CerpenInspirasi

Egi Mahbubi: Sepenggal Lagu Pengantar Tidur

biem.co — Kucoba memejamkan mata yang mulai berat, tetapi sulit sekali terlelap. Banyak nyamuk masuk ke dalam kelambu dan menancapkan moncongnya yang runcing pada kulitku. Kulitku terasa gatal. Berulangkali aku harus menggaruknya. Ibu menepuk nyamuk-nyamuk yang berada di sekitar kami dengan kedua tangannya dan mengusirnya keluar dengan raket beraliran listrik. Setelah nyamuk-nyamuk itu pergi, entah mengapa aku masih saja sulit memejamkan mata.

“Bu, ceritakan Nina sebuah dongeng.”

Lalu Ibu menceritakan sebuah dongeng tentang binatang. Meski ia bukanlah pendongeng yang handal, ia selalu bisa membuatku yakin akan ceritanya. Setiap penuturannya mampu membuat membentangkan sebuah layar di benakku dengan gambar seperti yang dikisahkan. Namun, entah mengapa, hingga dongeng itu selesai, aku belum jua dapat terlelap.

Ibu pun mencoba menyenandungkan sebuah nyanyian. Nina bobo oh Nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk. Sepenggal kalimat lagu itu seperti mantra yang mampu mengundang kantuk. Atau mungkin suara Ibu yang merdu bernyanyi penuh kasih yang membuatku merasa nyaman sehingga aku dapat memejamkan mata di sampingnya. Aku jadi ingin selalu dinyanyikan Ibu menjelang tidur. Rasanya aku tidak ingin memejamkan mata sebelum mendengar suaranya yang merdu.

Setiap ibu menyanyikan sepenggal lagu itu, Hellen selalu datang. Aku senang setiap ia datang. Jika suatu ketika aku merasa kesepian, aku cukup menyenandungkan sepenggal lagu itu: Nina bobo oh Nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk. Maka tak lama kemudian, perempuan kecil yang memiliki warna rambut seperti senja akan datang dengan wangi bunga kesturi yang menguar bersama semilir angin.

***

Suatu malam ketika aku terjaga, aku mendapati ia sudah berada di tepi ranjang. Aku mecolek lengannya, tetapi ia tak jua menoleh. Ia terus memunggungiku—tak seperti biasanya yang selalu memberikan senyum saat kami berjumpa. Kudengar isak tangis yang membuatku mengurungkan diri untuk memejamkan mata kembali.

Aku membuka kelambu tempat tidurku. “Kamu kenapa?” tanyaku. Ia masih saja menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Tak apa,” jawabnya singkat dengan suara berat seraya menyeka air mata di sudut matanya. “Lalu mengapa kamu menangis?” tanyaku lagi. Ia menggelengkan kepala seolah tak ingin menceritakan kesedihannya. Ia menghadapku dan tersenyum simpul. Senyum yang tampak dipaksakan. Ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. Aku menatapnya, mencoba meyakinkannya agar ia mau bercerita.

“Aku teringat Ibuku,” katanya. Sejenak kami terhenyak. Tiba-tiba terasa getar kesedihan di balik dada. Aku teringat cerita Hellen tentang ibunya yang begitu menyayanginya. Ibu yang kerap menyanyikan sepenggal lagu untuk mengantarkan Hellen memejamkan mata. Lagu yang juga dinyanyikan Ibu menjelang tidurku.

***

Ia merupakan teman yang membuatku merasa nyaman. Berbeda dengan boneka-boneka atau mainan yang dibelikan ayah yang tak dapat kuajak berbagi cerita dan tawa. Aku sangat senang bisa bermain dengannya. Sepulang sekolah, ia kerap menyambutku di depan rumah. Ia dengan sabar menungguku berganti pakaian, makan siang, dan terkadang tidur siang dulu.

Setelah matahari tak terlalu terik, kami bermain bersama. Tempat yang paling kami sukai adalah di bakon di lantai dua rumahku. Di balkon ini kita saling tertawa, bercanda, dan berbagi cerita. Di kala petang, kita menyaksikan senja di langit kota yang tertutup gedung-gedung jangkung. Ketika hari mulai gelap, kita bisa menyaksikan lampu-lampu kota dari kejauhan menyala seperti kunang-kunang.

Pernah juga ia mengajakku pergi ke suatu tempat yang entah. Sebelum kami ke sana, ia memintaku menutup mata. Kupejamkan mata. Aku mendengar gemerincing suara lonceng. Kubuka mata dan tersadar telah berada di suatu taman yang indah. Di sana puluhan peri bersayap bening terbang seraya melambaikan tangan seolah tengah menyambutku. Taman itu dipenuhi bunga-bunga dengan beragam warna. Ada juga pohon-pohon berdaun lebat serta beraneka buah-buahan tumbuh di reranting pohon-pohon.

Sesekali Kami berlarian mengejar kupu-kupu dan capung yang beterbangan di udara. Setelah lelah, kami akan pergi ke sungai untuk minum. Di sana mengalir air susu. Kami pun meraih air susu dengan kedua tangan dan minum sepuas hati. Setelah hilang dahaga, kami kembali ke taman. Kami menari di atas guguran daun-daun kering dengan gerakan yang sangat indah. Kudengar suaranya menyenandungkan lagu itu.

Nina bobo oh Nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk.

Ah, suara yang merdu berpadu sebuah gerak tarian yang indah, membuatku sangat terkesima dan ingin menari bersamanya. Aku pun mengikuti gerakan-gerakannya.

 ***

Malam ini aku kembali mendengar sepenggal kalimat lagu itu disenandungkan. Nina bobo oh Nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk. Suara itu menggema ke seluruh penjuru ruangan. Aku tahu itu bukan suara Ibuku. Aku kenal betul suara itu. Suara Hellen yang amat merdu. Aku beranjak dari kamarku menuju tempat suara itu berasal.

Di ruang tamu, aku melihat Hellen sedang bernyanyi sambil menari. “Wah, kamu semakin lihai menari.” Ia tampak senang mendengar pujianku. “Oh, ya, kalau aku boleh tahu, siapa yang mengajarimu menari?”

“Ibuku. Ia dulu seorang yang sangat pandai menari,” jawab Hellen.

Tiba-tiba ia terhenyak. Hening beberapa jenak. Ia berdiri tersenyum dan mulai menari lagi. Aku pun mengikuti gerakan-gerakannya. Kami menari bersama dengan bahagia.

Tiba-tiba, Hellen berhenti menari saat mendapati Ibuku datang. Oh, ya, aku belum sempat mengenalkannya. Mungkin inilah waktu yang tepat. Namun, tiba-tiba ia hilang dari pandangan. Aku mengitari sekitar, tak kudapati ia. “Kamu di mana, Hellen?” gumamku dengan suara lemah. Wajah Ibuku tampak heran mendengar aku berbicara.

“Nina, apa yang sedang kamu lakukan?”

Aku tak menjawab.

“Ayo kita tidur. Besok kamu harus sekolah.”

Ibu menuntunku menuju kamar. Kulihat jarum jam dinding telah melewati angka 12. (*)

Serang, 9 Juli 2017


Egi Mahbubi, penulis serabutan. Menulis cerpen, novel, cerita anak, dan RPP.


Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.

 

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button