biem.co — Komitmen negara berkembang untuk kemerdekaan Palestina tidak pernah surut. Sebagai perlawanan simbolis terhadap Amerika Serikat dan Israel, Kelompok 77 menunjuk Palestina sebagai pimpinan di Perserikat Bangsa-bangsa (PBB).
Komunitas Kelompok 77 dibentuk pada 1964 silam dengan tujuan mempromosikan ekonomi kolektif dan meningkatkan kapasitas negosiasi antar anggotanya. Saat ini, kelompok yang banyak dihuni negara berkembang itu telah memiliki anggota 135 negara.
Posisi kelompok ini di PBB memang tak bisa diabaikan. Ruang lingkup pembahasan agenda kolektif Kelompok 77 disebut mewakili total hampir 80 persen populasi dunia. Terpilihnya Palestina sebagai ketua kelompok untuk kepemimpinan 2019 oleh beberapa pengamat, disebut sebagai kemenangan diplomatik bagi Ramallah.
Dilansir dari Chanel-E, rencananya Palestina secara resmi akan menjadi pemimpin baru Komunitas 77, menggantikan Mesir, pada Januari 2019 nanti. Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menegaskan, keputusan ini menjadikan posisi Palestina semakin kuat. Dalam bernegosiasi misalnya, Palestina tentu mewakili 135 negara yang tergabung dalam Kelompok 77.
Di sisi lain, pihak Israel menyebut keputusan itu menjadikan Palestina sebagai oposisi yang kuat. Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengingatkan kalau tujuan utama dari Kelompok 77 adalah untuk memfasilitasi kemajuan ekonomi negara-negara berkembang.
“(AS dan Israel) masih menyangkal kami adalah sebuah negara, Kami berjalan seperti sebuah negara. Kami berbicara seperti negara. Karena itu kami adalah sebuah negara berdaulat” kata Mansour kepada The New York Times.
Langkah untuk memberi Palestina kursi kepemimpinan pada delegasi besar itu muncul ketika ketegangan dengan Israel meningkat, yang dipicu oleh memburuknya kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza, dan hambatan baru dalam proses perdamaian akibat kebijakan pemerintahan AS.
Keputusan Donald Trump untuk memenuhi janji kampanye pemilu Desember lalu, yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memicu kecaman luas di seluruh komunitas muslim dunia. Hal tersebut juga menyebabkan pemimpin Otorita Palestina memutuskan hubungan diplomatik dengan AS, menyatakan Gedung Putih tidak bisa lagi menjadi “perantara jujur” antara Ramallah dan Tel Aviv. [uti]