Skriptoria

Skriptoria: Yang Hilang dari Pendidikan Kita, Karakter

Skriptoria: Jalaludin Ega (Pimpinan Redaksi)

— “Untuk urat kaku, pegel linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, kurang jantan… makanlah tablet ini tiga kali sehari, diguyur dengan air minum… sembuhlah penyakit Anda” —

(Cuplikan promosi pedagang kaki lima menawarkan Panacea – Jujun S.S.).

Seandainya semua persoalan pendidikan nasional dalam tujuh dekade pasca kemerdekaan bangsa kita ini bisa selesai dengan obat panacea yang dijual di kaki lima dengan harga murah dan terjangkau yang bahkan dapat menyelesaikan segala persoalan penyakit tanpa diagnosa dokter.

Sebelumnya, ingin saya kemukakan sebuah pengalaman, dalam sebuah diskusi bersama beberapa mahasiswa di pelataran masjid salah satu kampus di Kota Serang, beberapa tahun yang lalu, -saya masih ingat- saat itu tepat di perayaan Hari Pendidikan Nasional. Tema diskusi menyoal “pendidikan nasional, peluang dan tantangan”.

Seorang peserta diskusi mengangkat tangannya dan bertanya pada saya, “Apa yang menyebabkan pendidikan nasional bangsa kita tetap terpuruk sementara banyak para ahli dan pakar di negeri ini?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu sempat membuat saya berkeringat dingin, sebelum akhirnya saya temukan cara yang sebaik-baiknya untuk menjawab. Meski pada akhir diskusi harus saya (kami) akui bahwa tidak ada jawaban spesifik untuk pertanyaan itu. Kalaupun jawaban itu memang ada maka selesailah persoalan pendidikan bangsa ini.

Tidak sedikit solusi yang ditawarkan akademisi, praktisi bahkan para ahli tentang jalan keluar dari persoalan pendidikan nasional. Mulai dari mengubah sistem tata negara, pola kebijakan pendidikan (yang tiap tahun berubah), peningkatan kesejahteraan keluarga, badan hukum pendidikan, diserahkannya masa depan pendidikan bangsa pada badan hukum yayasan, kemudahan tunjangan profesi guru, sampai pada solusi yang paling ekstrem, “potong generasi”.

Kita semua tahu, tujuan pendidikan nasional jelas telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Namun, penyelenggaraan pendidikan telah mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan, di mana, nilai-nilai kearifan lokal telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi intelektual menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman kemampuan telah membelenggu tumbuh-berkembangnya keragaman kemampuan sebagai pencerminan beragamnya kekayaan budaya.

Akibatnya, menipisnya tata krama, etika, dan kreativitas anak bangsa menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dalam menata pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian unggul, berakhlak mulia, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesian secara menyeluruh.

Namun, hakikat pendidikan budaya dan karakter masih menyisakan tanda tanya yang begitu dalam; apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan budaya dan karakter itu? Mengapa penting pendidikan budaya dan karakter, dan bagaimana mengimplementasikannya dalam konteks pendidikan?

Sarasehan nasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh berbagai organisasi; mahasiswa, pelajar dan akademisi, selalu diharapkan mampu menjawab berbagai pertanyaan tersebut, atau paling tidak menjadi modal kolektif bagi pengambil kebijakan untuk merumuskan sejumlah konsep dasar pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional, Pasal 1 UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Sebagaimana dikatakan Martin Luther King, “Intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan utama pendidikan yang sebenarnya).

Menurut Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang dianggap merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah; meningkatnya kekerasan pada remaja, penggunaan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer-group (kelompok kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, serta adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama. Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari  kesepuluh tanda tersebut tampaknya sedang menghinggapi negeri ini.

Atas dasar itulah, maka  pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif (Lickona). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Pilar-Pilar  Karakter Universal

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa berbuat kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan kebaikan karena dia cinta dengan kebaikan itu sendiri. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis ini amatlah sulit, terutama bagi sebagian orangtua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play-group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Implikasi

Lalu, apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa terjadi peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa di mana dianggap sebagai salah satu hal yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi (EQ), dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ).

Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah di Indonesia bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Editor: Jalaludin Ega

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button