biem.co — Menyangkut pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) pada Senin lalu, hingga kini masih dibanjiri cacian oleh masyarakat hingga pegawai sipil. Menjurus pada pasal 122 huruf K, pasal tersebut menjadi ketidakadilan masyarakat karena menggarisbawahi suatu kebebasan masyarakat dalam mengkritik para politisi.
Dalil tersebut menjelaskan bahwa, DPR akan mengambil langkah hukum jika ada siapapun yang merendahkan anggota DPR atau lembaganya. Disebabkan latar belakang yang kemudian membuat masyarakat geram, karena merasa dengan revisi tersebut DPR mulai tidak bisa ‘disentuh’ oleh apapun.
Padahal, kita tahu betul bagaimana kasus korupsi bersarang dalam lembaga tersebut. Dilansir dari acch.kpk.go.id dan Global Corruption Barometer 2017, bahwa politisi paling korup per 2004-2017 ialah Dewan Perwakilan Rakyat, dimana survey tertinggi dari persepsi masyarakat pada 2017 jatuh pada DPR sebanyak 54%.
Dalam lima hari lalu, di www.change.org, telah datang petisi yang langsung diserbu oleh 50 ribu pendukung hanya dalam kurun waktu 11 jam. Hingga target awal harus mendapatkan sebanyak 75 ribu tanda tangan dan dinaikkan kembali menjadi 150 ribu tanda tangan, kini telah menjadi 200 ribu tanda tangan dan sudah mendapat dukungan sebanyak 177 ribu lebih tanda tangan.
Petisi tersebut tidak jauh dari penolakan sikap DPR yang akan mempidanakan pengkritik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 122. Petisi tersebut dimulai oleh Koalisi UU MD3 dan didukung oleh Masyarakat Sipil untuk UU MD3, Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan FITRA.
Petisi tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal, yaitu kejanggalan kurun waktu revisi undang-undang yang cukup cepat, karena biasanya revisi suatu undang-undang akan berlangsung lama. Dalam petisi tersebut, menjawab beberapa hal yang menyangkut mengenai pengesahan undang-undang tersebut, yakni:
- Tiap orang yang dianggap “merendahkan DPR” dapat dipenjara
Ini adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter. 250 juta masyarakat terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada, pileg, dan pilpres. Mau bentuknya seperti meme Setnov dulu, ataupun tweet, bahkan dikutip di media sekali pun bisa kena.
2. Jika dipanggil DPR, tidak datang = Bisa dipanggil paksa oleh polisi
Pemanggilan paksa ini termasuk kepada pimpinan KPK yang sebelumnya bukan menjadi kewenangan DPR. Langkah ini bisa menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK.
3. Jika anggota dewan mau diperiksa dalam kasus, harus dapat persetujuan MKD (Majelis Kehormatan Dewan), yang anggotanya… ya mereka-mereka lagi
Hal ini dapat menghambat pemberantasan korupsi dengan semakin sulitnya memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan korupsi. Lama-kelamaan, ini akan membuat korupsi makin tumbuh subur di DPR.
Meski DPR tahu bahwa masyarakat akan banyak menentang, tapi mereka tetap mengesahkan UU MD3. Mungkin karena itu disahkan secepat kilat. Diketahui ada delapan Parpol yang mendukung pengesahan revisi UU MD3 tersebut, yakni: PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS, PAN dan PKB. (uti)