biem.co — Tahun depan pendapatan negara akan menembus Rp2.000 triliun untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Seperti diberitakan BBC, prediksi itu berdasarkan target kenaikan sebesar 15 persen atas target penerimaan tahun ini sebesar Rp1.903,8 triliun.
Ia menjelaskan penerimaan tahun ini ditopang oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak dari harga minyak yang meningkat dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
“Penerimaan pajak tahun ini sendiri masih mengalami shortfall, atau kurang dari target, hanya 95,69 persen dari target Rp1.618,1 triliun,” tandasnya.
Diketahui, ini bukan pertama kalinya Indonesia mengalami shortfall penerimaan pajak. Tahun lalu, penerimaan pajak hanya sebesar 91 persen dan dua tahun sebelumnya hanya sekitar 83 persen.
Bahkan, menurut pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo, Indonesia selama 10 tahun belakangan selalu mengalami shortfall penerimaan pajak.
“Ini disebabkan oleh perencanaan yang targetnya terlalu tinggi terutama dalam tiga tahun terakhir, tidak memperhitungkan tekanan ekonomi global dan faktor pemulihan ekonomi,” papar Yustinus, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Ia menuturkan, target penerimaan yang terlalu tinggi itu disebabkan target pertumbuhan ekonomi yang juga tinggi.
“Rumus kita berapa pertumbuhan dulu, lalu akan terukur pengeluaran kita berapa baru dicari sumber penerimaannya,” jelas Yustinus.
Jadi rumus APBN kita, imbuhnya, bukan kita punya uang berapa, itu yang kita belanjakan.
Sedangkan menurut Haula Rosdiana, Dosen Perpajakan dari Universitas Indonesia, shortfall penerimaan pajak disebabkan oleh rendahnya kepatuhan pajak (tax compliance) para wajib pajak.
“Sadar pajak belum tentu menimbulkan patuh pajak apabila pemerintah belum mempunyai fiscal legitimacy,” ungkap Haula.
Di sisi lain, Yustinus mengingatkan bahwa pajak juga tidak bisa dipaksakan karena tidak baik untuk perekonomian.
Lantas bagaimana pengaruh amnesti pajak 2016-2017 dalam penerimaan pajak tahun ini?
Yustinus menjawab bahwa amnesti pajak tak bisa diukur jangka pendek, dan hanya akan efektif setelah dua tahun.
“Karena amnesti ini tidak semuanya berupa objek pajak baru tapi ada sebagian objek lama tapi baru dilaporkan sekarang dan itu juga butuh upaya-upaya analisis termasuk tindak lanjut,” kata Yustinus.
Bagaimana jika dibandingkan negara lain?
Jika ukurannya tax ratio atau perbandingan penerimaan terhadap PDB, Indonesia termasuk yang terendah di antara negara-negara pendapatan rendah-menengah, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, India, dan Cina.
Namun jika ukurannya adalah cost collection, Indonesia sebenarnya sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara lainnya, seperti dikatakan Haula Rosdiana yang juga menjabat sebagai Sekjen Indonesian Fiscal and Tax Administration Association .
“Jadi relatif efisien apabila dilihat dari indikator CCER,” ujar Haula.
Meskipun demikian, Yustinus optimistis bahwa kita akan dapat mengejar penerimaan negara.
“Akses keuangan oleh petugas pajak, pertukaran informasi Internasional dan lain-lain baru dimulai tahun ini. Jadi kemungkinan dampaknya baru bisa dirasakan tahun depan dan selanjutnya,” papar Yustinus. (IY)