InspirasiOpini

Usni Hasanudin: Logika Dromokrasi

Oleh: Usni Hasanudin

biem.co – Memang unik, sikap dari pelaksana sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Bahkan keunikan itu selalu muncul di tahun-tahun politik, tahun menjelang pemilihan (akhir periode), bahkan tidak segan menggunakan istilah “tahun yang krusial”. Entah apa yang dimaksud “krusial” itu, akan tetapi hakikat tahun krusial itu adalah pertaruhan apakah mereka tetap bertahan dikursi empuk atau terpental.

Sekilas terlihat tidak ada rasa kekhawatiran, hanya menunjukkan kegelisahan. Bagaimana tidak menunjukkan kegelisahan, ketika banyak penyelenggara negara, partai politik, dan institusi lainnya, bahkan lembaga pemenangan seakan turut larut ikut adu kecepatan dengan mengumumkan hasil surveynya. Tapi saya merasa heran, masyarakat sebagai pemilik suara terlihat biasa-biasa saja. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang menertawakan yang hanya dijadikan bahan hiburan politik.

Dalam politik, kita tentu sependapat dengan Franklin Roosevelt, bahwa tidak ada kejadian yang tidak direncanakan (insidentil). Maka apa yang saat ini sedang terjadi, itupun bagian yang sudah direncanakkan namun bagaimana agar terlihat seolah insidentil. Kejadian seperti Gubernur DKI di laga final Piala Presiden, tidak lolosnya PBB sebagai peserta Pemilu 2019 atau UU MD3 yang baru saja direvisi bahkan isyu Habib Rizieq yang akan kembali ke tanah air bukanlah hal yang insidentil. Namun inilah persaingan politik, inilah adu kecepatan membangun opini, inilah mereka yang ingin bertahan dan mereka yang ingin meraih.

Alih alih demokrasi, meskipun dalam demokrasi membentuk opini bagian dari proses berdemokrasi, saat ini, banyak pimpinan partai mulai unjuk kepantasan dirinya sebagai Presiden maupun Wakil Presiden. Kemudian terlegitimasikan oleh lembaga pemenangan (survey) dengan metode yang berbeda setiap masing-masing lembaga pemenangan.

Seiring sejalan, kinerja pemerintah ditahun-tahun terakhir ini memerlukan penilaian masyarakat. Seakan tidak mau kalah cepat dengan partai politik. Meskipun dengan pola berbeda, masyarakat harus dibentuk opininya agar kinerja pemerintah menunjukkan rasa kepuasan masyarakat disetiap sektor pemerintahan.

Ibarat mata uang, ada yang ingin masuk dalam pusaran kekuasaan ada pula yang mengajak untuk menjadi bagian kekuasaan. Tapi masih ada yang terlupakan bahwa politik adalah kekuasaan yang diperebutkan, satu sama lain saling berhadapan. Mereka yang tidak menjadi bagian pemerintahan juga memiliki hak yang sama itulah logika demokrasi kalau kita dekatkan dengan hak dasar masyarakat.

Namun berbeda dengan logika dromokrasi, meskipun sekilas menunjukkan kemiripan dengan demokrasi. Dromokrasi merupakan istilah “dromos” yang berarti “kecepatan” (speed) dan “kratos” yang berarti “pemerintahan” (rule). Pemerintahan dari kecepatan, oleh kecepatan, untuk kecepatan” (the government of the speed, by the speed, for the speed).

Kondisi yang telah digambarkan di atas, lebih menggunakan logika dromokrasi. Logika yang mengambarkan suatu sistem dimana setiap institusi pemerintahan seperti berperang dan saling unjuk jatidiri. Diantara mereka saling berpolitik bahkan pada tataran ekonomi mereka begitu cepat bahkan mengandalkan kecepatan bertindak sebagai kekuatan utamanya.

Logika domokrasi bukan tidak mungkin apalagi dicegah dalam iklim demokrasi, bahkan inilah saatnya memang logika itu ditunjukkan. Silahkan selama tidak memunculkan diskontinuitas, yang memunculkan ketidaksesuaian antara harapan dan hasil yang tercapai di 2019. Posisi masyarakat Indonesia tentu sudah berbeda dengan mereka yang hidup sebelum era keterbukaan.


Usni Hasanudin, Direktur Lab Ilmu Politik FISIP UMJ dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button