biem.co — Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Index (AQI) Jakarta berada pada angka 182. Angka ini menunjukkan indeks paling tinggi di seluruh dunia.
Kondisi ini yang menyebabkan dinobatkannya Jakarta sebagai kota paling berpolusi di dunia versi pemantau kualitas udara Amerika Serikat bernama Air Visual.
Melansir dari laman CNN, udara yang tercemar ini tak cuma membuat udara yang dihirup semakin menyesakkan, tapi juga menguras kantong negara dan pribadi semakin dalam.
Polusi udara yang sangat tercemar ini ternyata berdampak meningkatkan biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat dan negara.
Biaya kesehatan di Indonesia akibat polusi udara menurut laporan terbaru Global Subsidies Inisiatives (GSI) dari International Institute for Sustainable Development, (yang ditanggung masyarakat pribadi maupun negara) mencapai Rp50 triliun tiap bulannya.
Laporan tersebut didapat dengan menganalisis beberapa sumber penelitian terdahulu. Salah satu penulis laporan GSI, Bernadethe Luan memaparkan temuannya fokus pada biaya kesehatan akibat polusi yang didapat dari batubara di Indonesia.
Batu bara menjadi fokus penelitian lantaran pembakaran batubara merupakan penyumbang paling besar dalam polusi udara selain transportasi.
Bernadethe menyebut polusi akibat pembakaran batubara yang menghasilkan nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan materi partikel halus (PM) itu dapat menyebabkan berbagai penyakit. Selain itu, batubara juga mengandung merkuri yang beracun dan berbahaya. Dalam laporan itu, Bernadethe menemukan PM2,5 di Jakarta mencapai 28 atau dua kali lipat lebih tinggi dari ambang batas WHO yang hanya 10.
Bernadethe menambahkan Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir terbesar di dunia untuk batubara. Selain itu, sebanyak 60 persen pembangkit listrik di Indonesia berasal dari batubara. Pembakaran batubara ini berkontribusi terhadap udara Indonesia yang tercemar.
“Pembakaran batubara itu penyumbang paling besar. Dari 10 kematian akibat polusi udara ambien, dua di antaranya kematian akibat batubara,” kata Bernadethe dalam saat mempresentasikan temuannya di Jakarta, Kamis (26/7). (IY)