JAKARTA, biem.co – Sejumlah pecinta burung yang tergabung dalam Forum Kicau Mania Indonesia (FKMI) memprotes atas terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi baru-baru ini.
Dilansir laman CNNIndonesia Sejumlah anggota FKMI pun berunjuk rasa di depan Kantor KLHK pada Selasa (14/8). Mereka keberatan atas masuknya sejumlah jenis burung yang diklasifikasikan sebagai hewan langka, antara lain burung murai batu, jalak suren, dan anis kembang. Menurut FKMI, Permen LHK 20/2018 memberatkan peternak burung tersebut yang sudah membudidayakannya bertahun-tahun.
“Sedangkan di Indonesia itu puluhan ribu masyarakat sudah konservasi atau ternak burung jenis itu, kan lucu,” kata Ketua Advokasi FKMI, FD, di lokasi aksi. FD mengatakan jika Menteri LHK tidak mengubah permen tersebut, maka pihaknya akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Karena banyak masyarakat kecil yang menggantukan hidupnya pada peternakan ini,” ujar FD.
Senada juga dikatakan Budi satrio selaku pecinta burung kicau dari Tangerang, pemerintah harus meninjau ulang peraturan tersebut.”pemerintah harusnya meninjau terkait peraturan tersebut,jangan terkesan tergesa-gesa karena dilapangan juga banyak yang melakukan penangkaran burung jenis kicau, yang dirasa juga membantu menjaga populasi burung” imbuhnya
Tak berapa lama, dari pihak KLHK pun menerima perwakilan dari mereka untuk bermediasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno meminta masyarakat tidak khawatir dengan keluarnya Permen LHK 20/2018. Ia mengatakan kekhawatiran masyarakat akhir-akhir ini justru akibat maraknya penyebaran berita hoaks di bahwa penangkar burung akan dipidana.
“Jangan khawatir, Permen LHK 20/2018 tidak berlaku surut. Jadi tidak benar yang sedang memelihara atau menangkar burung seperti murai batu, pleci, cucak rawa, dan lain-lain akan dipidana. Itu hoaks,”ujar Wiratno melalui keterangan tertulis.
Wiratno menjelaskan berdasarkan kajian LIPI, jenis-jenis burung tersebut sudah langka habitatnya di alam, meski saat ini banyak ditemukan di penangkaran. Penetapan hewan dilindungi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, kriterianya yaitu mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
“Kajian LIPI ini sudah sejak 2015, jadi sudah lama. Data dari LIPI, dalam kurun waktu tahun 2000 sampai saat ini, terjadi penurunan populasi burung di habitat alamnya lebih dari 50 persen. Itu jumlah yang sangat besar,” kata Wiratno. Pihaknya juga menjelaskan untuk meningkatkan jumlah populasi di habitat aslinya telah dilakukan berbagai upaya konservasi di habitat atau insitu. Apabila tindakan konservasi insitu tidak berhasil, maka dilakukan tindakan konservasi eksitu yakni dengan melakukan kegiatan penangkaran yang hasilnya 10 persen harus dikembalikan ke alam.
“Jadi, tidak benar kalau penangkaran burung dilarang. Justru kita ingin mengatur dan menertibkan, agar terdata dengan lebih baik jumlah populasi habitat aslinya di alam,” kata Wiratno.
Dalam Permen LHK 20/2018 telah ditetapkan 919 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Sebanyak 562 atau 61 persen di antaranya merupakan jenis burung. Selanjutnya, untuk merespon keberatan masyarakat, khususnya dari komunitas pecinta burung berkicau akan diberlakukan ketentuan peralihan selama masa transisi.
Pengaturan masa transisi meliputi pendataan kepemilikan, penandaan, proses izin penangkaran dan atau izin Lembaga Konservasi sesuai dengan peraturan perundangan, yang nantinya akan diatur melalui Peraturan Dirjen KSDAE.
“Kami akan membuka posko-posko di seluruh UPT KSDA di setiap provinsi guna melakukan pendataan pada masyarakat yang telah memanfaatkan jenis burung tersebut di atas,” kata Wiratno soal izin penangkaran burung kicau tersebut. (IY)