Oleh Muhammad Rois Rinaldi
I/
Di jalanan, anjing sering disebut-sebut. Namanya di jalanan, penyebabnya tidak jauh-jauh dari persoalan jalanan. Misalkan ada orang yang menyalip dari kanan, terlebih menyalip dari kiri. Ketika sepeda motor yang menyalip hampir mengenai spion motor yang disalipnya, lebih-lebih benar-benar menyenggol spionnya, itu pertanda kurang dari 1 detik akan terdengar orang teriak: “Anjing!
Motor yang menyalip cuek saja. Melaju dengan sangat cepat. Orang yang teriak itu tentu tahu bahwa teriakannya sama sekali tidak berguna. Tidak sama sekali terdengar oleh yang bersangkutan. Tetapi persoalan didengar atau tidak, baginya, sudah tidak penting. Yang penting adalah meluapkan kekesalan sesegera mungkin.
Orang-orang yang sedang berada di jalanan, yang lebih dekat dengan orang yang teriak akan biasa saja, karena di jalanan, anjing, biasa dipanggil-panggil. Saya pun sudah sangat terbiasa. Kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja, dengan sangat tiba-tiba saya dapat mendengar orang meneriakkan “anjing”.
Saya sering menganggap teriakan-teriakan itu seperti sirine rusak yang menguing tanpa bisa diprediksi waktunya. Tugas saya hanya memahami kerusakan-kerusakan itu, agar tidak diserang penyakit jantung karena kagetan. Namanya juga jalanan, banyak hal menjengkelkan yang harus diterima dengan lapang dada. Asal jangan ikut-ikutan seperti itu, saya rasa cukuplah.
Tetapi kadang saya menikmati jalanan dengan segala pengarainya itu. Pernah ada kejadian menyenangkan, ketika saya duduk santai sambil ngopi di bengkel yang terletak di tepi jalan, sambil menunggu tukang tambal ban selesai menambal ban belakang sepeda motor saya yang kena paku segede gaban.
Dari jarak yang kurang lebih 15 meter, di depan saya, saya melihat mobil putih menyerempet mobil hitam. Mobil hitam mengejar mobil putih. Kedua mobil tersebut saling serempet. Dengan tempo lambat, mereka terus saling salip, hingga beberapa kali mobil putih terdesak menyerempet pembatas trotoar. Terus berulang demikian, sehingga kedua mobil melewati saya. Saya memutar arah duduk saya, untuk terus menyaksikan adegan saling serempet itu.
Kedua pengemudi turun. Telunjuk mereka saling menuding muka.
Heran, keduanya tidak sama sekali menuding ke arah mobil mereka yang rusak parah. Tidak sama sekali ada indikasi mereka saling menjelaskan kerusakan yang harus ditanggung dan seberapa besar ganti rugi yang harus dibayar oleh salah satu dari mereka. Mereka malah sibuk saling tuding ke muka. Tetapi heran juga, mengapa tidak langsung tonjok-tonjokan. Kan sesame lelaki?
Meski saya tidak dapat mendengar apa yang sedang mereka katakan, saya dapat memastikan mereka sedang bertengkar dan saya dapat membayangkan, kurang lebih dialognya begini:
“Anjing lo!”
“Lo anjing, goblok!”
“Goblokan lo, Anjing!”
“Anjing. Lo yang goblok!”
Keasyikan saya tiba-tiba berubah ketika pertengkaran mereka semakin serius. Jantung saya tiba-tiba berdebar kencang. Persis seperti melihat mantan pacar yang berjalan bergandengan tangan dengan suaminya. Tetapi lama kelamaan saya kembali tertawa geli.
Saya teringat film Chappie.
Sayangnya mobil itu tidak berubah jadi robot dan kota yang saya singgahi tidak berubah menjadi Kota Johannesburg yang kacau balau. Semua biasa saja. Orang-orang yang jualan petis dan es dawet di seberang tetap khusyu’ melayani para pembelinya, begitu pula orang yang hilir mudik, tidak ada yang mempedulikan adegan saling serempet antara mobil putih dan mobil hitam dan tidak memisahkan dua lelaki muda yang sedang adu caci maki.
II/
Di lampu merah, soal anjing menganjingkan jangan ditanya. Banyak orang suka menerobos. Belumlah lampu hijau menyala, klakson berdesingan lalu satu atau dua kendaraan ngebut.
Kalau sedang bernasib baik, tidak terjadi apa-apa. Tetapi kalau bernasib buruk, ada yang tabrakan. Yang paling sering saya temukan, ketika satu motor atau satu mobil menerabas, ada kendaraan lain yang masih jalan dari arah lain. Hampir-hampir tabrakan. Walhasil, dengan segera saya mendengar mereka saling meneriaki.
“Anjing katarak!”
“Anjing goblok!”
Soal dianjing-anjingkan begitu, saya juga pernah merasakan.
Ketika itu ada seorang pemuda berhenti di depan penjual bensin eceran. Tentu saja letaknya di sebuah tepi jalan. Tanpa ba bi bu, ia langsung mengambil satu botol besin dan memasukkan ke tangki bensin sepeda motornya.
Saya perhatikan, penjaga warung, seorang perempuan umuran 40 tahun, sibuk melayani pembeli. Sebab, selain jual bensin ia juga jual berbagai macam makanan ringan. Bensin hanya bagian kecil dari barang-barang yang ia jual.
Saya terheran-heran. Mengapa pemuda itu mengambil sebotol bensin tanpa meminta izin kepada penjualnya?
Karena keheranan, tanpa sadar saya memperhatikan pemuda itu. Tanpa sadar, sepasang mata saya menatap pemuda itu dengan tatapan yang terlalu dalam. Karena itu, ia terganggu. Ia menatap saya dan langsung bicara dengan nada yang tidak terlalu tinggi, tapi cukup dalam: “Apa lo, Anjing?”
Saya senyum. Lelaki itu pergi mengendarai motor matik berwarna putih. Saya melirik pemilik warung, rupanya ia melihat pemuda tersebut dan tidak sama sekali bereaksi. Mungkin adiknya atau apanyalah.
“Begini amat, ya, di jalanan?”
Saya membatin sendiri. Sedih sendiri. Tetapi ada lucunya.
III/
Saya pernah bertanya kepada teman saya, yang saya yakini adalah pengguna jalanan aktif. Karena setiap hari ia mondar-mandir antara Serang dan Cilegon. Apakah hanya “anjing” yang populer digunakan oleh pengguna jalan untuk meluapkan kekesalan mereka? Mengapa tidak menyebut ayam, kelinci, babi, atau kucing.
Kata teman saya, setahu dia, memang hanya anjing yang dipakai. Selama ia menjadi pengguna jalan, ia hanya menemukan anjing.
Saya jadi iba kepada anjing.
Cilegon, Februari 2018
Muhammad Rois Rinaldi, Koordinator Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co