biem.co – Kabar duka kembali datang dari kalangan seniman. Danarto, sang sastrawan Realis Magis yang telah melanglang buana ke luar negeri atas karya sastranya, kini menghembuskan napas terakhir di RS Fatmawati sekitar pukul 20.50 WIB, Selasa malam (10/04). Diketahui, Danarto ditabrak seorang pengendara motor ketika ia hendak menyebrang jalan di depan Universitas Islam Negeri, Ciputat, Tangerang Selatan, pada siang hari. Luka di bagian kepalanya cukup parah, hingga membuat Danarto koma.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sempat mengunjungi jenazah ketika hendak akan dimandikan. Para sastrawan, murid, sahabat, dan tetangganya pun terlihat mendatangi rumah sakit tersebut.
“Seorang sastrawan telah berpulang, sebuah sepeda motor menubruknya saat menyebrang jalan raya tadi siang. Danarto berpulang, tapi karya-karyanya akan langgeng. Cerpen-cerpennya selalu bawa nilai dan kaya dengan konteks sosial, sejarah dan pesan-pesan ilahi. Itu sebagai pesan langgeng untuk dinikmati sebagai karya sastra, dan untuk jadi refleksi dalam ikhtiar memajukan bangsa,” tulis Anies lewat akun Instagramnya, Selasa (11/04).
Berikut sepenggal kehidupan dan perjalanan kesusastraan Danarto yang telah biem.co rangkum dari berbagai referensi. Mengenal seorang Danarto pasti dihubungkan dengan sastra sufistik, cerita-cerita yang disuguhkan bertema religius sebagai ciri khasnya. Ini juga terlihat pada buku “Ikan-ikan dari Laut Merah”, sebuah antologi kumpulan cerpen yang berisikan 19 cerita pendek dari jejak sastrawan kelahiran Sragen seangkatan Hamsad Rakuti atau Budi Dharma ini.
Danarto kabur ke Yogyakarta. Keinginannya satu: belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia berhasil masuk lembaga pendidikan itu, dan mengambil seni lukis sebagai bidang pelajaran. Selain tak ada lagi pertemuan dengan aljabar, ia juga bisa menyalurkan kesenangannya pada seni lukis.
Minat terhadap seni sudah tampak sejak Danarto kecil. Penulis dan pelukis kelahiran 27 Juni 1940 itu mengisahkan, waktu kecil ia sering melukis dengan kapur dan arang di dinding dan lantai rumahnya. Danarto sendiri tak paham dari mana bakat itu berasal.
Danarto tumbuh bukan dalam lingkungan keluarga yang bergiat dalam kesenian. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula, sedangkan ibunya pedagang eceran di pasar. Dalam pandangan Danarto, sang Ayah lebih dekat dengan bidang keagamaan dan hal-hal mistik.
Kedekatan pada tradisi Jawa dan agama tidak pula membuat sang Ayah memaksakan kehendak Danarto untuk mengikuti jejaknya. Bahkan dari lima bersaudara, tak satupun yang mewarisi kebiasaan Ayahnya itu. Danarto sendiri bukan seorang relijius dan baru melaksanakan ibadah salat pada usia 27 tahun.
Pada 1969, ia bekerja di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang baru diresmikan satu tahun sebelumnya. Itu pengalaman kali pertama Danarto bekerja dan mendapat upah, kemudian cerpen “Godlob” karyanya diterbitkan oleh Majalah Horison.
Pada usia 27 tahun itu–didahului pengalaman spiritual di Garut, Jawa Barat, ia menemukan kesadaran dan keyakinan bahwa sebagai seorang penganut Islam, ia mesti menegakkan ibadah salat. Danarto menggunakan bahasa Jawa ketika mula-mula melaksanakan salat. Tak lain karena ia memang buta bahasa Arab. Demikian pula dengan berdoa.
Perihal menulis bukan pengalaman baru bagi Danarto. Pada usia 17 tahun, ia sempat menjadi pengarang cerita-cerita anak yang dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung. Maka ia tak menemukan kesulitan saat mulai produktif menulis sastra dalam bentuk cerita pendek. Setiap kali mulai menulis, Danarto tak memiliki bayangan apa-apa. Menulis saja.
Pada 1982, Danarto menerbitkan buku kumpulan cerita pendeknya yang kedua, Adam Ma’rifat. Karya tersebut menggondol penghargaan antologi cerita pendek terbaik dari Yayasan Buku Utama. Cerita pendek “Adam Ma’rifat” sendiri beberapa bulan sebelumnya telah menyabet anugerah sebagai cerita pendek terbaik oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Tahun berikutnya, Danarto menerbitkan buku Orang Jawa Naik Haji, sebuah buku yang berisi catatan perjalanan ketika ia beribadah haji. Tiga tahun kemudian, 1986, ia menikah dengan Siti Zainab Luxfiati. Pernikahan itu bertahan selama 15 tahun sebelum kandas.
Buku kumpulan cerita pendeknya yang ketiga, Berhala, ia terbitkan pada 1987. Buku ini juga diganjar penghargaan yang sama oleh Yayasan Buku Utama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, Danarto menelurkan buku kumpulan cerita pendek Gergasi (1996), novel Asmaraloka (1999), kumpulan cerita pendek Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000), dan Kacapiring (2008).
Semua cerita yang ditulis Danarto selalu memiliki gaya yang membaurkan realisme dan surealisme–aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam penggambarannya.
Artinya pula, Danarto melebur pengalaman-pengalaman nyata dan logis, dengan hal-hal yang mengawang-awang alias magic. Tak heran bila Goenawan Mohamad menyebut Danarto sebagai “sastrawan pelopor realisme magis di Indonesia”.
Ia pernah bergabung dengan Teater Sardono, yang pernah mendarat ke Eropa Barat dan Asia, pada tahun 1974. Dan di situ pula dia mengadakan pameran Kanvas Kosong (1973) juga berpameran puisi konkret (1978).
Danarto selalu menyajikan cerita dengan mencengangkan dan tidak mudah ditebak. Banyak ide-ide cerita yang digarap oleh Danarto, itupun diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di negeri ini. Sebuah tanggal Ahad 26 Desember 2004, tsunami yang meluluhlantakkan Aceh kala itu. Ia ceritakan apik dalam “Nistagmus”, “Pohon yang Satu Itu” dan “Laut dari Langit”.
Itulah sepenggal kisah perjalanan hidup seorang Danarto dalam berkarya. Tapi yang penting bagi Danarto, kreativitas tak boleh buntu dan kemauan untuk berpengetahuan tak boleh surut selama hayat di kandung badan.
“Banyak ilmu yang belum kita ketahui, yang membuat kita harus belajar, belajar, belajar–yang sebenarnya tidak terkejar umur. Sekarang umur saya 77 tahun. Jangan-jangan besok saya sudah tidak ada, misalnya. Misalnya saya kuat 10 tahun lagi, berarti sampai 87 tahun, apa kuat saya sampai ke sana,” ucap Danarto, November lalu di Kantor Kumparan.
Kini, Danarto harus berhenti berkarya pada usia 77 tahun akibat kecelakaan tersebut, sebab menulis adalah bekerja dalam keabadian, Danarto dan karyanya akan tetap abadi dan terkenang sampai akhir hayat. Selamat jalan Danarto. (uti)