapers bisa memilih dengan budget dia untuk ngevape,” paparnya.
Audiar berharap dengan sudah legalnya liquid vape tersebut, tidak ada keraguan lagi di benak para vapers.
“Karena memang semenjak kemunculan vape di Indonesia banyak kabar burung yang mengatakan ngevape itu bahaya atau bisa meledak yang memang dibuat black campaign oleh beberapa pihak untuk menjatuhkan nama baik vape supaya antusias orang itu tidak terlalu beralih dari roko konvensional kevape. Justru, rumah sakit duluar negeri sana seperti US atau UK sendiri vape itu dianjurkan sebagai terapi pasien untuk berhenti merokok,” tandasnya. (Iqbal)