Skriptoria: Jalaludin Ega (Pimpinan Redaksi)
Duduklah dengan tenang, sediakan secangkir kopi atau teh hangat! Karena tulisan ini akan terasa sangat panjang dan membosankan.
Alasan saya –beberapa waktu yang lalu– menulis artikel tentang “Mark Zuckerberg, Tak Ingin Orang Berlama-lama di Facebook,” sebetulnya sangat sederhana. Beberapa jam sebelumnya saya mendapati seorang akademisi berpangkat guru besar (terlepas dari segala kelebihannya) menyebar sebuah berita pada salah satu Grup Whatsapp, yang kemudian diketahui bahwa berita tersebut hoax.
Saya tidak mencari tahu lebih rinci apa alasan sang profesor sebenarnya menyebar berita itu, beberapa anggota grup telah menimpali membantu memberikan konfirmasi dan klarifikasi bahwa informasi yang dibagikan profesor tersebut hoax. Setelah puluhan pesan masuk, saya tidak tahu lagi, sang profesor tidak membalas atau berkomentar di grup.
Tapi, –pikir saya– tak mungkin seorang guru besar begitu saja dengan mudah menyebar berita hoax. Bisa saja –saya pikir– sang profesor hanya ingin tahu fakta beritanya dan meminta anggota grup yang ada untuk memberikan klarifikasi/informasi tambahan yang ia butuhkan; atau mungkin —isengnya— ia sedang bermain-main dengan gawainya dan jahil menekan tombol “sent to all” dan membagikannya begitu saja; atau mungkin, lagi, —kita berprasangka baik saja— gawai milik sang profesor sedang dimainkan cucu kesayangannya sehingga beberapa tombol tidak sengaja tertekan. Pastinya, saya percaya sang profesor tidak sengaja melakukannya.
Saya pun kemudian melakukan “check and recheck”, mengamati beberapa sumber terpercaya di internet; mulai dari media daring lokal, nasional dan internasional, tentu saja yang memiliki kredibilitas dan kecil kemungkinannya menyebarkan berita-berita hoax. Sampai kemudian akhirnya saya yakin bahwa berita tersebut memang hoax.
Kolega saya, salah satu staf redaksi biem.co kemudian membuat artikel dengan topik yang sama berjudul “Facebook Perangi Hoax Berdasar Survey Pengguna”; memberikan tambahan informasi dan meyakinkan saya bahwa hoax memang sudah menjadi momok menakutkan bagi dunia daring. Perusahaan sekelas facebook-pun telah mengkampanyekan memeranginya.
Dalam artikel “Mark Zuckenberg, Tak Ingin Orang Berlama-lama di Facebook,” Mark rela kehilangan sahamnya senilai kurang-lebih 4 triliun dalam upayanya menangkal berita hoax yang viral dan mengubah newsfeed dengan tampilan lebih familiar. Mark berharap para pengguna facebook lebih intens mendapat kabar dari keluarga atau kolega di beranda facebook-nya daripada berita viral-hoax yang bisa mempropaganda dan tidak dapat dipercaya.
Selain seorang CEO Facebook.inc, Mark juga seorang analis pemasaran handal dalam bidang komunikasi. Ia menilai, meski saham Facebook akan jatuh, tapi Mark tahu bahwa di masa depan pengguna lebih membutuhkan hal tersebut daripada berita-berita viral-hoax. Mungkin, Mark merasa khawatir kalau-kalau spesies kita (manusia) saat ini telah berevolusi untuk memprioritaskan berita-berita hoax.
Kembali pada sang profesor. Masalah utama berita hoax yang disebar –dalam kasus ini– bukan terletak pada beritanya. Saya yakin, setiap pengguna media sosial sudah sangat bijak dan bisa melakukan “check and recheck” terhadap isi berita, baik dengan melacak sumber lalu membandingkannya dengan berita lain, mencarinya di laman google, atau bertanya pada seseorang yang dianggap lebih paham dan dapat dipercaya seperti awak media, peneliti, dan akademisi.
Jika sang profesor yang membagikannya? Anda pasti tahu dimana masalah utamanya!
*
Jauh sebelum kata “hoax” itu sendiri berkembang dan “viral”, kita sering menemukan penggunaan kata ‘isu’ untuk berita-berita yang masih diragukan kebenarannya. Kata ‘isu’ juga dikaitkan dengan kata gosip yang maknanya serupa sama.
Hoax sendiri adalah “suatu berita atau pernyataan yang memiliki informasi yang tidak valid atau berita palsu yang tidak memiliki kepastian yang sengaja disebarluaskan untuk membuat keadaan menjadi heboh dan menimbulkan ketakutan.” Saat ini, hal tersebut bahkan sengaja dibuat untuk menggiring opini politik dan ekonomi. Jika sebelumnya hoax ini disebarluaskan melalui SMS ataupun e-mail, maka sekarang ini lebih banyak beredar pada platform media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Path, Whatsapp, serta halaman-halaman blog. Maka dari itu dibutuhkan kehati-hatian dalam menerima sebuah berita atau opini.
ARGENTUM AD NAUSEM
Salah satu temuan tertua dalam sejarah psikologi disebut The Propinquity Effect, adalah sesuatu yang paling sering ditemui –melakukan kontak dengan– adalah yang paling besar memiliki kecenderungan untuk menjadi dekat dan akrab. Dapat juga kita ambil analogi pepatah jawa yang berbunyi, “Witing trisna jalaran saka kulino” (cinta timbul karena terbiasa). Jika merujuk pada teori The Propinquity Effect, intensitas kita menerima berita hoax berkorelasi positif dengan penerimaan kita terhadapnya; artinya, semakin sering seseorang menerima berita hoax (tanpa melakukan konfirmasi/klarifikasi), maka semakin mudah ia menerima kebenarannya.
Teori ini juga yang diterapkan oleh Joseph Goebbels (1897-1945), dengan teknik propagandanya, “argentum ad nausem” atau lebih dikenal sebagai teknik big-lie (kebohongan besar). Prinsip teori ini sederhana, yaitu menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak dan sesering mungkin, maka kebohongan tersebut akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sederhana namun mematikan! Mengerikan, bukan?!
Kemudian, jika ditinjau dari psikologi sosial, kita mengenal istilah The Mere Exposure Effect atau efek pemaparan belaka; fenomena psikologis dimana orang cenderung mengembangkan preferensi untuk sesuatu hanya karena mereka mengenalnya. Dalam psikologi sosial, efek ini terkadang disebut prinsip keakraban. Efeknya telah ditunjukkan dengan berbagai macam hal, termasuk kata-kata, karakter, lukisan, gambar wajah, geometris, simbol dan suara.
Dalam studi tentang ketertarikan interpersonal, semakin sering seseorang dilihat oleh seseorang, semakin menyenangkan dan disukai orang tersebut. Zajonc (1968) menemukan bahwa semakin banyak kita terpapar oleh sesuatu, semakin tinggi rasa suka kita terhadapnya. Contoh sederhananya, menurut Zajonc; anak-anak yang tumbuh dengan mengonsumsi makanan pedas cenderung menyukai makanan yang lebih pedas, orang-orang yang tumbuh dengan orang tua yang sering bertengkar dan berselisih pada akhirnya akan lebih menyukai pertengkaran dan perselisihan.
Berdasarkan kedua teori itu, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki bias keakraban yang khas terhadap sesuatu. Setiap orang pasti mengalami pengalaman yang berbeda dengan bias itu. Bahkan, beberapa bukti lagi ditemukan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan pesantren cenderung lebih cepat memahami ilmu agama daripada anak-anak yang tumbuh jauh dari lingkungan pesantren. Maka jika kita teramat sering mengonsumsi berita hoax dan menyebarkannya, kita akan cenderung menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.
ETHICS
Sebagai konsumen informasi tentu saja kita harus lebih peka terhadap efek bias ini, karena terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa sebuah pengulangan berita yang terus menerus (mere repetition) akan membuat kita berpikir bahwa berita itu memiliki unsur kebenaran pasti.
Dalam beberapa tahapan, sering sekali berita hoax kemudian dianggap benar; Anggaplah kita pernah mendengar berita hoax itu satu kali saja dan kita menganggapnya sebagai gosip; lalu kita mendengarnya dua kali, lalu kita mendengarnya tiga kali, mungkin saja kita kemudian berpikir bahwa ini ‘patut dipertimbangkan’; bayangkan seandainya kita mendengarnya dari empat orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda!
Baru-baru ini, sebuah studi ilmiah dilakukan di Amerika Serikat; Para peneliti meminta seorang dokter medis (dirancang secara alamiah melakukan percakapan) untuk mengatakan fakta kepada dua orang sample (orang tua dan anak muda) bahwa tulang rawan ikan hiu bagus untuk penyakit arthritis (nyeri sendi) dan dokter mengatakan bahwa ini sebagai berita hoax.
Tidak lama setelah penelitian dilakukan, sekelompok orang diminta untuk bertanya kepada peserta: “Apakah tulang rawan ikan hiu bagus untuk arthritis?” dan kedua peserta muda dan tua itu berkata, “Tidak, kita tahu itu tidak baik untuk arthritis.”
Lihatlah!, bagaimana seorang dokter mampu menyampaikan hoax dengan sangat mudah. Kedua peserta tidak melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterimanya, karena mereka menerimanya dari seorang dokter; orang yang mereka percayai perihal medis lebih dari siapapun. (Untuk dikorelasikan dengan inilah kenapa sebelumnya sang profesor saya ceritakan).
Beberapa minggu kemudian dokter memanggil kedua peserta tersebut dan bertanya; “Apakah tulang rawan hiu bagus untuk arthritis?” Peserta muda ingat bahwa fakta itu hoax, namun peserta yang lebih tua, yang memiliki ingatan implisit lebih buruk, cenderung mengatakan, “Sepertinya Itu terdengar asing, dan karena itu saya pikir itu benar.”
Inilah salah satu alasan besar mengapa sangat sulit membendung berita-berita hoax yang berkembang di televisi dan tataran flatform jurnalisme lain. Karena bias keakraban, pengulangan berita-berita hoax tersebut membuat penonton berpikir bahwa itu benar. Karena pada dasarnya kita tidak dapat menahan diri untuk tidak mengungkapkan apa yang sudah kita ketahui dari yang kita anggap mungkin lebih benar.
Menurut saya, secara fundamental, solusi masalah hoax pada platform seperti Facebook, WA, Instagram dan media sosial lainnya sebenarnya bermuara pada etika manusia. Hanya manusia sendiri yang mampu mengatasi masalah ini. Kenapa? Karena algoritma yang bisa digunakan untuk memisahkan fakta dan fiksi hanyalah logika/akal sehat, dan itu bermuara pada etika.
Alasan mengapa masih ada berita hoax di media daring adalah karena sebagian orang sudah mengabaikan etikanya; tengoklah berita-berita yang seolah-olah ditulis oleh wartawan atau kanal berita daring yang menyimpang dari etika, tidak sedikit yang hoax dan menyesatkan. Tentu saja, itu ditulis bukan oleh wartawan; karena mereka tidak bermaksud menunjukkan kebenaran, mereka tidak ingin membagikan kebenaran; mereka hanya ingin menghasilkan uang atau setidaknya berupaya melakukan propaganda demi memecah belah.
Pada akhir tulisan ini, saya ingin menguraikan sebuah cerita saat The New York Times pertama kali didirikan, awal abad ke-19. Untuk waktu yang lama, surat kabar ini harganya sangat mahal, enam sen per lembar. Kemudian Benjamin Day, selaku pemilik menurunkan harganya menjadi satu sen. The New York Times mendapatkan pembaca yang sangat banyak dari penurunan harga tersebut, dan kemudian menjual pembaca itu kepada sebuah perusahaan untuk sebuah iklan. Model bisnis iklan ini sama seperti yang kita kenal sekarang, harga sebuah iklan didasarkan pada banyaknya jumlah pembaca.
Penjualan iklan laku keras dan The New York Times mendapatkan banyak keuntungan. Namun, beberapa bulan setelah itu, Benjamin kesulitan mencari topik berita untuk menarik pembaca. Belum lagi, televisi dan bioskop yang sering memutar tontonan fiksi cenderung lebih disukai oleh warga kota sebagai alternatif hiburan dan sumber informasi.
Benjamin akhirnya mengangkat topik yang kemudian sekarang kita sebut “hoax”. Dalam sebuah tajuk berita, ia menyampaikan kepada pembaca bahwa ada orang-orang yang tinggal di bulan dan melakukan hubungan seksual satu sama lain. The New York Times laku keras karena orang-orang ingin tahu bagaimana Benjamin bisa mendapatkan kabar tentang manusia di bulan. Setelah membeli, orang-orang akhirnya sadar bahwa tajuk yang dibuat benjamin adalah fiksi dan hoax. Bahkan, seandainya pun sebagian pembaca tahu bahwa kisah itu fiksi, (pada saat itu) kisah fiksi hanya pantas (etis) ada di bioskop dan atau televisi.
Anda pasti tahu akhir ceritanya; The New York Times harus membayar mahal karena etika yang dilanggarnya. Sekarang, seperti 150 tahun yang lalu, saya pikir bahwa jawaban atas masalah “etika-informasi” adalah hubungan yang baik dan intens bersama keluarga dan komunitas, seperti harapan Mark Zuckerberg, dan bersama-sama mengkampanyekan hoax dengan menjunjung tinggi etika. (EJ)
_____
“Saya hanya sedang melakukan riset,” ucap sang profesor, setelah membaca tulisan ini.