Oleh Udi Samanhudi
biem.co — Dalam dunia akademia, publikasi ilmiah adalah media yang efektif bagi para akademisi dan peneliti untuk berbagi ilmu pengetahuan terbaru yang diperoleh dari hasil penelitian. Selain sebagai ruang untuk berbagi informasi, publikasi ilmiah terutama pada jurnal-jurnal Internasional adalah jembatan untuk promosi diri sebagai ahli dalam disiplin ilmu tertentu di tingkat global dan dalam banyak kasus juga dijadikan sebagai alat sekaligus syarat untuk promosi dalam dunia akademik.
Tak ayal, pemerintah sangat gencar mendorong para akademisi untuk berkiprah lebih banyak di kancah global melalui publikasi Internasional yang sampai saat ini ditengarai masih didominasi dua negara besar dunia yaitu Amerika Serikat dan Cina. Selain insentif yang menggiurkan, program kolaborasi dengan profesor dari negara majupun semakin digalakan dengan tujuan untuk menggali sebanyak mungkin informasi berkenaan dengan penulisan artikel penelitian yang berterima terutama pada aspek retorika dalam bahasa Inggris sehingga mempermudah akses untuk publikasi pada jurnal Intenasional terbaik di bidang masing-masing.
Seperti dikemukakan oleh Hyland sebagai salah satu pakar dalam bidang menulis akademik, sekitar 95 persen artikel penelitian yang terpublikasikan pada jurnal-jurnal Internasional ditulis dalam bahasa Inggris. Artinya, kemampuan menulis dengan baik dalam bahasa Internasional ini (linguistic proficiency) menjadi mutlak dikuasai oleh setiap akademisi (baca: akademisi muda) yang tertarik untuk memulai ‘kiprah’ di dunia Internasional melalui publikasi ilmiah.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhao dkk di tahun 2017 menyajikan hal yang menarik seputar ‘keluhan’ para reviewer jurnal Internasional pada artikel penelitian yang ditulis terutama oleh para akademisi dari negara-negera berkembang di mana bahasa Inggris bukan merupakan bahasa formal yang digunakan. Dari sekian banyak, dua penyebab utama penolakan tim penelaah tersebut terkait dengan retorika penulisan bagian pendahuluan (introduction) yang menurut mereka kurang jelas maksud dan tujuannya sehingga tidak ‘menjual’ dan juga tidak meyakinkan tim penelaah pada signifikansi hasil penelitian yang dilaporkan. Selain pendahuuan, keluhan para reviewer tertuju pada retorika penulisan bagian pembahasaan (discussion) yang menurut mereka jauh dari kesan kritis sang penulis. Dalam hal ini, para penulis biasanya terjebak pada kegiatan mendeskripsikan hasil penelitian tanpa terlibat banyak dalam proses interpretasi temuan dan memposisikannya di antara literatur terkait yang sudah ada sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, bagian pendahuluan (introduction) adalah bagian penting pertama yang biasanya dibaca oleh tim reviewer setelah abstrak. Tiga hal yang biasanya diharapkan muncul pada bagian ini adalah konteks penelitian yang dijabarkan dengan baik oleh penulis dan gap atau masalah yang biasanya merupakan hasil analisis terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilaporkan. Aspek lain yang tak kalah penting dalam bagian pendahuluan adalah signifikansi penelitian yang seyogyanya ‘dipromosikan’ oleh sang penulis. Di aspek yang ke tiga ini, penulis ‘ditagih’ untuk mampu membuktikan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan berkontribusi minimal pada topik yang dijadikan fokus kajian. Misalnya, penulis diharapkan untuk secara ekplisit mengatkan bahwa penelitian yang dilaporkan telah dan akan memperkaya teori yang sudah ada yang tentunya tertuang dalam deretan kalimat yang efektif dan mudah dipahami pihak reviewer.
Dari ketiga aspek pada bagian pendahulauan tersebut, yang lazim kurang dimiliki oleh peneliti pemula, seperti yang dilaporkan dalam penelitian Zhao dkk dan didukung temuan salah satu pakar penulisan akademik Nasional Prof. Safnil Arsyad, adalah kemampuan penulis dalam menunjukan gap sehingga tidak muncul kesan urgensi mengapa penelitian pada topik tersebut perlu untuk dilakukan. Alhasil, tidak nampak signifikansi dan kontribusi penelitian pada topik atau bidang yang dikaji. Hal semacam ini biasanya berujung pada kesimpulan akan minimnya kontribusi hasil penelitian dan menjadi alasan kuat untuk tim penelaah menolak artikel penelitian yang diajukan penulis. Kedua masalah ini lazim terjadi karena kemampuan bahasa Inggris penulis yang masih perlu terus diasah dan minimnya pengetahuan akan konvensi atau aturan main penulisan bagian pendahuluan ini dengan baik pada bidang masing-masing.
Pada bagian pembahasan, penulis dituntut untuk mampu mengemukakan gagasan dan pandangan yang berdasar pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu bagian ini juga menuntut penulis untuk mengevaluasi dan membandingkan hasil penelitian yang dilaporkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Dengan kata lain, critical thinking penulis mutlak diperlukan untuk mampu menghasilkan sebuah bagian pembahasan (discussion) yang persuasif dan meyakinkan pembaca akan kontribusi hasil penelitian yang dilaporkan. Lagi-lagi, keterampilan beretorika dalam bahasa Inggris utamanya bahasa Inggris akademik mutlak diperlukan.
Akan tetapi, peneliti pemula biasanya terjebak pada penulisan yang terlalu deskriptif dan kurang mampu menginterpretasi temuan penelitian dengan baik. Dalam hal ini penulis biasanya hanya fokus pada penjabaran proses tanpa mengkaitkannya dengan penelitian sebelumnya yang relevan. Penulis juga sering lupa untuk membuat proposisi terkait letak beda atau samanya hasil penelitian yang dilaporkan dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Masalah lainnya adalah tidak jelasanya ide yang disampaikan dan organisasi penulisan yang kurang sesuai dengan konvensi penulisan pada bagian pembahasaan. Alhasil, critical thinking penulis tidak nampak terlihat pada bagian ‘puncak’ dari sebuah artikel penelitian ini.
Pemaparan di atas terkait dengan kemampuan menulis dua bagian penting (pendahuluan dan pembahasan) dalam sebuah artikel penelitian perlu untuk menjadi catatan. Untuk mampu lolos pada jurnal–jurnal Internasional ternyata keterampilan menulis dalam bahasa Inggris akademik saja tidaklah cukup. Para penulis juga dintutut untuk mampu mengetahui ditel konvensi penulisan pada setiap bagian artikel penelitian sesuai bidang masing-masing dan keterampilan berargumentasi dengan baik untuk meyakinkan tim editor, penelaah dan pembaca secara umum akan pentingnya kontribusi yang ditawarkan oleh hasil penelitian yang kita laporkan dalam disiplin ilmu yang kita tekuni. Sederhananya, dalam lensa kebahasaan, sebuah artikel jurnal yang baik hendaknya ditulis dengan organisasi ide yang rapih sesuai aturan main yang diterapkan pada setiap bagian artikel, menggunakan bahasa Inggris akademik yang sesuai (proper academic English) dan bersifat persuasif.
Udi Samanhudi adalah Akademisi Untirta, Awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemenkeu RI dan saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang Teaching of English for Speakers of Other Languages and Applied Linguistics, Queen’s University of Belfast, United Kingdom.