Terkini

Kenapa Kita Suka “Stalking” Mantan? Berikut Penjelasan menurut Sains

biem.co – Sobat biem pernah putus cinta? Lalu Stalking mantan? Upss!! semoga tidak ya! Tapi, semua orang pasti pernah melakukannya, apalagi setelah putus cinta/kehilangan seseorang yang dicintai. Apalagi, di era media sosial seperti sekarang, menguntit (stalking) mantan adalah hal mudah yang dapat dilakukan. Perasaan itupun kadang tidak terkontrol.

Eh! Tapi, pernahkah Sobat biem penasaran apa alasan dibalik tak terkontrolnya seseorang untuk berhenti menguntit mantan lewat media sosial setelah putus? Berikut biem.co sajikan untuk Sobat biem semua.

Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking pada 2015, para peneliti melihat alasan psikologis dibalik pengawasan elektronik interpersonal (istilah ilmiah untuk stalking mantan di media sosial) ini.

Dr. Jese Fox dan koleganya, Dr. Robert S. Tokunaga mengevaluasi asosiasi antara berbagai faktor hubungan berkaitan dengan komitmen dalam sebuah hubungan.

Faktor-faktor itu diantaranya keterikatan, modal dalam sebuah hubungan, tanggung jawab atas putus cinta, mencari alternatif hubungan lain, dan tekanan emosional setelah putus cinta.

Para peneliti kemudian menemukan bahwa tingkat komitmen (didasari oleh tingkat modal dalam hubungan) secara langsug terkait dengan rasa sakit karena patah hati.

Selain itu, ditemukan juga bahwa semakin besar kesedihan pasca putus cinta, semakin tinggi intensitas seseorang menguntit mantan lewat media sosial. Hal ini terutama berlaku bagi pasangan yang diputuskan.

Untuk mendapatkan temuan tersebut, para peneliti merekrut 431 peserta dari Midwestern University, AS yang mengalami putus cinta pada tahun sebelumnya. Peserta kemudian diminta mengisi survei online untuk mengukur adanya berbagai faktor dalam hubungan yang dijalaninya.

Para peneliti berspekulasi bahwa orang yang paling mengalami trauma terhadap putus cinta adalah yang paling mungkin menguntit (stalking) mantan di Facebook.

Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Neurophysiology pada 2010 menyebut bahwa karakteristik “kecanduan” di otak juga tercermin saat putus cinta. Hal ini didapatkan para peneliti setelah mengamati 10 wanita dan 5 pria yang baru saja putus cinta.

Bahkan lebih jauh lagi, para peneliti kemudian mengindentifikasi sistem saraf yang terkait dengan keadaan kehilangan alami ini menggunakan fungsional MRI (fMRI).

Para peserta diminta secara bergantian melihat foto mantan pacar/istri dan orang lain yang akrab, diselingi dengan tugas pengalih perhatian. Bagian otak yang aktif saat mereka melihat foto mantan adalah otak depan.

Otak depan sendiri diketahui terkait dengan relevansi motivasi, keuntungan/kerugian, kecanduan narkoba, dan regulasi emosi.

Aktivasi daerah yang terlibat dalam kecanduan narkoba dapat membantu menjelaskan perilaku obsesif yang terkait dengan putus cinta.

Rasa kecanduan inilah yang sulit dihentikan, dan ini merupakan bagian dari reaksi biologis, semacam lonjakan endorphin.

Hal tersebut akan menjadikan seseorang yang mengalami putus cinta menjadi exaholic (kecanduan yang menimbulkan reaksi ekstrem) bahkan membiarkan kesedihan dan obsesinya terhadap mantan mengambil alih kehidupan pribadi dan sosialnya.

Exaholic bukan berarti bersedih, akan tetapi mereka terjebak dalam obsesi kerinduan yang terus menerus. Exaholic juga akan mengalami masalah dengan konsentrasi, mood, kurang minat terhadap suatu aktivitas, serta berkurangnya produktivitas dan persahabatan pasca putus cinta.

Oleh karena itu, para ilmuwan menyarankan untuk melepaskan kecanduan tersebut. Menghapusnya dalam daftar pertemanan di media sosial adalah salah satu caranya. (Iqbal)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button