CerpenInspirasi

Aksan Taqwin Embe: Menyisir Kematian

biem.coSewaktu; di tepi pantai ini. Pada tanaman serupa kaktus berduri yang memenuhi beranda tanjung telah perlahan melesapkan kagum, mengulum kenangan. Ranting kering telah digenapkan dalam ratusan tahun yang menggelisahkan desah rintih warga. Bunga kenanga yang tumbuh di setiap pekarangan rumah warga menghantarkan semerbak luar biasa. Desa ini melesap makmur. Segala kebutuhan tercukupi di tanah yang subur. Lautan berlimpah ikan, pun sejenisnya. Warga di kampung ini hanya mampu melempar kail-kail mungil, serta jala sempit yang mampu mengikat-tercekat ikan seukuran jari lentik ibuku. Ikan saling tunjuk tahu dan patuh, bahwa setelahnya adalah dirinya sebagai santapan siapa saja.

Wahai ikan yang mereguk kegetiran, ikhlaskanlah ketika tubuh mungilmu terangkat dalam setiap lara, duka serta nestapa. Ah, sejauh mana kail itu akan sampai dalam peraduan ikan yang mengirim doa kepada para Dewa? Sementara warga selalu dihantui tangis anaknya yang lapar, kurus kering. Namun mereka seketika bahagia ketika bapaknya datang membawa ikan seukuran kelingking ibunya.

“Hari ini kita makan ikan lele” seru bapak dengan senyum merekah.

“Kok tumben dapat ikan lele, Pak. Beli di mana?”

“Kau gila! Memberi uang ke kau buat beli beras dan sayur saja pas-pasan. Bahkan buat beli secangkir kopi dan sebatang rokok saja tak bisa. Bagaimana aku bisa membeli lele segemuk ini?” kata bapak sembari meminum segelas air putih yang sudah dipersiapkan ibu sedari sore.

Senyum itu tiba-tiba terlipat menjadi lekukan asap dari bibirnya. Sementara rokok yang ia hisap adalah rokok yang terakhir. Rokok yang menghantarkan ia ke gerbang kecemasan.

“ Lantas?”

“Apa kau tidak melihat aku masih memegang kail?”

Ibuku tersenyum kecut. Berkali-kali menengok kail, mengintip wajah bapak yang lelah, kemudian ia masuk dapur dengan penuh curiga.

“Sumiyati, kalau kau tak percaya. Kau tanya Ratno sana yang masih bersimpuh di telaga tepi rumah Wak Jani” teriak bapak dengan wajah murka.

“Iya, aku percaya” sambung ibu dengan nada kalem.

Bapak menghisap rokok dalam-dalam, kemudian ia hempaskan secara perlahan.

“Narti, kau jangan meniru Ibumu!” kata bapak kepadaku.

Ah sejauh manakah jalan durja yang dirapal Bbpak dengan penuh doaagar lekas pecah menjadi kemakmuran yang maha? Aku hanya diam, menatap bapak begitu lekat, semakin dekat. Sulit dipercaya jika desa ini akan memiliki tanah termaktub lesap kesuburan yang tiada tara.

Bagaimana mungkin ladang mampu subur berbagai buah dan sayur, sementara tanah ini lekat dengan garam yang mengendap-endap lesap. Lantas siapa pula yang membagi dalam rajutan gelisah ombak dan dersik rerumputan? Sementara mereka hanya mampu bersekutu dalam penjuru keremangan—mencapai keselamatan hidup—sesampai ujung rekahan senyum anak dan istrinya. Di sini para warga ramai simpuh di lautan, justru para petani adalah warga pendatang. Sementara bapakku dihajar pengangguran atas musim pancaroba yang tak kunjung pulang.

Kegelisahan telah terlipat rapat, ketika aku belum memahami rahim lemah—keluh Ibu. Aku selalu mendengar kata tengik, bedebah yang melulu diungkap ibu dan bapak. Rapalan doa yang dikirim bapak kepada Dewa dengan berbagai sesajian dan bunga telah menjadi kekhusyukan sendiri baginya.

Ah, tiga purnama berlalu,namun air laut masihbergelombang, menerpa-terpa dari arah barat menyapu daun blarak—pohonkelapa yang setia menahan derita.

“Pergilah, barangkali kau menemukan keajaiban. Konon, jika kau mampu menangkis beberapa badai di luar sana—selamat—maka kau akan membawa sepikul, dua pikul keberuntungan, bahkan lebih untuk kami.” ucap ibu kepada bapak.

“Sial…! Angin Barat seperti ini kau masih memintaku memburu ikan di laut sana? Sepertinya kau itu semakin gila, Sum!”

“Kalau kau tidak segera melaut, lantas kita akan makan apa? Persediaan dapur telah habis. Hanya mengandalkan kemahiranmu dalam memancing ikan di telaga sampingrumah Wak Jani itu? Telaga yang sengaja di abaikan karena selalu memakan korban? Sama saja!

“Sama saja bagaimana?” bapak membentak dan semakin murka.

“Pilihannya adalah kau mau menjadi tumbal di telaga itu, atau mau mati di lautan?”

“Jadi kau menginginkan aku mati? Bedebah kau Sum! Istri macam apa kau ini”

“Tidak ada yang bisa menolak takdir. Mau mati dalam mencari nafkah kemudian masuk syurga,atau mau mati dalam berlehaleha kemudian tersiksa di dalam neraka?”

“Sum, bagaimana mungkin aku akan berlayar, sementara angin begitu ganas, menusuk pori—gigilkan darah yang mengalir.Lesap di sekujur tubuhku. Lantas bagaimana pula jika ada ganaspati—hantu laut yang menyeretku masuk ke dalam dasaran lautan untuk menjadi santapannya? Kau mau jika kelak menjanda?”

Tiba-tiba percakapan itu dilekatkan dengan hening airmata. Retinanya menggaramkan badai laut kesepian. Barangkali ikan yang mungil itu telah bersembunyi di bawah hamparan asin lautan. Ikan-ikan yang dilanda asmara dalam musim kawin beranak-pinak.Namun Ibu keukeuh menyuruh Bapak berlayar. Sementara Bapak selalu takut soal kematian.

“Duh..gusti, telah kau landa bencana serupa apa ini? Bencana yang menghantam hati dan airmata. Murkakah engkau?”

“Sudahlah, Sum. Kau jangan membuatku semakin pusing!”

“Kutukan semacam apakah ini? Kepelikan hiduptelah dihanyutkan tangislapartiada henti. Derita ini cukup panjang.Tenggorokan serak, ombak menyeruak.  Bukankah ketika mereka berlayar di lautan, memancing serupa ditawarkan beberapa tubuh ikan untuk ditangkap kemudian disantap?” sambung ibu.

“Iya, itu ketika musim teduh. Musim tiada badai. Kalau seperti ini ikan-ikan bersembunyi”

“Kita akan mati kelaparan dalam badai pantai utara”

Bapak diam. Ia sudah kehabisan tenaga, lenyap kata-kata. Jika diam menjadi petanda kecemasan, lantas kalimat apa lagi yang perlu diucapkan dalam menebas kematian?

***

Seusai bapak melantunkan tembang-tembang ke telinga kanan ibu, kemudian mengecup keningnya, bapak memutuskan pergi berlayar. Melaut—mencari ikan-ikan yang diikat kesedihan dalam badai menggelisahkan.Bapak mencoba redam. Karena kecemasan adalah gerak tangan Tuhan. Airmata Bapak seperti luncuran potongan bara jerami, atau kayu bakar yang membumbung tinggi hingga menggelapkan langit di saat ritual penebas badai dilakukan warga kampung di beranda rumah setiap purnama.

“Aku pergi, Sum! Jaga anak kita baik-baik” ucap bapak kepada ibu sembari mengelus rambutku.

“Hati-hati” jawab ibu sekadarnya.

“Jika aku tidak kembali dalam waktu tujuh hari, maka aku telah mati,”

Suasana hening. Ibuku mengernyitkan kening. Tiba-tiba deruan angin laut mendadak henti menjadi doa-doa penolak kematian.

“Maka siapkanlah silet, kembang kenanga, dan kemenyan. Kubur di tepat tengah halaman rumah. Maka ruhku akan datang. Sebagai bukti dan pamit kepadamu, juga anak kita, bahwa aku telah tenggelam di makan ganaspati. Bukankah kematian ini adalah penebusan ketakutanmu pada kelaparan?” sambungnya.

Lamat-lamat bapak berangkat menuju pantai, menaiki perahunya. Menyisir ombak yang menerpa. Mengemasi keganjilan dan kecemasannya. Namun ia tidak takut, sebab sesajian dalam ritual sudah dilakukan lebih dulu sebelum ia berangkat. Sementara aku masih berkutat dengan kecemasan wajah ibu yang begitu lekat, sangat dekat.

***

Tangerang, Januari 2016


Catatan Kaki:

Ganaspati adalah makhluk gaib yang dipercaya tinggal di dasar laut dan gemar memangsa manusia.


Aksan Taqwin Embe, Penulis Prosa asal Indonesia yang sangat suka menikmati kenangan. Buku kumpulan cerpennya bertajuk “Gadis Pingitan” penerbit Banten Muda Community 2014. Penulis ini termasuk 15 Emerging Writers Indonesian dan diundang dalam perhelatan internasional Ubud Writers and Readers Festival 2017.


Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button