“Hikmah itu (kebijaksanaan) sama halnya meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, baik ilmu maupun amal”
SAAT ENGKAU MENGETAHUI bahwa seluruh kenikmatan semata-mata berasal dari Allah swt. maka inilah ilmu yang mendorong lahirnya rasa syukur. Ilmu ini hukumnya wajib karena termasuk bagian keimanan kepada Allah swt. Dia berfirman, yang artinya;
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian. Maka (semua itu) dari Allahlah (datangnya).” (QS. an-Nahl [16]: 53)
Bersyukur kepada pemberi nikmat merupakan hal wajib karena termasuk bagian dari keimanan. Karena itu, ahwal yang tumbuh dari ilmu ini berupa kegembiraan dan kebahagiaan yang disebabkan oleh nikmat-nikmat Allah swt.
Dalam konteks ini, kegembiraan berarti syukur sebab ditunjukan untuk dirinya sendiri. Hukumnya pun wajib, dan termasuk bagian serta buah dari iman kepada Allah swt.
Demikian pula dengan perilaku syukur yang ditujukan untuk dirinya sendiri maupun selain dirinya. Ditunjukan untuk dirinya sendiri sebab memanfaatkan kenikmatan sesuai dengan tujuan penciptaan dan menjadi kesempurnaan hikmah.
Sedangkan yang ditunjukan untuk selain dirinya guna memelihara nikmat-nikmat yang ada sekaligus menambahkannya. Singkat kata, syukur artinya menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan pemberiannya.
Dengan begitu, barang siapa memiliki ahwal yang sedang, hingga mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, berarti ia adalah orang bijak. Sebab hikmah itu (kebijaksanaan) sama halnya meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, baik ilmu maupun amal.
Dan Allah-lah Maha Pemberi pertolongan.
***
*) Naskah diambil dari buku “Taman Kebenaran; Sebuah Destinasi Spiritual Mencari Jati Diri Menemukan Tuhan” yang diterbitkan Turos. Terjemahan singkat dari Kitab Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin karangan Imam al-Ghazali. Penerjemah: Kaserun AS. Rahman.
