InspirasiOpini

Susi Zulvina: Nazaruddin, Justice Collaborator atau Whistleblower?

Oleh Susi Zulvina

biem.co — Maraknya kasus korupsi dan tindak pidana serius lainnya di Indonesia, dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat  untuk membantu membongkarnya. Namun, tidak semua orang mempunyai keberanian luar biasa untuk memberitahu publik atau seseorang tentang kegiatan tidak jujur atau ilegal yang diduga terjadi di sebuah organisasi publik atau swasta. Para pelakunya biasanya saling menutupi, sehingga sulit untuk dibongkar. Padahal, peran mereka sangat penting untuk mengungkap kasus kejahatan yang serius. Sifat kejahatan serius ini melibatkan banyak pihak yang masing-masing saling menjaga kepentingannya. Di sinilah peran Justice Collaborator dan Whistleblower yang nantinya diharapkan dapat mengungkap ‘peta’ kejahatannya.

Salah seorang pelaku kejahatan yang berani mengungkapkan kepada publik tentang kejahatan dalam sebuah organisasi adalah Nazaruddin. Dia  adalah terdakwa kasus korupsi dan sudah divonis selama 13 tahun penjara atas perbuatannya. Seiring hal tersebut Nazaruddin juga berperan membongkar beberapa skandal kejahatan, di antaranya skandal  proyek “Wisma Atlet Jakabaring dan Hambalang”, juga  mengungkap peran mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan pelaku-pelaku lainnya.

Selanjutnya, Nazar juga ikut dalam membongkar peran Setya Novanto dalam mega-skandal proyek “Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP)”. Atas perannya tersebut, apakah Nazarudin termasuk kategori Justice Collaborator atau Whistleblower?

Syarat Justice Collaborator & Whistleblower

Peraturan bersama yang ditandatangani pada Desember 2011 oleh Kapolri, Kejaksaan Agung, KPK, Menkumham, dan Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban tentang perlindungan terhadap pelapor dan sanksi pelaku, telah memberikan definisi yang jelas tentang Justice Collaborator dan Whistleblower ini. Disebutkan, bahwa Justice Collaborator adalah sanksi pelaku yang bekerjasama. Dia seorang sanksi, sekaligus pelaku kejahatan. Yang bersangkutan sadar dan mau bekerjasama untuk membongkar kejahatan yang lebih luas.

Yang tak kalah penting dari seorang Justice Collaborator adalah, ia juga memperoleh harta kekayaan dari perbuatannya tersebut, tetapi dia bersedia mengembalikan kepada negara. Seorang Justice Collaborator juga berhak untuk mendapatkan perlindungan fisik, baik untuk dirinya juga keluarganya. Rewards bagi Justice Collaborator, bisa dalam bentuk pemberian hukuman yang paling ringan. Misalnya, hukuman percobaan dengan syarat khusus. Kemudian apabila sudah divonis, Justice Collaborator akan dapat remisi khusus, misalnya dengan pembebasan bersyarat.  Atau jika hukumannya berat, maka akan dibantu untuk mendapatkan remisi.

Sedangkan Whistleblower, adalah mereka yang menyampaikan informasi mengenai suatu kejahatan yang dia sendiri tidak terlibat. Jadi, ia bukan bagian atau pelaku dari kejahatan yang dilaporkan. Dapat juga dikatakan bahwa Whistleblower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan/pekerja, anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak  yang berwenang.

Whistleblower bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai contoh, Whistleblower yang menjadi istilah sangat populer karena marak pemberitaannya beberapa waktu yang lalu adalah kejadian yang menimpa Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seorang Auditor Badan pemeriksa Keuangan (BPK) yaitu Khairiansyah sebagai seorang Whistleblower yang mengungkapkan penyuapan yang dilakukan oleh anggota KPU. Hal ini merupakan contoh dari skandal keuangan. Namun, skandal yang terjadi bukan saja di bidang keuangaan, tetapi bisa menyangkut segala hal yang melanggar hukum dan dapat menimbulkan kerugian maupun ancaman bagi masyarakat.

Ada dua tipe yang paling sering ditemukan, yaitu Internal Whistleblower dan External Whistleblower. Internal whistleblower adalah seorang pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya, atau atasannya yang juga ada di dalam perusahaan tersebut. Sedangkan untuk tipe External Whistleblower, adalah pihak-pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak di luar instansi, organisasi, atau perusahaan tersebut. Biasanya tipe ini melaporkan segala tindakan melanggar hukum kepada media, penegak hukum, ataupun pengacara, bahkan agen pengawas praktek korupsi ataupun  instansi pemerintahan lainnya.

Perbedaan yang jelas antara Justice Collaborator dan Whistleblower juga terletak pada masalah penuntutannya. Whistleblower tidak bisa dituntut, baik secara pidana maupun perdata atas laporannya. Seorang Whistleblower mempunyai itikad baik untuk membongkar sebuah kejahatan. Dia murni ingin membongkar suatu perkara tanpa pamrih apapun dan karenanya dia berhak untuk mendapatkan perlindungan fisik. Dari laporannya, juga ada potensi kekayaan negara yang diselamatkan. Maka sebagai imbalannya, dia juga berhak atas sekian persen dari harta yang diselamatkannya itu.

Lalu bagaimana dengan Nazaruddin?

Apakah dia masuk kelompok Justice Collaborator atau Whistleblower? Melihat peran Nazar dalam mengungkap skandal  proyek “Wisma Atlet Jakabaring dan Hambalang” sekaligus dia terlibat dalam kasus tersebut, maka Nazar dapat  dikategorikan sebagai Justice Collaborator. Beliau juga banyak membantu aparat hukum dalam membongkar beberapa  perkara, di antaranya skandal  proyek “Wisma Atlet Jakabaring dan Hambalan” dan juga mengungkapkan peran mantan Ketua Umum Partai Demokrat,  Anas Urbaningrum serta pelaku lain. Di antaranya  Andi Malarangeng juga akhirnya masuk penjara gara-gara kasus yang sama.

Sebagai Justice Collaborator, Nazar sudah beberapa kali mendapat remisi/potongan hukuman. Nazar juga mendapat vonis ringan atas kasusnya yang sudah diadili, di samping juga sudah mengembalikan beberapa asetnya kepada negara.

Bila dilihat dari peran yang dimainkan oleh seorang  Justice Collaborator atau Whistleblower dalam mengungkapkan suatu perkara, maka sudah selayaknya Pemerintah bersama DPR untuk membuat payung hukum yang komprehensif bagi perlindungan mereka. Kepedulian yang dipaksakan, yang terhindar dari upaya untuk membangun sebuah sistem yang mewajibkan individu-individu untuk saling peduli, saling koreksi dan saling mengingatkan sangatlah diperlukan demi keselamatan kehidupan bermasyarakat.

Memahami tentang Justice Collaborator atau Whistleblower adalah penting. Masyarakat diharapakan mampu mencegah dan mengurangi pelanggaran hukum yang terjadi. Sehingga  akan membentuk budaya baru yang korektif, serta dapat meningkatkan kinerja aparatur negara/pemerintah dan swasta. Diharapkan, hal ini akan mendukung pencapaian tujuan negara dalam membentuk masyarakat madani. Yaitu kehidupan masyarakat yang jauh dari ancaman tindak pidana yang serius, seperti narkotika, korupsi, terorisme, perdagangan manusia, pelanggaran HAM serius, dan sejenisnya. (red)


SUSI ZULVINA, merupakan Dosen Jurusan Pajak di Politeknik Keuangan Negara STAN Bintaro


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button