Skriptoria: Jalaludin Ega (Pimpinan Redaksi)
Sebagai warga negara, -baik yang mendukung pemerintahan berkuasa, oposisi, atau sebagai lawan politik pasif,- kita semua mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bukan hanya karena jumlah penduduknya, gugusan puluhan ribu pulau, atau sumber daya alam yang melimpah, melainkan juga karena bukti sejarah yang begitu panjang telah mengubah bangsa ini menjadi bangsa potensial dan mampu menarik perhatian dunia.
Dalam beberapa kesempatan, kemajuan yang dicapai negara kita menuai pujian pemimpin-pemimpin dunia. Presiden Amerika Serikat, Trump, misalnya, dalam sambutannya pada pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation/APEC Summit, memuji Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki transformasi cemerlang di Asia. Trump mengapresiasi Indonesia yang berhasil mengangkat diri hingga menjadi satu dari 20 anggota negara-negara yang memiliki ukuran ekonomi terbesar di dunia, atau disebut G-20.
Ditempat yang sama, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pun memuji kepemimpinan nasional Indonesia yang telah berhasil memperbaiki iklim investasi sehingga mengalami peningkatan yang signifikan. Disusul Malcolm Turnbull, Perdana Menteri Australia, yang juga menilai Indonesia sangat baik dalam hal upaya menyinergikan kemitraan ekonomi menyeluruh regional tingkat ASEAN dengan perdagangan bebas Asia-Pasifik, Indonesia dinilai baik dalam hal mengupayakan peningkatan indeks kemudahan berbisnis.
Sementara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pun ikut mengapresiasi. Dalam kesempatan di Islamic Reporting Initiative (IRI) untuk pelaporan CSR, Indonesia dipuji atas kapasitasnya yang mampu membuat bisnis di dunia Islam dapat terus berkelanjutan dan semakin sejahtera. Pujian ini menyusul usaha Indonesia dalam menyebarluaskan kesejahteraan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan cara yang tidak hanya memberikan pengaruh dan berkelanjutan, tetapi juga relevansi responsif secara budaya.
Pujian-pujian yang kita dapat dari bangsa lain pada akhirnya, -hendaknya- semakin mengukuhkan keyakinan bahwa keterlibatan Indonesia di berbagai forum kerja sama internasional dan regional (harus) tetap berbasiskan pada kepentingan nasional. Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa pilihan politik luar negeri bebas dan aktif selama ini berada di jalur yang tepat.
Akan tetapi, sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia, ironinya, di dalam negeri, Indonesia pun memiliki beragam masalah: Konflik kekerasan antar-suku; perpecahan antar-umat beragama; pertikaian antar-golongan; pertarungan politik yang tidak sehat; menyebarnya HOAX; kebijakan-kebijakan yang pro-golongan; disintegrasi moral generasi bangsa, maraknya narkoba di kalangan artis, pelajar dan mahasiswa, serta sederet masalah lain yang kemudian, -sadar atau tidak- diperparah dengan tingginya angka korupsi.
Menarik sekaligus miris, membaca artikel yang ditulis oleh seorang wartawan yang bersumber dari ceramah salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, yang memberikan rincian tentang persoalan bangsa ini ke dalam sepuluh masalah; Pertama, bahaya bisnis besar narkoba yang telah menjadikan Indonesia sebagai pasar utama bisnis barang mematikan itu; Kedua, perampokan uang negara (korupsi) oleh aparat pemerintah pusat atau daerah, DPR/DPRD, DPD, Polisi, Jaksa, Hakim/Hakim Mahkamah Konstitusi, Menteri, Pengacara, Pebisnis Gelap dan Penyuap Pejabat, serta Dosen Negeri; Ketiga, praktik jual jasa (suap) izin pendirian hotel, apartemen, pusat belanja modern, penambangan minyak, gas, mineral batubara, dan tata ruang daerah maupun nasional; Keempat, praktik penguasaan 77% kekayaan negara oleh 10 pengusaha hitam dan 1 pengusaha keturunan yang diizinkan menguasai 6 juta hektar lahan (senada dengan yang diucapkan Amin Rais beberapa waktu lalu dan membuatnya bersitegang dengan LBP).
Kelima, tidak terbukanya aparat Polri dalam membongkar siapa sesungguhnya aktor dan dalang serangkaian panjang gerakan terorisme dan kriminal yang keji dan terkutuk; Keenam, praktik mafia suap (uang sogok) oleh kalangan pebisnis busuk kepada pejabat, politisi, parpol, dan aparat penegak hukum yang telah menghancurkan martabat bangsa; Ketujuh, meluasnya kehadiran “generasi android” yang telah menyita waktu produktif mereka; Kedelapan, semakin terbiasanya ucapan bohong di depan jutaan rakyat dan pengakuan mendadak sebagai pejuang Pancasila dan NKRI tanpa bukti kejujuran dan kecerdasan; Kesembilan, menjamurnya izin pasar dan pusat belanja modern berjejaring nasional yang mematikan pasar dan pusat ekonomi rakyat kelas menengah; Kesepuluh, terjadinya kesenjangan ekonomi sebagai pemicu ketidakadilan sosial dan munculnya sikap radikalisme dalam masyarakat yang berujung pada terorisme. Pun, beberapa orang, -karena maraknya pertikaian dan ‘perang’ antar kelompok- bahkan menyebut pula ada krisis kepemimpinan.
Membutuhkan energi yang sangat besar agar masalah ini tidak hanya sekedar diketahui, tapi diperbaiki, diselesaikan dengan efektif dan bertanggungjawab demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sebagaimana cita-cita bangsa. Singkatnya, sepuluh masalah yang teridentifikasi tersebut secara ironis, -berbanding terbalik dengan puji-pujian yang diterima dari bangsa lain- mengungkapkan bahwa negara kita hampir sampai pada kategori “negara dengan cara pengelolaan yang tidak berkeadilan”.
Setelah hampir 73 tahun menjadi bangsa yang merdeka, patutlah rasanya kita menengok ke belakang dengan penuh apresiasi, meski secara tak kasat mata, diakui atau tidak, penekanan terhadap apresiasi ini diharapkan akan mencerminkan suatu sikap pandang yang optimis yang harus sejalan dengan apa yang diamanatkan pancasila dan pembukaan UUD 1945, ‘berkeadilan sosial.’ Sikap ini saya rasa dapat dibenarkan. Bukan kemudian hanya untuk mengenang bagaimana perjuangan bangsa ini dan bangga dengan kebesaran masa lalunya, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa belajar mengatasi persoalan yang dihadapi yang tidak selesai dengan cara-cara besar dan baru, -bisa saja- akan selesai dengan cara-cara kecil dan konvensional.
Di kalangan sastrawan –jika boleh saya meminjam- perspektif yang saya tawarkan dalam tulisan ini mungkin mengarah pada istilah “realisme historis”, yang tidak banyak mengizinkan adanya pengandaian atau penyelesaian-penyelesaian normatif berkenaan dengan masa lalu. Dalam semangat (realisme historis) ini saya ingin mengemukakan suatu pandangan bahwa sejarah bangsa kita, khususnya masa 73 tahun terakhir ini, tentunya telah lewat tanpa sia-sia. Selalu ada cara-cara yang berhasil mengatasi persoalan apapun. Meskipun orde lama ditumbangkan oleh orde baru yang kemudian disusul dengan reformasi, tanpa harus meminta persetujuan Anda, saya kira setiap orde telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan dan kebesaran bangsa.
“Orde lama”, meski terjadi hal yang kemudian kita anggap sebuah penyimpangan ideologis dengan penerapan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom), pemusatan kekuasaan pada presiden sehingga kewenangannya melebihi ketentuan yang diatur UUD 1945, pengangkatan presiden seumur hidup oleh MPRS terhadap Soekarno, pembubaran DPR oleh presiden dan membentuk DPR-GR tanpa melalui permusyawaratan, serta masuknya kita ke dalam poros Moskwa-Peking sehingga bertentangan dengan prinsip politik bebas-aktif. Dalam pandangan yang apresiatif ini semua harus dilihat sebagai sejarah yang bertanggungjawab atas pertumbuhan modern bangsa, yang kini terwujud dalam bentuk negara nasional yang meliputi Sabang-Merauke dengan konstitusi dan falsafah yang secara formal telah mapan dan mantap. Untuk itu sudah sewajarnya kita berterimakasih dalam arti sebenarnya kepada bapak pendiri bangsa, khususnya Soekarna dan Hatta, dua proklamator yang merumuskan berbagai nilai ideologi nasional kita.
“Orde baru”, yang menampilkan perubahan kekuasaan yang statis, sistem rekruitmen politik yang tertutup, pemilu yang dianggap sangat tidak demokratis, diabaikannya hak asasi manusia, kontrol yang terpusat dalam perekrutan organisasi politik, penentuan ketua umum partai politik harus seizin presiden, dan presiden yang memegang kuasa sumber keuangan negara. Betapapun berbeda dengan “orde lama”, orde baru harus dipandang sebagai kelanjutan langsung masa sebelumnya. Ia lahir berkat pengalaman periode yang mendahuluinya dan menjadi wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu. Wujudnya adalah tekad untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, meski itu tidak akan terjadi tanpa “ongkos-ongkos” yang kadang-kadang cukup tinggi, seperti tekanan terhadap keamanan yang sering disertai implikasi penekanan terhadap “kebebasan”, tetapi pengalaman stabilitas politik, keamanan nasional dan pembangunan ekonomi pragmatis selama kurang lebih tiga dasawarsa ini haruslah dianggap sebagai sesuatu yang amat banyak memperkaya proses pertumbuhan kita sebagai bangsa besar.
“Reformasi”, sebagai kelanjutan dari Orde Baru, di awal kebangkitannya juga memiliki masalah; mulai dari perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan Bulog Gate yang kemudian berujung pemberhentian presiden karena dianggap bertentangan dengan haluan negara; haru-biru lepasnya Timor Timur dan kepulauan Sipadan serta Lingitan dari pangkuan ibu pertiwi, serta terancamnya stabilitas politik yang kemudian melahirkan konflik vertikal/horizontal seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Mandiri (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan maraknya terorisme; belum maksimalnya pemberantasan KKN, pelanggaran HAM, reformasi birokrasi, tingginya angka pengangguran, investasi tebang pilih, kredibilitas aparatur negara, utang luar negeri, kesehatan, mahalnya biaya pendidikan, kerukunan beragama (lagi), dan pecahnya persatuan karena pertempuran politik. Baru ketika menginjak dasawarsa kedua, keberhasilan orde reformasi teramat banyak mampu kita uraikan. Pada orde ini, bangsa kita berhasil menata kehidupan ketatanegaraan dengan; amandemen UUD 1945, stabilitas politik lebih terjaga, kebebasan pers menjadi preseden baik sebagai sebuah kecerdasan empiris, pemilu yang lebih demokratis dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan demokratis, penegakan supremasi hukum dan kocar-kacirnya koruptor di bawah kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Masalah besar adalah sebuah hal, dan solusi menjadi hal lain, dan ini adalah sesuatu yang berbeda sama sekali untuk dipersepsikan. Setiap “orde” pasti memiliki masalahnya sendiri dan itu kemudian yang seharusnya menjadi “kontemplasi” bagi warga negara untuk ikut juga memahami dan terlibat menyelesaikannya. Setiap masa yang dilalui bangsa ini dengan masalahnya, selalu ada solusi yang menyertainya. Masalah terbesarnya adalah ketika solusi-solusi yang ditawarkan terlalu besar dan administratif dan hanya bisa dilakukan segelintir orang, hal ini kemudian berujung pada kelelahan. Ketika setiap pemimpin bangsa ini menawarkan solusi besar untuk menyelesaikan masalah yang besar, kita biasanya gagal, frustrasi dan berkecil hati. Kegagalan ini tidak diakibatkan lemahnya strategi, tapi lebih kepada semangat perbaikan yang “loyo”, cepat menyerah dan tanpa evaluasi. Sudah banyak upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa, tapi yang ada hanya kelelahan, diperparah dengan apatisme yang menyebar -layaknya kutu air- di kalangan bawah.
Cermati saja bagaimana pernyataan salah satu petinggi partai yang menyatakan bahwa “kemungkinan Indonesia bubar pada tahun 2030”. Bagi saya ini adalah salah satu bentuk frustasi dan sikap loyo. Meski bagi sebagian orang bahwa pernyataan ini adalah peringatan agar kita waspada, bagi saya, pernyataan ini tetap saja harus dievaluasi ulang. Meski di satu sisi saya harus dengan sangat setuju mengakui bahwa indikator-indikator ke arah ‘bubar’ telah terlihat nyata. Saya tidak menyalahkan Prabowo Subianto, statement itu mungkin muncul karena indikator-indikator nyata.
Korupsi misalnya; negara sudah dengan sangat serius membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan harapan ada badan khusus yang dapat menyelesaikan kasus korupsi. Tapi angka korupsi makin tinggi dan pelaku korupsi semakin merambah ke level bawah pemerintahan (kepala desa).
Stabilitas Politik; meski ‘ruh’ Reformasi menawarkan kebebasan berserikat dan berkumpul serta kemudahan mendirikan partai politik, ini kemudian menghadirkan masalah baru, dimana semakin tegangnya poros politik memperebutkan kekuasaan. Jika dulu hanya Partai Golkar yang dihadapi oleh PDI/PPP, era ini semua partai saling berseteru. Meski ada accessoir koalisi, masing-masing partai koalisi juga sepertinya telah siap-siap memasang kuda-kuda agar setiap saat bisa menyerang apabila koalisinya berkhianat. Efeknya besar, tidak hanya partai politik yang berseteru, pada level bawah konstituen partai ikut terlibat perseteruan dengan konstituen partai lain. Apalagi di zaman sosial media seperti sekarang, beranda-beranda Facebook, Twitter, Instagram tidak luput dari propaganda-propaganda kecil sampai besar, setiap detik, setiap hari. Dan tidak bisa diabaikan, era ini juga menjadi era buruk di mana kebebasan berserikat mulai dikekang, indikatornya ialah dibubarkannya Ormas tanpa proses peradilan, lalu dikekangnya mimbar bebas akademik dengan dilarangnya beberapa buku yang berisi kritikan-kritikan terhadap pemerintah berkuasa (Jokowi Undercover).
Ekonomi–infrastruktur; dalam tiga tahun terakhir, pembangunan infrastruktur sangat menggebu-gebu. Beberapa pakar berpendapat bahwa ini terlalu berlebihan dan terlalu sembrono. Sorotan publik tertuju pada mega proyek pembangunan infrastruktur yang secara serentak dijalankan di berbagai daerah. Semua warga negera diingatkan, bahwa era Jokowi, pembangunan infrastruktur menjadi fokus utama, dan untuk mewujudkan agenda tersebut, tentu saja memerlukan dana yang sangat besar. Dibutuhkan total dana sekitar Rp4.700 Triliun untuk menyelesaikan 245 proyek strategis nasional dan dua program terkait dengan pembangunan infrastruktur. Dan dari total pendanaan tersebut, pemerintah menanggung sekitar 35 persen, swasta sebesar 42 persen dan BUMN menanggung sebesar 23 persen. Pemerintah mengakui bahwa angka tersebut melampaui kemampuan negara, akibatnya, hutang indonesia meningkat tajam, dan untuk menutup hutang tersebut akhirnya mau tidak mau pemerintah harus melakukan pemangkasan subsidi BBM, kenaikan TDL, dan kenaikan beberapa sektor pajak. Hal ini dilakukan dengan dalih memberikan ruang fiskal yang besar untuk pembangunan infrastruktur, padahal! Kita lebih tahu pasti ke arah mana keberpihakan kebijakan itu.
Pendidikan; Maraknya penjualan ijazah, tindak kecurangan saat UN, rendahnya kompensasi yang diterima guru/pendidik, kualitasnya pendidikan yang masih rendah, kurikulum yang tidak pernah stabil, infrastruktur yang un-faedah, mahalnya biaya pendidikan, klasifikasi level pendidikan, pemukulan sampai pada pembunuhan guru menjadi masalah tersendiri di era ini.
Sebelum saya menyelesaikan tulisan ini, sudah banyak beredar tulisan yang mendukung atau menganalisa pernyataan Prabowo Subianto tentang bubarnya Indonesia pada tahun 2030, yang ternyata bersumber dari sebuah novel. Terlepas dari sumber fiksi atau non-fiksi, saya rasa, jika kita tetap bertikai dan tidak belajar dari masa lalu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, saya -akan dan harus- membenarkan pesan dalam “Ghost Fleet” yang ditulis P.W. Singer dan August Cole tersebut bahwa bangsa kita memang akan hancur. Tidak harus menunggu satu dekade lagi untuk menuju kehancuran itu, tahun depan, saat Pilpres digelar, negara kita mungkini saja akan bubar, lebih cepat dua belas tahun jika kita, lagi-lagi, tidak belajar dari masa lalu dalam mengatasi masalah.
Telah sampai pada akhir bahwa saya harus mengemukakan pendapat saya tentang semua carut-marut ini. Merujuk realisme historis, saya rasa, semua masalah yang ada adalah bentuk komtemplasi bahwa bangsa ini akan tumbuh dewasa kembali. Menurut saya, formulasi untuk mengatasi masalah bangsa yang harus dijalankan oleh setiap warga negara harus dibuat dengan cara yang benar-benar bisa bekerja secara efektif.
Kuncinya adalah berpikir kecil seperti yang biasa dilakukan anak-anak. Karena menurut saya, solusi yang besar-besar hanya dapat memperbaiki versi abstrak dan umum dari masalah itu sendiri. Karena masalah yang besar biasanya merupakan kombinasi dari banyak hal yang lebih kecil, maka yang harus dilakukan adalah memulainya dari yang kecil.
Tengok saja bagaimana Lao-Tzu mengatakan bahwa “Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah kecil”, atau menurut Konfusius; “orang yang menggerakkan gunung dimulai dengan membawa batu-batu’. Metode yang sama juga saya rasa berlaku untuk mengatasi masalah besar bangsa ini, mulailah dari hal kecil.
Ini bukan ide baru, paling tidak bagi para filsuf di dataran Asia, ini pasti terdengar sangat akrab. Dan Anda pasti akan bilang bahwa Anda sudah tahu hal ini. Syukurlah! Kalau begitu.
Tapi, pertanyaan selanjutnya, “dari mana dan bagaimana memulainya?”. Itulah masalah sebenarnya, “jika kita bahkan tak tahu dari mana memulainya, maka kita tak akan pernah tahu bagaimana mengatasinya’, padahal, menurut saya, pakai saja tagline keren dari salah satu online shop di Indonesia, “#MulaiAjaDulu.”
Masih kepikiran soal Ghost Fleet? Tenang saja, meski Prabowo mengatakan bahwa ada Skenario Writting pada novel-novel keluaran Barat di mana menurutnya, setiap buku (apapun genre-nya) yang ditulis di Barat adalah hasil kajian inteligen dan riset. (Tidak seperti novel-novel Indonesia yang ditulis berdasarkan hayalan). Prabowo lupa kalau Indonesia juga memiliki Skenario Problem Solving. Lihatlah! -baca ulang dari awal tulisan ini- masalah mana yang tidak bisa bangsa ini selesaikan.
Sekarang, saya rasa, saatnya kita harus menyampaikan pada P.W. Singer dan August Cole bahwa jika mereka tak pernah menggunakan ‘Sepatu Kita’, mereka tak akan pernah tahu ‘Bau kaki Kita,’ jika demikian, Mereka tak akan pernah tahu jalan mana saja yang sudah Kita (bangsa ini) lalui.
Percayalah! Indonesia akan baik-baik saja, kapanpun. Selamat pagi dan selamat beraktifitas.