Oleh Muhammad Rois Rinaldi
Seorang teman–yang kadang saya sebut seniman dan kadang saya sebut ia dengan sebutan “gelandangan kesenian”–datang ke sekretariat komunitas saya, Gaksa. Belum sempurna letak duduknya, ia sudah nyerocos seperti ibu-ibu yang jengkel karena jatah dapur dari suaminya berkurang.
“Kalau orang tidak makan bangku sekolah, saya masih maklum,” katanya. “Banyak di antara mereka yang sarjana, bahkan doktor. Negara ini benar-benar bisa hancur gara-gara dihuni oleh orang-orang bodoh hakiki seperti mereka!”
“Kamu ngomong apa?” saya bertanya tanpa hasrat bertanya dan tidak seberapa berkenan mendengar jawaban.
“Itu. Tagline ‘Presidenmu Bukan Presidenku’. Sekolah goblok di mana mereka? Tidak mengakui simbol negara, berarti tidak mengakui negara. Mereka layak dipenjarakan seumur hidup!”
Sebentar saya menatap sepasang bola matanya, memberinya sekilas senyuman, lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Tanpa mengatakan apapun.
Saya tahu ia jengkel, tapi saya juga tahu, ia tidak cukup memiliki keberanian untuk marah kepada saya. Jadi, saya santai saja meninggalkannya. Membiarkan seniman yang kadang-kadang saya sebut gelandangan kesenian itu meluap-luap sendiri dengan amarahnya itu, adalah cara yang paling tepat. Setidaknya sampai saya selesai membuat kopi.
Di dapur saya cengengesan sendiri, membayangkan teman saya itu, kemudian seketika bayangan wajahnya membaur dengan berjuta akun di media sosial yang setiap hari seperti jutaan suara gagak di langit menjelang hari terakhir kehidupan bumi. Begitu panik. Begitu banyak ketakutan. Begitu melimpah ruahnya amarah.
Di media sosial, akun-akun yang sebagian asli, sebagian palsu, dan mereka yang kemudian dikenal dengan sebutan “buzzer”, saling mengajukan pertemanan untuk kemudian bertengkar setiap hari. Mereka memasuki grup-grup untuk mengajari semua orang cara mengumpat. Umpatan itu merebak kemana-mana. Menguasai dapur, angkringan, tempat ibadah, dan bahkan kloset.
Di antara denting sendok dan gelas dalam adukan kopi yang digerakkan tangan kanan saya, tiba-tiba saya seperti kembali mendengar suara bersahutan.
“Kita harus jaga Jokowi! Kita harus jadikan dia presiden dua periode! Jatuhkan Prabowo sejatuh-jatuhnya. Jatuhkan! Jangan sampai bani Kardun menguasai Indonesia. Wahabi dan HTI tidak boleh hidup di negara kita.”
“Prabowo adalah harapan terakhir Indonesia. Selamatkan Indonesia dari kebangkitan PKI. PKI milenial telah menjelma menjadi partai peranakan. Kita harus jatuhkan Jokowi jika kita tidak ingin diperbudak China. China dan komunisnya!”
Suara-suara itu seperti datang dari sebuah gedung tua, di mana setumpuk bendera merah putih digrogoti tikus. Di sana, papan bergambar garuda lengkap dengan lima sila Pancasila, remuk.
“Sial! Saya harus cari cara agar sekembalinya saya dari dapur, teman saya, yang seniman itu, diam.”
***
Waktu beranjak, tapi pikiran tidak. Tagline “Presidenmu bukan presidenku” mondar-mandir di dalam pikiran. Teman saya yang seniman itu masih sering datang ke sekretariat, tapi tidak lagi bicara soal politik, sejak saya membentaknya dan sebuah gelas berisi kopi panas pecah tepat di sisi kanan persilaannya.
Tetapi, ya itu. Hasil dari keserampangannya, meneror saya. Itulah juga yang membuat saya masih kesal setiap kali melihat wajahnya. Mengapa ia tidak pernah membaca wajah teman bicaranya? Setidaknya dia tahu, tidak semua teman mau mendengar ocehan tendensiusnya tentang politik. Tidakkah ia pernah berpikir bagaimana sikologi orang-orang yang dia ajak bicara?
Sebetulnya, bukan hanya teman saya yang seniman itu yang begitu. Banyak juga teman lain yang kurang lebih sama.
Saya kadang merasa berdosa, ketika saya sadar bahwa saya telah mengimajikan mereka dengan imaji yang tidak manusiawi. Tetapi saya juga tidak tahu bagaimana menghardik diri saya sendiri agar tidak mengimajikan mereka seperti sekumpulan bebek. Sebab hanya bebeklah yang bisa digiring dengan mudah: serempak dan teratur. Sekali lempar makanan di kanan, berhamburlah mereka ke kanan. Makanan lama ditinggalkan meski belum habis atau bahkan baru sekali sosor.
Melihat bebek-bebek yang begitu, saya senang. Ada lucunya. Tetapi melihat teman-teman saya sendiri seperti itu, apa lucunya?
Tetapi biarlah mereka itu.
“Presidenmu bukan presidenku, bolehkah seorang anak Bangsa Indonesia mengatakan itu? Jika boleh, apa yang membolehkan? Jika tidak boleh, apa yang melarang?
Saya memperhatikan lagi orang di media sosial, di lingkungan di mana saya hidup, ketika saya diam dan ketika saya berjalan. Saya menemukan satu hal yang mulanya membuat dahi saya mengerut, tapi pada akhirnya malah membuat saya tertawa.
“Mereka tidak berencana melengserkan presiden!” gumam saya sambil ngopi di teras Gaksa. “Tagline Presidenmu Bukan Presidenku hanya bentuk ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.”
Di bawah langit merah yang agak gelap, saya berpikir bahwa bukan hal baru pernyataan-pernyataan semacam itu di negara yang bersistem demokrasi. Apatah lagi jika rakyat melihat ada yang tidak wajar dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden, sekali pun sistem pemilihan dibalut dengan selendang konstitusi yang meyakinkan. Ketidaksetujuan itu tidak selalu karena kebencian, tapi karena cinta. Cinta rakyat kepada Republik Indonesia.
“Rakyat yang mana?”
Saya agak keder juga menerima pertanyaan semengerikan itu. Pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak di dalam pikiran saya, yang seketika menghadirkan gambar profil begitu banyak akun di media sosial. Sebuah pertanyaan aneh yang senantiasa hendak menunjukkan bahwa rakyat yang tidak setuju adalah rakyat yang membangkan pada penguasa dan itu suatu kesalahan.
Kalaulah betul mereka bertanya, rakyat itu berarti penduduk di sebuah negara. Penduduk di Indonesia jumlahnya sudah lebih dari 271 juga jiwa. Ratusan juta manusia itu tidak mesti satu suara dalam memandang konsep kenegaraan dan dalam menyikapi kebijakan pemerintah dan juga dalam menjalani peran rakyat di negara demokrasi.
Tagline “Presidenmu Bukan Presidenku” itu, sah. Setiap rakyat sah untuk menyatakan sikap dan berpendapat. Tidak melawan konstitusi! Pernyataan itu bukan pernyataan untuk mengkudeta, melainkan ekspresi ketidaksepakatan. Orang Banten menyebutnya “bebanting”. Boleh dipermasalahkan jika sudah sampai pada tahap merencakan kudeta. Perlu dihadapi dengan sungguh-sungguh, jika sudah melawan konstitusi.
Ah, wajah teman saya yang seniman berseliweran lagi, padahal dia mungkin sedang duduk-duduk di sekretariat yang lain dan bicara hal lain dengan gayanya yang menggebu-gebu itu.
***
Sebagai warga negara, saya, teman saya yang seniman itu, dan semua rakyat Indonesia pasti sama-sama bercita-cita mengantarkan Indonesia kepada masa depan yang cerah, hanya saja cara pandang dan jalan yang ditempuh kadang tidak hanya berbeda, melainkan juga sampai pada posisi yang berseberangan.
Seberangan itu adalah kabar gembira, karena ianya berarti harapan dan pikiran berjalan dengan semestinya. Jadi, kalau teman saya, yang seniman itu bicara lagi soal tagline “Presidenmu Bukan Presidenku”, saya sudah memiliki jawaban. Setelahnya saya ingin berbisik dengan lembut kepadanya: “Kini kita memasuki fase yang semakin dekat dengan Pemilu. Ada Joko Widodo berduet dengan Ma’ruf Amin dan Prabowo berduet dengan Sandiaga Uno. Kemana arah memilih? Pilihlah!”
Perkara kelak sebagian rakyat menolak mengakui presiden terpilih karena pasangan calon yang dipilih kalah, terlebih jika kelak ada temuan KPU disuap atau pelanggaran lainnya, selama tidak sampai pada tindakan yang membahayakan negara, jangan dihadang-hadang. Negara memerlukan itu agar terbebas dari politik citra yang rendahan, di mana rakyat terus disuguhi gimik yang mengalihkan semua mata dari realitas kerja pemerintahan. Agar politik Indonesia segera beranjak kepada politik ide yang bernilai.
Bicara begitu saya tiba-tiba ingat omongan seorang guru, Bung Hatta sebutan populernya. Ia berkata: “Jika kita tidak hendak menjerumuskan negara pada masa depan demokrasi yang (semakin) palsu, sama-sama kita menjaga apa yang perlu dijaga. Sebab kita tidak memiliki cita-cita hidup dalam negara yang bersistem demokrasi yang segala hal sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa. Kita tidak akan rela hidup dalam demokrasi yang dibungkus dalam istilah Demokrasi Terkendali atau Demokrasi Terkontrol. Kita tidak pernah bercita-cita berada di negara semacam itu. Tidak.”
Guru saya, tidak persis mengatakan seperti itu, tapi saya buat redaksinya lebih kekinian. Sebab saya mengerti, orang kekinian sedang mati-matian mencintai apa saja yang berlabel kekinian. []
Cilegon, 4 Ramadhan 1439 Hijriyah
Muhammad Rois Rinaldi, penulis, Koordinator Gaksa Indonesia, Presiden Lentera Sastra Indonesia, dan Redaktur Sastra Biem.co.