InspirasiOpini

Dhea Lintang Wengi: Women’s March 2018 dan Beberapa Catatan

Oleh: Dhea Lintang Wengi

biem.co — Delapan Maret telah resmi digagas dan dijadikan sebagai Hari Perempuan Dunia. Hari tersebut kemudian menjadi sebuah momentum dalam menyuarakan keresahan, kegelisahan, kepanikan, kekecewaan, dan juga rasa kesal yang tak berujung. Ironisnya, sejak zaman sebelum masehi—zaman dimana filsuf Simon de Behavoir menyuarakan kegelisahannya melalui karya kanon bertajuk Second Sex—hingga zaman milenial saat prosa Dilan berhasil difilmkan, persoalan tentang perempuan tak kunjung reda dan habis-habisnya. Terlepas dari beribu tuntutan yang disuarakan oleh perempuan, emansipasi saat ini memiliki konteks yang berbeda, meski suaranya masih sama; membela kaum yang termarginalkan.

Seperti kita ketahui bersama, kini perempuan telah berhasil mengisi ruang-ruang publik, bahkan turut berperan dalam sektor yang dianggap maskulin, seperti dunia politik dan parlementer. Misalnya, jika kita menilik konteks kebantenan, Banten sedikit banyak dinilai sudah berpihak pada perempuan. Dari delapan kabupaten/kota di Banten, dipimpin oleh perempuan, yakni Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kota Tangerang Selatan.

Tak sedikit pula yang menganggap bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan  yang ‘latah’ atau terlalu mengada-ada. Banyak pula yang bertanya, mengapa kaum feminis hingga saat ini masih rajin membela yang sebetulnya dipertanyakan juga apa yang dibela? Ironisnya, persoalan seksis yang menjadikan perempuan sebagai property dan object dianggap telah selesai. Padahal, kekerasan pada perempuan, KDRT, pelecehan seksual, woman trafficking, hingga saat ini masih kita temui kian subur dan merajalela di mana-mana. Beberapa waktu yang lalu, saya juga dibuat merinding dengan kasus pelecehan seksual seorang siswa yang mondok di salah satu pondok pesantren yang ada di Kota Serang.

Kemudian gerakan yang dinilai sama latahnya, Women’s March lahir atas reaksi sikap dan tindak tanduk Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tujuannya adalah mengirim pesan tegas kepada pemerintahan yang baru juga kepada dunia bahwa hak perempuan merupakan hak asasi manusia. Women’s March digadang-gadang sebagai gerakan yang lebih besar, yang tidak terbatas hanya menyuarakan isu-isu perempuan.

Lebih dari itu, Women’s March lahir dan massif bersuara atas nama kemanusiaan dan keadilan atau kesetaraan sesama manusia, perempuan dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki, perempuan dengan LGBT, dan lain sebagainya. Hidup dalam kungkungan budaya patriarki, maka semuanya menjadi hirauan. Banyak hal yang dianggap “normal” dalam struktur patriarki, namun sebetulnya perlu kita tolak, dan bersama-sama mengembalikan kewarasan dalam koridor kenormalan yang benar. Tentu semua harus diawali dengan itikad untuk menyadari dan memperbaiki.

Itikad menyadari dan memperbaiki bisa dimulai dari berbagai hal alternatif, seperti mulai membuka kacamata penilaian terhadap apa yang sebetulnya terjadi. Menggunakan kacamata penilaian matriarki bukan berarti kaum perempuan ‘mengalahkan’ laki-laki, tetapi kaum perempuan yang menyuarakan ketidakadilan dalam bentuk apapun—yang tidak terbatas hanya pada kesetaraan gender—.

Kedua, kita juga bisa ikut serta dalam sebuah gerakan yang setidaknya mampu merawat kewarasan dan kenormalan dalam berpikir, atau bisa juga menyuarakan isu-isu marginal melalui tulisan, entah essai, puisi, maupun cerita pendek dan novel. Melalui karya sastra, suara kita mampu dibaca oleh banyak orang. Raden Ajeng Kartini, mampu menyuarakan emansipasi perempuan melalui surat-suratnya yang ditulis olehnya. Kita juga mencontoh Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu, meski banyak orang menganggap dan menggolongkan mereka ke dalam sastrawangi, tetapi mereka tidak takut disebut liyan karena dianggap menggunakan metafora yang tabu dan dianggap tidak wajar.

Bukan karena perempuan tidak memiliki penis, kemudian dianggap sebagai manusia kelas kedua atau menjadi the other, tetapi masih banyak kaum perempuan yang belum siap dianggap berbeda dalam menyuarakan pendapatnya. Cat calling bukan kewajaran, kekerasan terhadap perempuan bukan kebenaran, penindasan atas hak-hak perempuan bukan kenormalan. Suarakan suaramu melalui apapun, dan hempaskan rasa takut saat dirimu dinilai berbeda. Hanya ada satu kata: Lawan!


Penulis adalah script writer Banten Raya TV, bergiat di Kubah Budaya.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button