biem.co — Tentunya Anda sudah pernah membeli atau setidaknya mendengar produk clothing Airplane Systm di Bandung, bukan? Brand ternama ini mulai berdengung pada 1998 silam dan saat ini semakin eksis di tengah industri clothing lainnya. Tapi, apakah Anda juga sudah tahu kalau pendiri/pemilik brand ini adalah keturunan Banten?
Ya, pemilik brand tersebut adalah Tb. Fiki C. Satari. Lelaki yang biasa dipanggil Tb Fiki ini adalah anak dari Tb. Lili Satari yang merupakan anak kelima dari mayor Anumerta Tb. Syafei (Mayor Syafei), garis kebantenan Tb. Fiki mengalir deras dan tak bisa diingkari. Meski ia besar di Bandung, tetapi ia selalu didekatkan dengan nilai-nilai kebantenan oleh Ayahnya. Hal itu juga yang sedang ia turunkan ke anak-anaknya.
Saat ini, Tb. Fiki tercatat sebagai Ketua Indonesia Creative Cities Network (ICCN) atau jejaring kota/kabupaten kreatif se-Indonesia. Bapak tiga orang anak ini sedang memfokuskan diri untuk membangun jejaring individu/komunitas kreatif di Indonesia untuk bergerak bersama mengembangkan ekonomi kreatif. Baginya, ekonomi kreatif merupakan salah satu jawaban dari permasalahan ekonomi di masyarakat. Hal ini dikarenakan, ekonomi kreatif modalnya adalah ide/gagasan dan SDM. Untuk lebih mendalami sepak terjang Tb Fiki dan ICCN mengembangkan Ekraf, biem.co berkesempatan melakukan wawancara langsung dengan Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis UNPAD ini, berikut wawancaranya:
Biem: Menurut Akang, positioning Ekraf dalam ekonomi makro/mikro seperti apa?
Tb. Fiki satari: Secara makro, kontribusi PDB dari sektor Ekonomi Kreatif secara nasional sangat signifikan. Tercatat pada 2016, PDB Ekraf sebesar 7,45% setara nyaris 900 Triliun. Selain itu juga menyerap tenaga kerja kurang lebih 16-17 juta. Ekraf ini tidak memiliki beban terlalu besar, karena modal utamanya adalah ide, gagasan dan SDM. Ada empat basis ekraf yaitu inovasi, teknologi, media dan seni budaya. Di bidang seni budaya, seperti kita tahu konten lokal kita sangat kaya, ada lebih dari 16000 pulau, 700 bahasa, 500 kab/kota.
Baca Juga
Dari sisi mikro, tentunya Ekraf layak menjadi andalan Indonesia, karena selain konten lokal yang kaya, juga memungkinkan kegiatan usaha ini bisa dilakukan perorangan. Seperti Blogger, Desainer, Programer yang mengerjakan pekerjaan bertaraf internasional tapi dikerjakan di studio bahkan dirumahnya. Ini bisa menjadi solusi pengangguran. Bagaimana kita mendorong anak-anak muda dengan budaya produktif bisa diaktivasi melalui ekonomi kreatif.
Biem: Kekuatan dan kelemahan apa saja dalam pembangunan Ekraf di sebuah daerah?
Tb. Fiki Satari: Berkenaan soal itu, kekuatannya adalah keragaman, inklusifitas dan narasi-narasi lokal. Hal itu memiliki nilai strategis dan tentunya pemetaan ekosistem ekraf melalui 4 variabel. Yaitu Research and Development, di sini penciptaan nilai yang berlipat dihadirkan. Variabel kedua yaitu SDM, bagaimana kita mengembangkan SDM sesuai dengan potensi wilayah dan pasar. Ketiga adalah produksi, bagaimana kita bisa menyetarakan standar nilai yang baik dan diterima pasar. Keempat adalah pasar. Kelemahan di daerah adalah adanya ketidakterhubungan antar variabel tersebut, Sustainability-nya mengalami masalah. Ketika pemerintah memberikan pelatihan usaha kepada masyarakat, terkadang tidak memerhatikan kebutuhan industri/pasar.
Biem: Apa saja tantangan, rintangan, pantangan yang harus disikapi para pelaku Ekraf agar bisa tumbuh dan berkembang?
Tb. Fiki Satari: Pembiayaan dan komunitas. Mengingat pelaku Ekraf kecendrungan berjalan sendiri-sendiri tidak berjejaring. Aktivasi Ekraf selain mensinergikan stakeholder juga ada aktivasi 3C yaitu connect, collaborate, dan commerce. Nah, commerce ini bisa terjadi jika ada kolaborasi dan kolaborasi bisa dijalin jika kita sudah terhubung satu dengan yang lain. Hal itu akan menciptakan ekosistem ekraf yang baik di sebuah daerah. Demikian.
Biem: Sebagai mitra Bekraf, seperti apa pembagian tugas antara ICCN dan Bekraf dalam bekerjasama membangun Ekraf?
Tb. Fiki Satari: Sebagai mitra Bekraf, ICCN adalah forum komunitas, kami di grassroot pelaku, sedangkan Bekraf dari pemerintah. Tentunya inisiatif Bekraf adalah top-down, sementara ICCN lebih bottom-up, harapannnya kita bisa bertemu di tengah-tengah. Idealnya menurut kami, ICCN bisa membantu Bekraf dalam memetakan potensi lokal, bagaimana cara diseminasi program-program Ekraf, agar efektif dan tepat sasaran. ICCN harus memberikan maslahat untuk jejaringnya itu sendiri, penguatan Ekraf di daerah agar lebih mandiri, berdaya tawar yang lebih baik dan bisa berkontribusi dalam upaya menyelesaikan permasalahan ekonomi di masyarakat.
Biem: Seperti apakah Banten di mata seorang Tb. Fiki?
Tb. Fiki Satari: Meski saya besar di Bandung, saya senantiasa didekatkan narasi-narasi hebat tentang Banten oleh Abah Emak (Kakek/nenek) saya. Bagi saya, Banten adalah darah daging, punya potensi dan sejarah besar. Jika didorong aktivasi Ekrafnya, akan berdampak luar biasa dan punya posisi yang khas dibanding daerah lainnya.
Biem: Hal pertama apakah yang mesti dipersiapkan oleh para pihak di Banten untuk mulai membangun Ekraf?
Tb. Fiki Satari: Tentunya kesepakatan stakeholder untuk bergerak bersama, dimulai dengan pemetaan potensi, peranan masing-masing, menyepakati konsesi sub-sektor unggulan dan berkolaborasi. Terlebih saat ini, Banten sudah punya sosok pemimpin muda, yaitu Wagub yang saya kira akan sangat terbuka dengan pengembangan ekonomi kreatif. Banten bisa jadi salah satu kota kreatif di Indonesia dan bahkan masuk dalam dalam peta kreatif UNESCO.
Biem: Kuliner Khas Banten yang membuat Akang ingin mencicipinya lagi?
Tb. Fiki Satari: Masalahnya saya tidak suka seafood dan duren. Hingga Ayah saya menyebut diri saya sebagai orang Banten ‘gadungan’ hihi….. tiap tahun saya ke Banten, menziarahi makam kakek saya di Taman Makam Pahlawan Ciceri dan juga makam nenek di Lontar. Penganan yang saya senangi adalah gemblong yang dicocol semur daging. Banyak hal yang menautkan diri saya dengan Banten, seperti pemakaian “Tubagus” di depan nama saya. (red)