biem.co — Kekurangan ekonomi tidak menjadi hambatan yang berarti bagi Siti Aisyah (21), dara kelahiran Pandeglang, Banten. Meskipun kondisi orangtua yang hanya berprofesi sebagai petukang barang bekas, tapi ia mampu bangkit.
“Orangtua saya petukang kerompongan, ngambilin botol aqua dan kardus bekas,” seru Aisyah, sapaan akrab gadis asal Picung, Pandeglang ini.
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan itu, ternyata ia, dianugerahi Tuhan memiliki dua sosok orangtua yang kaya semangat hidup, hingga membuatnya berani melangkahkan kaki demi meraih cita-cita.
Semangat itulah yang akhirnya menyulut bahkan mengobarkan tekadnya untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Awalnya memang tidak akan melanjutkan kuliah, karena ya ekonomi keluarga nggak memadai,” cerita Aisyah.
Tapi, imbuhnya, karena tekad yang kuat dibantu doa dan dukungan orangtua, akhirnya saya paksakan untuk masuk kuliah.
“Kata bapak, insyaAllah ada jalan, yakin aja,” ujarnya, menyerupai pesan bapak.
Akhirnya, masuk kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Banten, tepatnya di jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah.
Setelah berhasil masuk kuliah, ia bingung mencari biaya dari mana. Hal itu membuatnya harus berjibaku mencari peluang dan informasi beasiswa dengan kondisi waktu itu masih kudet (baca: kurang update).
“Maklum lah, selama 6 tahun sebelum memutuskan kuliah, saya ngendep fokus belajar di ponpes Al-gifari Al-bantani. Jadi, nggak keluar-keluar,” kata Aisyah, yang kini berada di semester 6 itu.
“Eh, ada informasi beasiswa Satu Keluarga Satu Sarjana (SKSS) dari Baznas Provinsi Banten di mading kampus,” paparnya, saat ditemui biem.co dini hari di kantor Baznas.
Alhasil, saya langsung menelusuri dan menjajaki setiap prosesnya. Penuh perjuangan dan doa.
“Alhamdulillah, saya lolos sebagai penerima beasiswa SKSS di tahun 2015. Bersyukur banget,” ungkapnya, penuh haru.
Usai mendapat tanggungan biaya kuliah selama 8 semester dari program SKSS, Aisyah aktif sebagai relawan.
“Jadi relawan Baznas, selain mendapat tambahan ilmu juga diajarkan untuk memiliki jiwa sosial atau kepedulian terhadap masyarakat sekitar dengan mengikuti kegiatan sosialnya,” paparnya.
Saya sedih, lanjutnya, karena tinggal 1 (satu) tahun lagi mengabdi di Baznas.
Saat ditanya soal cita-cita dan hal yang akan dilakukan setelah menjadi sarjana, Aisyah bertekad ingin menyejahterakan dan menghidupkan semangat hidup masyarakat di kampungnya, terlebih dalam hal keagamaan.
“Jujur masalah keagamaan dan pendidikan di sana sangat sulit, jadi saya harus memberikan semangat dan pemahaman. Ini jadi PR buat saya,” tandasnya.
Itu akan ia lakukan, selain sebagai tugas akhir dari penerima beasiswa SKSS, juga sebagai rasa kepedulian dan pengabdiannya kelak.
“Motivasi belajar sekarang adalah orangtua. Kayaknya kalau nggak ada semangat dari mereka udah putus harapan,” kata Aisyah, sambil menundukkan kepala.
Saya itu, sambungnya, memiliki moto hidup bergerak atau mati. Sebab, saya bukan orang pinter, nggak cerdas juga tapi mau berjuang.
“Jadi kalau nggak gerak akan pasif. Alhasil, meskipun saya nggak bisa tapi saya mau berjuang, untuk masalah kesalahan, kekurangan, dan hal lainnya bisa dijadikan pelajaran. Jadi lebih baik saya gerak meski salah daripada diem,” seru, kakak dua adik ini.
Intinya, ke depan, selain mengajar sebagai lulusan tarbiyah, saya ingin menjadi penggerak sosial, khususnya di daerah sendiri.
Untuk semua anak muda khususnya di Banten, Aisyah berpesan agar tidak terbawa arus pergaulan yang tidak baik.
“Kalau urusan melakukan kebaikan, mau malem, siang, sore, atau pagi nggak masalah. InsyaAllah, orangtua pun akan mendukung sebab ini untuk kepentingan sosial,” tutupnya. (Af)