InspirasiOpini

Arif Budiman: Integritas dan Kompetensi Pejabat Publik

Oleh: Arif Budiman

biem.co — Banyak orang percaya bahwa orang baik harus menduduki jabatan publik. Orang baik diyakini memiliki kepedulian sosial yang tinggi, mampu menjaga jarak dari godaan penyalahgunaan wewenang dan jabatan, dan cenderung menempatkan keberpihakan kepada kelompok masyarakat kebanyakan. Dengan kata lain, orang baik lebih berpeluang mendatangkan kebahagiaan daripada kekecewaan dalam segala kebijakan yang dikeluarkan.

Pernyataan di atas hampir diperlakukan sebagai sebuah postulat. Diterima sebagai sebuah kebenaran logis tanpa harus bersusah payah menggelar fakta sebagai alat bukti dan verifikasi. Tak terbantahkan sejak pernyataan tersebut dikeluarkan. Sahih dengan sendirinya.

Orang baik lekat dengan sematan integritas. Yakni, konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip yang diyakini. Dalam bahasa yang berbeda, integritas merupakan wujud keutuhan prinsip moral dan etika dalam diri seseorang. Tak salah jika kemudian integritas selalu dikaitkan erat dengan kejujuran dan kekuatan karakter seseorang, termasuk dalam konteks pengembanan jabatan publik.

Di tengah banyaknya tuntutan akan integritas bagi seorang pejabat publik, terdapat satu variabel penting yang acapkali luput dari perhatian, yaitu kompetensi. Pengabaian terhadap kompetensi bisa terjadi baik karena kealpaan maupun sebab kesengajaan.

Euphoria tentang ‘orang baik’ seringkali mengalihkan banyak pandangan dari elemen penting lain yang seharusnya juga ada di sana. Karena merasa cukup dengan status ‘orang baik’, banyak orang kemudian menutup peluang bagi kontribusi variabel ‘kompetensi’ yang tak kalah penting. Bukan sebab diniatkan, melainkan faktor ketidaksengajaan.

Pada bagian yang lain, kecukupan dengan status ‘orang baik’ sengaja dikampanyekan untuk kepentingan menutupi kelemahan. Manakala jabatan publik tidak hanya menuntut profil berstatus ‘orang baik’ tetapi juga ‘kompeten’ sementara yang tersedia hanya ‘orang baik’ maka tema-tema kompetensi sengaja dihilangkan dari objek pembahasan. Sebab, diskusi tentang ‘kompetensi’ sama saja melucuti kelemahan sosok yang ‘diperjuangkan’. Mengundang kegagalan.

Dalam perjuangan memperebutkan jabatan-jabatan politik, hal yang demikian lumrah ditemukan. Meskipun begitu, kompetisi dalam menduduki jabatan-jabatan administratif juga tak jauh berbeda.

Namun demikian, kelumrahan suatu fenomena tak bisa menjadi alasan pembenar untuk melanggengkan keadaan. Apalagi, kebiasaan tersebut terbukti tidak menguntungkan. Bagi publik dan sistem kelembagaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam setiap proses seleksi jabatan publik, baik administratif maupun politik, sudah sepatutnya mensyaratkan tak hanya integritas tetapi juga kompetensi.

Status sebagai ‘orang baik’ saja tidak cukup untuk mengemban amanat pengelolaan urusan-urusan publik. Mengingat konsekuensi dari setiap sikap dan kebijakan yang diperjuangkannya, maka bagi setiap pejabat publik tak cukup hanya menjadi ‘orang baik’ tetapi juga harus kompeten. (red)


Arif Budiman, merupakan Pengamat Sosial Politik. Tinggal di Tangerang Selatan.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button