KolomRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Membaca Harapan Kesusastraan Banten

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

biem.co Membaca buku kumpulan sajak bertajuk Cita Puitika yang ditulis oleh Heru Huzainy, Laily Aulia Nurril, dan Irfan Abdullah Rahim, bagi saya, adalah membaca harapan kesusastraan Banten.  Harapan semacam ini, kurang lebih sama dengan harapan orangtua, kakak, nenek, saudara dan tetangga ketika menyambut kelahiran seorang bayi. Sebuah harapan baik yang lazim-lazim saja, karena harapan memang sudah semestinya senantiasa baik. Dari harapan baik itulah semua yang diperjalankan kepada masa depan disongsong dengan optimisme, sekalipun pada kenyataannya harapan selalu berhadap-hadapan dengan rasa takut.

Ketika harapan lahir di dalam diri seseorang tanpa ada tuntutan untuk memperkatakannya di depan siapapun, seseorang tidak selalu membutuhkan alasan kuat untuk berharap. Bahkan berharap karena harapan itu sendiri pun dapat dijadikan alasan. Tetapi jika harapan diperkatakan kepada orang lain, harapan yang semata-mata berharap tanpa “sesuatu” yang dapat dipercaya sebagai sumber lahirnya suatu harapan, maka harapan itu akan dianggap sebagai ilusi. Oleh karena itu, ketika saya mengatakan bahwa membaca Cita Puitika adalah membaca harapan kesusastraan Banten, saya perlu mengatakan dari mana mulanya harapan itu lahir.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sederhananya begini, ketiganya memiliki beberapa faktor yang menjadi bekal menjadi penulis sajak—yang sering diberi label penyair. Bekal yang saya maksud adalah karakter. Karakter yang saya maksud adalah kehadiran sajak-sajak mereka yang mampu membawa “warna” zamannya. Warna zaman yang saya maksud adalah kejujuran mereka menulis sajak-sajak yang tidak jauh dari realitas mutakhir (kekinian). Realitas yang saya maksud tidak selalu berkaitan dengan realitas sosial dalam pengertian umum, karena realitas itu dapat pula berupa gejolak batin di dalam dirinya sendiri atau jika dalam pengertian tertentu, realitas yang transenden karena realitas semata-mata hanya persoalan ide. Namun sekalipun realitas itu berupa gejolak batin yang bersifat pribadi atau bahkan yang transenden, tetap tidak dapat lepas dari lingkupan kebudayaan—tidak ada yang datang dari kekosongan, kata A Teeuw.

Dalam kaitannya, menandai warna suatu zaman melalui sajak tidak dapat dilihat dari tema-tema yang diangkat, karena pada dasarnya tema di dalam sajak dari itu ke itu saja. Tidak ada  tema yang baru di muka bumi ini. Tema ketuhanan, kemanusiaan, kebendaan, percintaan, kekeluargaan, dan sebagainya sudah ada dan terus ada seperti sampah yang didaur ulang. Menandai warna suatu zaman melalui sajak dapat dilihat dari bagaimana seorang penyair melihat, memahami, menghayati, dan memaknai “sesuatu” dengan “segenap perangkat” yang berlaku di zamannya.

Perangkat-perangkat yang saya maksud tidak lantas dijadikan landasan untuk membolehkan cara melihat, memahami, menghayati, dan memaknai seorang penyair menjadi sama sebagaimana kebanyakan orang. Sebaliknya, seorang penyair mesti mampu melampaui apa yang berlaku secara umum untuk sampai pada warna zamannya (bukan melampaui zamannya, saya tidak setuju dengan istilah ini). Karena sesungguhnya kebekuan,  ketidakberkembangan, atau ketidakmajuan sesuatu di hadapan manusia disebabkan oleh ketidakberanian menemukan kemungkinan lain di luar apa yang telah diwarisi dari generasi masa lalu. Tanpa memberikan tanda perubahan, suatu zaman akan dianggap sebagai zaman yang gagal, karena yang abadi di bumi yang tidak abadi ini adalah perubahan.

Memang berat menjadi seorang penyair. Lagi pula tidak ada yang mengharuskan menjadi penyair. Tidak ada yang mengharuskan penyair menjadi pemeluk teguh semangat perubahan yang mampu menunjukkan wajah zamannya sendiri. Tetapi ketika seseorang “ditakdirkan” menjadi penyair, dengan sendirinya akan juga menjadi manusia yang selalu gelisah oleh kehendak-kehendak terhadap perubahan (yang lebih baik). Perubahan yang saya maksud bukan berarti meniadakan sama sekali apa yang berlaku dari masa lalu. Perubahan bersifat akumulatif sebagaimana pengetahuan yang juga akumulatif.

Terkait tiga penulis di dalam buku ini, sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, semangat (upaya) terhadap perubahan terutama dalam aspek pola, gaya, dan cara pandang mereka, menjadi rahim dari lahirnya harapan bagi kesusastraan Banten. Tetapi saya tidak dalam rangka mengatakan bahwa narasi besar yang telah saya sampaikan adalah yang sepenuhnya telah dicapai oleh ketiganya. Ibarat pengertian yang kita pahami tentang realitas, apa yang telah dicapai oleh Heru Huzainy, Laily Aulia Nurril, dan Irfan Abdullah Rahim adalah “gejala”.

Perhatikan sajak-sajak Heru yang berputar pada tema percintaan berikut ini:

Lucu

Dulu kita pernah sedekat urat nadi
Sekarang kita mencipta jarak antara masyrik dan maghrib
Lucu, yaa…. hihihi

Serang, 2018

 

Chat

Mau apa kau malam ini?
Tidur. Makan. Nonton tv.
Ah, sudahlah, lupakan semua kegiatan yang monoton itu
Aku hanya mau chat sama kamu.

Serang, 2018

Caranya menulis sajak percintaan tidak mendayu-dayu (tidak diindah-indahkan) sebagaimana sajak-sajak cinta yang selama ini beredar. Dua sajak tersebut  nakal, jenaka, dan nyeleneh. Tidak ada diksi yang membuat sajak-sajaknya tampak berat atau “wah”. Lugas saja. Sederhana saja. Mudah dipahami. Tetapi bukan berarti dua sajaknya yang “seperti” bermain-main dapat dipandang sebelah mata. Kalau pun sekarang sajak-sajak Heru belum dapat dikatakan sampai pada “keyakinan” gaya dan bentuk yang kuat, kelak ia akan sampai pada gaya dan bentuk sajak percintaan yang keluar dari kebiasaan. Sebagaimana dahulu, kehadiran Joko Pinurbo sebagai penyair “yang diperhitungkan” karena ia mampu melarikan diri dari teror gaya dan bentuk para pendahulunya dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern, semisal Chairil Anwar, W.S Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Satrowardoyo, dan Goenawan Mohamad. Persoalannya kemudian, sebagaimana persoalan yang selalu dihadapi setiap penyair di muka bumi ini, apakah Heru siap untuk terus berproses untuk tidak menjadikan buku puisi Cita Puitika sebagai buku pertama sekaligus terakhir baginya? Tentu masa depan yang akan menjawab.

Sejurus tapi tidak satu hentakan dengan Heru, sajak-sajak Laily Aulia Nurril yang juga cukup didominasi oleh tema-tema percintaan, lebih terasa pekat dengan metafora yang cenderung berlapis dan, kadang, bertabrakan sehingga cukup sulit untuk benar-benar diketahui maksudnya, meski jika dilakukan rekonstruksi semantik, maksud tersebut dapat ditemukan. Dengan kata lain, Laily masih pada kebiasaan penulisan sajak cinta. Meski demikian, ada catatan lain yang menggembirakan, yakni perbendaharaan kata yang dimiliki Laily cukup kaya. Selain itu, ia tampak lebih memiliki keberanian untuk menciptakan metafora. Beberapa hal yang saya sebutkan itu, sebagai bekal kepenyairan, cukup layak diharapkan untuk mengisi jajaran penyair perempuan Banten yang terbilang langka.

Perhatikan dua sajak Laily berikut ini:

Senja di Tepi Pantai

Kita tersenyum dalam senja.
Saat ufuk barat menanti bola cahayanya hinggap.
Menyatukan kata yang terlalu lama merantai hati.
Aku kembali dengan perasaan yang kautitipkan
Dibalik gemuruh ombak.
Bersama kemurahan angin.
Aku bersimpuh di balik kata tanpa dusta
Hancurkan ego yang silaukan mata
Menyatukan puing-puing yang sempat terbang
Diterpa angin kesepian.

Serang, 2018

 

Munafik

Ada yang rimbun dalam gersang
Santun berpuih-puih lirih.
Sapanya merembas, sejuk setetes demi setetes.
Aku berusaha berdiri
Mencari sepoy
Meski nyatanya terlalu kencang.

Margawangi, 20 Juli 2016

Para pembaca dapat menemukan ungkapan-ungkapan menarik di dalam dua sajak tersebut, misalkan “Aku bersimpuh di balik kata tanpa dusta” dan “Ada yang rimbun dalam gersang”. Keberanian membuat ungkapan-ungkapan yang segar adalah “harta penting” yang dimiliki oleh Chairil Anwar” yang populer dengan “aku ini binatang jalang” (Aku), “Tambah ini menanti jadi mencekik” (Hampa), “antara kita mati datang tidak membelah” (Sajak Putih),  dan “kini tanah dan air tidur hilang ombak” (Senja di Pelabuhan Kecil). Keberanian yang sama (dengan kadar yang berbeda) dimiliki pula oleh Laily. Keberanian memunculkan ungkapan-ungkapan yang segar ini, jika terus ditekuni hingga sampai pada kebaruan dan keterukuran pada akhirnya akan bermuara pada perawajahan zamannya. Misalkan kelak para pembaca akan mendapati sajak-sajak Laily yang anti dead metaphor (metafor yang terlalu klise, sudah tidak memiliki lagi daya ekspresif, dan sudah membeku) sebagaimana seorang penyanyi yang tidak pernah fals.

Terakhir, sajak-sajak Irfan yang terbilang cukup matang. Capaian sajak-sajaknya di dalam buku ini menunjukkan ia telah berupaya bersabar di dalam menulis, meski tidak semua menunjukkan gejala yang sama. Kata yang dipilih dan kalimat yang dibentuk terlihat cukup teratur sehingga nyaman dibaca dan dapat dijejak makna yang hendak disampaikan. Barangkali ini yang dimaksud oleh Sapardi Djoko Damono di dalam buku Sihir Makna Rendra tentang keindahan sajak: keindahan sajak adalah keindahan yang konkret: dapat dimaknai dengan baik.

Sajak-sajak Irfan yang liris bangunannya prismatis, maksud saya, tidak terlalu terang benderang seperti berita koran mingguan, tidak juga gelap gulita seperti mantra berbahasa purba. Perhatikan sajak berikut ini:

Yang Berjarak

Malam terbentang jarak menuju pagi
Waktu dapat menghabiskannya
Dengan berbagai upaya tanpa menyisakan apapun
Kita bahkan tidak mengerti
Mengapa kita begitu sabar menghitung
Kesepian-kesepian yang tidak berujung ini?

Dari menit ke menit
Kebisuan perlahan turun dari langit
Dan matamu
malam tanpa setitik bintang
Datang kepadaku

Aku dapat menghabiskan ketidak tahuan ini
Dengan berkata lewat jejak angin
Yang dengan malu masuk kedalam kamarku
“Aku merindukan mu”

Malam ini adalah suasana paling baik untuk mengenang
Cinta yang telah aku bagikan dengan tekun

Seperti waktu

2018 

Sebagai sajak, ianya bolehlah dikatakan sajak yang “cukup menjadi”. Kemudian yang menjadi PR untuk Irfan adalah bagaimana mampu keluar dari pola yang telah dilakukan oleh para penyair pendahulunya—yang bahkan ramai sekali yang menulis dengan cara itu. Karena berbicara sajak yang mampu mewakili zamannya, baik saja tidak cukup. Sangat baik pun tidak cukup. Sebagaimana yang telah saya sampaikan di awal, Irfan harus mampu menemukan dirinya sendiri sebagai seorang penyair sehingga para pembaca dapat membedakan mana sajak yang ditulis oleh Irfan dan mana yang ditulis oleh penyair lain tanpa perlu melihat nama penulisnya di bawah judul puisi.

Sebagai pengantar, saya cukupkan di sini. Sebagai keterangan, perlu saya sampaikan bahwa ketiganya tercatat sebagai mahasiswa di UIN SMH Banten, yang tentunya masih sangat muda. Ketiganya pemuda yang aktif berorganisasi, terutama dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HmI). Ketiganya menulis sajak-sajak bertema percintaan, yang secara umum profan. Dari kesamaan-kesamaan itulah buku sajak ini sampai di tangan para pembaca. Tetapi kesamaan-kesamaan tersebut tidak lantas membuat sajak-sajak ketiganya menjadi sama. Mereka menulis dengan cara dan gayanya masing-masing.

Terakhir, tidak dapat dipungkiri, pada pendekatan tertentu, ada persoalan-persoalan elementer yang belum benar-benar terpenuhi oleh ketiganya. Persoalan elementer ini perlu dibicarakan secara intens dan mendalam karena menyangkut kekuatan sajak, termasuk kekuatan para penyair di dalam menulis. Tetapi saya pikir, untuk saat ini belumlah perlu dibicarakan.

Cilegon, 21 Juli 2018


Muhammad Rois Rinaldi, penerima Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Utama Penyair Asia Tenggara (Esastera, 2015 & 2016).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button