InspirasiPuisi

Sajak-sajak Sulaiman Djaya

Oleh Sulaiman Djaya

 

Kanak Kanak Matahari

Di masa kecil, di sela-sela udara yang bermain
Di batang-batang lalang dan rumput-rumput liar,
Kegembiraan begitu riang berlarian tanpa henti
Dengan kaki-kaki gaib mereka.

Ibuku, ibuku, memanen kesunyian seorang lelaki
Dengan kesabaran dua tangannya yang raib.
Aku seorang bocah, yang belum memahami
Bahasa puisi, hanya tahu memburu para belalang

Di keriuhan butir-butir hujan. Kulafal
Ceracau burung-burung kedinginan
Di ranting-ranting pohon dan lembab rembang
Kalbuku. Ibuku, ibuku, mendongeng hikayat

Rambut merah kemarahan seorang bapak
Yang suka terlambat pulang bila magrib
diwartakan. Di masa kecil, bila senja meruncing,
Kupahami lalang pematang sebagai kematian.

(2017)

 

Ladang Bahasa

Tak ada apa-apa di luar kata, suatu ketika
Sepasang mataku yang basah pun membaca
Takdir yang jadi kematian
Dalam gerak lalang.

Puisi ada karena kau percaya
Hidup tak sekadar menghitung
Dan menjumlah
Angka-angka dan jadwal harian.

Aku bayangkan tidurmu dan terjagamu
Tak ubahnya lembar-lembar buku
Yang dibuka tangan-tangan kegembiraan
Meski acapkali kita pun senantiasa

Menerka dan menduga-duga
Di mana gerangan Tuhan
Yang diwartakan para pengkhutbah
Dan pendusta agama.

Acapkali pula, kesepian kita
Ada agar kita selalu bertanya
Kenapa kalimat dan bahasa tak selamanya
Jadi gambar dan dunia.

(2017)

 

 

Lalang Bahasa

Via, dunia barangkali sejumlah gambar
Dan kita salah-satunya.
Suatu kali aku hikmat memandang
Senja yang diterbangkan
Kupu-kupu hujan

Dan para belalang.
Dan dulu ibuku menenun kenangan
Daun-daun pandan
yang dilupakan.

Via, puisi yang kutulis ini
Malam meredup lampu kata.
Mimpi mengalir
Di lengang jendela
Dan namamu tiba-tiba terbaca.

Di riang matamu ada warna
Segugus lanskap semesta bahasa
Yang takkan tuntas
Jadi kataku.

Ingin kuanyam serpihan waktu
Di mana hidup dan juga maut
Adalah rinduku
Pada serimbun berkabung
Kegembiraanmu.

(2017)

 

Jadikan Rinduku Sebagai Pisau

Di malam tak berjendela
Di jalanan sepi pelarian yang kalah
Di dukacita mereka yang ditinggalkan
Di kegembiraan kanak-kanak
Di kesepian mereka yang putus-asa
Jadikan rinduku sebagai pisau
Yang membunuh amarah.

Aku cinta kau
Justru ketika hidup tak dapat diukur.
Pagiku tak berbantal
Mencari dan mencari
Apa saja yang jadi puisi.

Di bawah lampu-lampu taman
Dan trotoar basah
Selepas hujan
Aku adalah para serangga
Yang kedinginan.
Aku adalah bahasa
Berkelana di dalam pikiran.

Aku tak bisa membaca wahyu
Dari para pengkhutbah agama
Yang menjelma badut
Di mimbar-mimbar
Di layar-layar televisi.

Di lontaran mesiu-mesiu perang
Di ratapan para pengungsi
Di sudut-sudut tempat
Mereka yang diasingkan
Jadikan rinduku sebagai peluru
Untuk menggempur
Kesedihanku yang ragu.

Di rambutmu, di matamu,
Di hembusan nafasmu saat tidur
Maut tak pernah bergegas
Untuk mencuri waktu
Di dalam sajakku.

(2018)

 

Misal Mautku Seramping Tanganmu

Dik, misalkan kau buatkan untukku
Segelas teh manis
Ketika gerimis Januari menenun waktu,
Pastilah aku takkan bergegas
Menulis puisi cinta
Yang akan kau baca berkali-kali.

Kegembiraan dua matamu yang heran
Memandangiku
Adalah bahasa paling jujur
Yang takkan pernah habis kutafsir.
Misalkan mautku
Seramping sepasang tanganmu

Dan hidup adalah kata lain
Dari kebetulan-kebetulan,
Tentu keingintahuan kita pada takdir
Sama seperti ketika kau dan aku
Menonton adegan-adegan drama
Yang ceritanya sederhana.

(2018)


Sulaiman Djayalahir di Serang, Banten. Menulis esai dan puisi.


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button