biem.co — Tentang waktu dan Tunjangan Hari Raya (THR), apa yang sekiranya banyak orang pilih? Waktu yang ditunjuk dalam tulisan ini adalah berupa waktu kosong—yang memungkinkan—untuk melakukan hal apapun yang diinginkan atau yang diperlukan, dalam kurun waktu cukup panjang dan bebas. THR, sudah pasti merujuk pada uang atau bingkisan yang sekiranya adalah rezeki dari perusahaan.
Dua-duanya pasti ingin sekali kita miliki, namun dalam Islam sudah jelas bahwa manusia tidak boleh serakah, walaupun dua-duanya bisa diambil, saya rasa salah satu tidak akan sempurna. Lalu, siapa yang berani memilih waktu tapi tidak mendapatkan THR sedikit pun, dan siapa yang berani memilih THR tapi tidak mendapatkan waktu sedikit pun?
Akhir-akhir ini kalau tidak gelisah, saya tidak akan menulis. Kegelisahan saya menjadi pegawai hadir sejak awal 2018. Gelisah yang saya rasakan bukan karena suasana kantor atau pekerjaannya, namun gelisah dengan kerohanian saya. Sejujurnya, dari dulu saya paling takut jika mendapatkan harta banyak—tapi tak dipungkiri, di sisi lain, saya juga ingin mendapatkannya.
Saya tersadar bahwa saya kehilangan banyak waktu sekarang-sekarang ini, apalagi jika menjadi tipe manusia yang hobinya silaturahmi dan sering keluar zona nyaman untuk mendapatkan banyak pengalaman.
Singkat kisah, dalam berbagai pertimbangan dan istikharah beberapa kali, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan yang telah saya tempati ini. Bayangkan, berapa banyak saya kehilangan harta nantinya? Apalagi pada sebuah firma hukum, bisa dibayangkan berapa juta yang masuk setiap jamnya.
Setiap pilihan memang ada risikonya, semua orang pun tahu itu. Banyak teman-teman yang menyayangkan saya karena pilihan ini, apalagi yang memutuskannya sebulan sebelum Ramadhan.
“Pekerjaan sudah enak, Sabtu libur, kurang apa lagi?”
“Pikir-pikir lagi deh, sayang gak dapet THR.”
“Kalau belum dapet kerjaan lain, jangan berani-beraninya, deh.”
Dan sebagainya, dan sebagainya.
Saya tidak menyalahkan perkataan-perkataan kerabat-kerabat saya, memang terkadang perkataan tersebut pernah masuk dalam pikiran saya. Namun kali ini tidak, karena di awal saya telah menjelaskan bahwa hal ini mengenai kerohanian saya. Memang benar yang diucapkan Ustadz Hanan Attaki, “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, dia akan mendapatkan yang lebih baik dari Allah.”
Mengapa saya memilih untuk mengundurkan diri sebelum puasa? Karena saya mengincar bulan baik itu. Bukan perkara ‘sok alim’ atau berlebihan, ini bukan sebuah bid’ah. saya hanya ingin buka puasa bersama keluarga dan salat sunnah Tarawih, karena saya bukan Tuhan yang tahu apakah Ramadhan selanjutnya masih bisa merasakan atau tidak.
Kemudian hadir pertanyaan, “Memang tidak bisa kerja sambil Tarawih?” Jikalau bisa, saya tidak akan dihadapkan dua pilihan seperti itu.
Ketakutan saya juga sering hadir seiring berjalannya waktu pada hari di mana waktu bekerja saya selesai. Apa yang kelak akan saya lakukan? Darimana saya akan mendapatkan uang? Ini keegoisan saya atau bukan? Kemudian, saya ingat bahwa saya sering mengatakan ke teman-teman saya bahwa setiap pilihan ada risikonya. Mungkin ini resikonya, pikiran-pikiran yang seakan menyalahkan diri saya.
Bukan persoalan jadi pegawai itu buruk dan kehilangan banyak waktu, tidak juga. Setiap manusia punya jalan sendiri untuk menjalankan sisa waktu dengan sebaik-baiknya, dan saya menjalankannya dengan cara ini—mengundurkan diri.
Jika banyak yang tahu bahwa yang menulis ini adalah seorang milenial, kemudian seakan-akan bahwa milenial sudah terkenal seperti ini, malas dalam bekerja, tidak betah terkungkung oleh jam kerja, dan sebagainya, dan sebagainya. Sekali lagi saya jelaskan bahwa, tidak juga. Jika memang faktanya seperti itu, bukan berarti sebuah gen yang disalahkan. Mari kita simak dalil berikut yang menjelaskan tentang zaman.
Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu. (Ali bin Abi Thalib ra).
Jelas dalam kalimat tersebut, dalam Islam juga diajarkan untuk mendidik anak sesuai zamannya, tidak otoriter sesuai yang dianut oleh orang tua zaman dahulu, perlu penyesuaian di sana-sini. Jadi, don’t judge people by gen.
Hal mengenai Tunjangan Hari Raya, beberapa kerabat sepegawaian dan atasan saya yang akhir-akhir ini sering sekali bertanya “Kamu sudah yakin mau resign?”. Mereka juga ikut menyayangkan pilihan saya ini.
“Mengapa tidak setelah lebaran saja, sayang banget harus keluar pas bulan ini.”
Lagi-lagi saya mengutip cerita Ustadz Hanan Attaki saat ia ingin sekolah di Mesir, namun tidak ada uang sama sekali. Gurunya pun bertanya, “Allah Anda di Indonesia, dengan Allah Anda di Mesir sama atau beda? Siapa yang memberi rezeki Anda di Indonesia? Lalu kenapa Anda takut tidak diberikan rezeki di Mesir sedangkan Allah Anda sama.”
Baca Juga
Kemudian saya membaca tulisan Muhammad Rois Rinaldi di biem.co pada rubrik Opini yang berjudul “Tuhan Hanya Ada di Slip Gaji” pada 5 Maret lalu. Dalam tulisan itu, saya berpikir bahwa, sebagian manusia di dunia ini seorang beriman, namun sebagian seorang beriman di dunia tidak percaya hadirnya Allah SWT, bahkan menghinanya.
Menghina Tuhan tak perlu dengan umpatan dan membakar kitab-Nya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan.” Sujiwo Tejo.
Dari situ saya benar-benar tawakal bahwa pilihan yang saya pilih—tidak lain karena Allah SWT. Sebab Allah saya di perusahaan ini, dengan Allah saya di luar pun sama. Sekali lagi saya tegaskan, setiap pilihan sama, sama-sama memiliki resiko. Ketika kita siap memilih, kita juga harus siap mengambil risiko seberat apapun. Dan yang terbaik, bukan menyalahkan pilihan orang lain, melainkan mendukung pilihan orang lain jika memang orang tersebut sudah siap menjalani risikonya.
Perihal judul tulisan ini, hingga sekarang masih banyak yang menyayangkan dengan pilihan saya, dan disangkutpautkan dengan Tunjangan Hari Raya. Jika begitu, saya tanya kembali, pilih ibadah atau THR? (uti)
Putri Jambidi, merupakan alumnus Akademi Indonesia Kreatif (AIKA) 2016.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.