Oleh: Rudi Rustiadi
Judul : Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu
Penulis : Ade Ubaidil
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : 210 Halaman
ISBN : 978-602-6651-47-1
biem.co — Saat membaca judul dan melihat cover Kumcer Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu (Basabasi: 2017) karya Ade Ubaidil, penulis muda potensial asal Cilegon ini, imajinasi saya melayang tentang cinta. Dengan cover buku puswawarna, praduga saya berspekulasi buku ini akan banyak diisi dengan permenungan romansa cinta yang klise, tentang rindu atau dayu-dayu kegalauan remaja. Akan tetapi, perhitungan itu seketika patah saat saya rampung membaca cerita pertamanya. Ada hal lain yang menarik selain cinta dalam buku berisi 19 cerita ini, yaitu agama. Isu paling sensitif untuk dijadikan tema cerita atau sekadar obrolan di warung kopi.
Agama dan Tuhan, kesatuan paket tersebut dalam dunia kesusastraan merupakan sebuah tema pembahasan yang menarik setelah cinta─barangkali karena kerap menimbulkan pertentangan paradigma antara penulis dan pembaca. Namun tak jarang pula antara penulis dan pembaca menunjukkan perspektif tunggal. Agama sebagai batasan (hukum) serta sastra yang imajiner tanpa margin.
Sekilas keduanya tidak akan bisa disatukan dalam satu frame yang sama. Namun sifat sastra yang tidak memiliki batasan pulalah yang pada akhirnya menyeret agama beserta batasan-batasannya ke dalam dunia sastra, tak terkecuali Tuhan. Sebab berbicara agama, pastilah juga ada Tuhan di dalamnya.
Dua entitas yang kontradiktif itu (agama dan sastra) juga terwujud dalam karya terbaru Ade Ubaidil. Tengok saja cerita surealis Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka misalnya, cerpen ini mengisahkan tentang seorang adik yang menengok kakaknya di neraka. Setelah berdebat panjang dengan malaikat Malik, sang adik diperbolehkan masuk ke neraka dengan satu syarat, melepas sandal yang dipakainya. Ia meyakini betul bahwa setelah meninggal karena menenggak miras oplosan, Allah akan membuang kakaknya ke neraka.
Di sana ia banyak menyaksikan kejanggalan. Orang yang ia kenal baik dan soleh semasa hidupnya banyak berada di neraka, sedangkan pezina, pemabuk, penjudi tidak ia lihat. Yang paling membuatnya kesal adalah guru mengajinya yang ia anggap suci dan terjaga dari dosa teryata ada juga di neraka.
Protes keras ia layangkan kepada malaikat penjaga pintu neraka dengan menyombongkan ilmu agamanya, ia sangat yakin telah khatam dengan ilmu pahala dan dosa. Dengan pengetahuannya itu, ia meyakini bahwa Allah telah salah memosisikan orang. Guru mengajinya tak semestinya di neraka dan kakaknya yang ia yakini di sana justru tidak ia temukan.
Setelah perdebatan sengit dengan Malik, barulah ia tersadar bahwa diri dan pengetahuannya teramat kecil di hadapan Allah. Pengetahun agamanya tidak dibarengi dengan kerendahan hati. “Begitulah manusia. Dari pengetahuannya yang terbatas, mereka selalu merasa tahu segalanya. Bahkan soal kehidupan seseorang yang dinilai secara sepihak. Itulah kesalahan manusia. Penempatan surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah. Tiada satu pun dari makhluk-Nya yang bisa memastikan itu, sekalipun Rasulullah.” Kalimat dari Malik dalam cerita inilah yang membuatnya tersadar, bahwa tidak satupun dari kita—manusia—yang bisa mendahului ketentuan Allah.
Pada akhirnya, ia mengerti mengapa sandal yang ia gunakan tidak boleh dibawa masuk ke neraka. Sandal yang ia pakai itu milik kakaknya, sandal itu tak pantas masuk neraka sebab pemiliknya berada di surga. Itulah alasan kenapa ia harus melepas sandalnya untuk bisa masuk ke neraka. Namun disayangkan dalam cerita Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka ini tidak dijelaskan mengapa kakaknya yang seorang pemabuk itu bisa masuk surga. Ini menjadi satu pertanyaan besar bagi pembaca.
Namun dari cerita ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa, barangkali memang hisab Allah tidak seperti cara kita berhitung di dunia, dan apa yang kita lihat dari seseorang berbeda cara dengan Allah─yang memiliki dua asisten pencatat amal baik dan buruk─yang siap mengawasi 24 jam penuh. Hanya Allah Mahakuasa dan Mahasegalanya yang mengetahui, sedang manusia tidak bisa menghakimi manusia lain atas nasibnya di akhirat layaknya Allah. Manusia tidak akan bisa dengan pasti mengetahui ketentuan Allah. Hukum kausalitas di dunia tidak bisa kita persepsikan untuk kehidupan manusia di alam akhirat.
Dalam buku ini sebenarnya penulis berusaha mengangkat keberagaman tema, seperti kritik sosial, cinta atau hal lainnya, namun hal yang menarik bagi saya adalah tema agama yang coba disajikan Ade. Dari 19 Kumcer ini cerita yang bertemakan agama selanjutnya ialah Kupu-kupu Kematian, Jejalon Ibu, Yang Mati di Bubungan, Lelaki yang Merasa Dibercandai Tuhan, Sepeda Keranjang dan Pohon Kersen.
Yang menarik lagi untuk direnungi adalah cerita Kiai Peci Miring. Berkisah tentang Badrun, anak seorang Kiai yang berkerja sebagai tukang semir di depan sebuah bar dan diangkat menjadi Kiai setelah bapaknya meninggal. Di akhir kisah, warga terseret bajir bandang akibat mempersekusi Badrun yang dianggap mereka Kiai “gendeng” yang doyan ke bar. Padahal mereka sendiri gemar ke sana bahkan sebagian mereka berprofesi sebagai petugas keamanan.
Secara universal, Kumcer dalam buku ini ditulis dengan cukup menarik. Banyak twist mengejutkan, hingga menghancurkan tafsir dan praduga yang dibangun pembaca. Dengan caranya menulis cerita, Ade berhasil menggambarkan pandangannya akan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya. Dari Kumcer ini juga kita bisa menemukan bahwa sastra dan agama adalah dua hal yang mencerahkan. Sebab sastra adalah salah satu kepedulian dan cara penulis menunjukan perlawanan dan pertahanan terhadap hal negatif di sekelilingnya.
Di sisi lain, kekurangan buku ini terletak pada penulisnya yang belum mengeksplor talentanya dengan maksimal. Tema dan tokoh yang dibuat merupakan hal yang dekat dengan dirinya. Penulis belum melakukan riset yang jauh untuk keluar dari zona pengetahuannya, sehingga dapat menghadirkan tokoh-tokoh baru yang tidak berkutat seputar dunia kepenulisan, Kiai atau tokoh yang biasa ia tulis. Jika Ade berusaha untuk melakukan itu—riset dan mengeksplor dirinya—bukan tidak mungkin ia dapat menciptakan cerita yang lebih menarik dan memperkaya makna dari pesan cerpen yang ditulisnya.
Melalui Kumcer Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu ini Ade lebih berani “bermain-main” dengan imajinasinya, tanpa melupakan pesan yang tentunya selalu ia sisipkan dalam cerita yang ia tulis. Menarik juga, dengan label penulis muda, Ade justru tidak memilih menjadi penulis kekinian dengan mengangkat tema-tema cinta remaja pada umumnya.
Dalam cerpen-cerpennya kali ini, Ade banyak mengeksplorasi imajinasinya dengan menulis cerita-cerita surealis. Itu menandakan bahwa penulis sudah sampai pada kedewasaan dalam menulis, juga bahwa penulis lahir dari pondasi referensi yang kokoh. Satu hal yang perlu diingat juga, bahwa kepekaan melihat kondisi disekelilingnya memang menjadi kunci produktifitas Ade dalam menulis cerita. Ade banyak menciptakan cerita dari kepekaannya memotret kehidupan sosial saat ini. Di matanya, semua hal bisa difiksikan.
Itu jugalah yang menjadikan cerpen-cerpennya memuat perenungan yang asyik untuk jadi bahan intropeksi diri. Cerita-cerita yang ia tulis mengajak kita kembali melihat kondisi di sekitar kita. Sehingga, membaca Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu, seperti membaca surat dari Tuhan. Banyak pesan yang disampaikan untuk mengingat-Nya dan peka terhadap sekeliling. Selain itu, Kumcer ini juga sukses menghadirkan tamparan-tamparan lumayan keras kepada kita yang lupa pada Tuhan dan keagungan-Nya. (red)
Penulis merupakan Pengurus Wilayah FTBM Provinsi Banten, bergiat di Komunitas Motor Literasi (Moli), mahasiswa pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN “SMH” Banten. IG: @rudirustiadi