Oleh: Udi Samanhudi
Hari Raya Idul Fitri tinggal menghitung hari dan itu artinya bulan Ramadhan yang dijanjikan Allah SWT sebagai bulan yang penuh ampunan dan bulan diterimanya setiap do’a (syahrul istijabah) ini akan dengan segera pergi meninggalkan kita semua. Tentu semua dari kita berharap bulan suci ini akan kembali kita temui di tahun mendatang dengan energi yang insya Allah jauh lebih besar kita siapkan untuk menundukan berbagai jenis syahwat yang notabene merupakan ujian bagi setiap insan. Sehingga, kualitas ibadah kita di bulan suci Ramdahan nanti lebih baik dari apa yang sudah dan sedang kita lakukan pada Ramadhan kali ini.
Jelang akhir Ramadhan di Inggris Raya tepatnya di kota Belfast ibukota Irlandia Utara tak nampak suasana riuh mudik seperti yang banyak dan lazim kita temui di bumi pertiwi. Di sini, semua kegiatan ibadah ramadhanpun berjalan seperti biasa dengan suasana masjid atau Islamic Centre masih dipadati para muslim yang melakukan ritual keagamaan selama bulan Ramadhan-buka puasa bersama (iftar), shalat tarawih dan juga i’tikaf. Di tanah air, sudah bisa dibayangkan, mal-mal dan shoping centre dipastikan jauh lebih penuh sesak para pencari baju baru dan kue-kue khas lebaran untuk dikenakan dan dinikmati bersama keluarga dan sanak famili di hari raya. Mesjid-mesjid biasanya mulai kehilangan jamaahnya sehingga jumlah saf shalat tak lagi banyak seperti di awal-awal Ramadhan.
Puasa ramadhan yang hampir lebih dari 19 jam setiap harinya terutama di daratan Eropa di musim panas ini akan segera berakhir. Terlepas dari segala tantangan yang dihadapi, setidaknya puasa Ramadhan yang kami jalani di salah satu kota pendidikan di Inggris Raya ini memberikan beberapa kesan yang kuat melekat dalam benak kami sebagai pendatang (baca: mahasiswa internasional) terutama kaitanya dengan toleransi dan solidaritas sesama muslim sebagai kelompok yang bisa dikatakan minoritas di kota ini meski di Irlandia Utara sendiri jumlah muslim saat ini sudah mencapai kurang lebih 5000 jiwa.
Di Belfast ini kami menemukan sekaligus merasakan harmonisnya hubungan sesama muslim terlepas dari ras, warna kulit dan majhab yang dianut. Sebagai umat minoritas di bumi Britania, nyaris setiap muslim berbagi dan saling mendukung satu sama lain tanpa sedikitpun membuka perdebatan atau perselisihan paham seputar praktek-praktek ritual keagamaan. Semua muslim baik penganut aliran syiah maupun sunni, pengikut majhab Imam Hanafi, Hambali maupun Syafi’i duduk dan berkumpul bersama dalam melakukan ibadah shalat lima waktu, tarawih ataupun iftar atau buka puasa bersama yang biasa kami lakukan di beberapa Islamic Centre atau mesjid yang ada di kota Belfast selama bulan Ramadhan ini. Tidak nampak, misalnya, perdebatan jumah raka’at saat tarawih pernah kami temukan selama mengikuti shalat sunah di bulan Ramadhan ini di masjid kampus. Semua jamaah mengikuti apapun yang dilakukan oleh imam terlepas dari perbedaan jumlah rakaat yang mungkin saja berbeda di hari berikutnya karena imamnya kebetulan dari pengikut majhab yang berbeda dari imam sebelumnya. Sesuai dengan ‘fitrahnya’ mak’mum seyogyanya akan selalu berusaha mengikuti imamnya. Dan, dalam ritual shalat lima waktu maupun tarawih selama bulan Ramadhan ini, konsep ‘makmum’ dan ‘imam’ ini benar-benar kami rasakan. Toleransi dan saling menghormati benar-benar terasa amat sangat dijunjung tinggi sehingga kegiatan shalat lima waktu maupun shalat sunah tarawihpun selama ini kami rasakan sangat nyaman dan khidmat.
Ramadhan di kota Belfast ini juga memberikan kami pelajaran lain seputar makna persaudaraan antar sesama muslim yang sama sekali tak terkotakan. Islam adalah sebuah agama rahmatan lil alamin, dan muslim adalah para hamba Allah SWT yang beruntung karena hakikat sesama muslim adalah saudara satu sama lain. Artinya, saling membantu, menyayangi, menghargai dan menghormati sudah selayaknya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagai seorang muslim. Dan, bulan ramadhan di kota Belfast ini betul-betul merealisasikan makna persaudaraan dalam konteks islam yang selama ini selalu disuarakan oleh setaip muslim di berbagai penjuru dunia. Setidaknya, secara pribadi saya masih sangat dibuat terkesima oleh seorang muslim Somalia yang kebetulan juga seorang imigran di kota ini saat beliau membawakan sekaligus meletakan makanan dan minuman untuk saya santap saat berbuka bersama di sebuah mesjid di lingkungan kampus Queen’s University. Dengan senyum ramahnya, beliau menyuguhkan sepiring kurma dan segelas susu, ‘for you, brother?’ ucapnya.
Itulah setidaknya rekaman pengalaman menjalani puasa di bulan Ramadhan di Kota Belfast Inggris sampai hari ini, minggu terakhir di bulan suci Ramadhan. Berkah puasa Ramadhan telah mampu mempersatukan dan menciptakan kehangatan silaturahmi diantara sesama muslim di kota ini dan menjadikan puasa dengan durasi yang sangat panjang ini tidak seberat yang kami bayangkan sebelumnya, Insya Allah.
Udi Samanhudi adalah Akademisi Untirta, Awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemenkeu RI dan saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang Teaching of English for Speakers of Other Languages and Applied Linguistics, Queen’s University of Belfast, United Kingdom.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi