Skriptoria: Jalaludin Ega (Pimpinan Redaksi)
biem.co – Pada sebuah laman daring Reuters, di kolom opini, mengesankan sekali membaca sebuah artikel yang ditulis Ryan Holiday, penulis buku best seller ‘Ego is the Enemy’ & ‘The Obstacle Is The Way’, tentang bagaimana seseorang dapat meningkatkan kualitas kecerdasannya dengan membaca buku di atas “level”-nya.
Sarannya sederhana; “Untuk menjadi cerdas, tidak cukup hanya dengan membaca,” menurutnya, “untuk melakukan hal-hal hebat, bacalah buku di atas ‘level’-mu. Membaca tidak hanya sekedar membaca, membacalah untuk memimpin.”
Pernah membaca buku dimana setiap diksi di dalamnya terkesan kabur dan tidak dapat dimengerti? Jika pernah, seperti itulah buku yang harus dibaca oleh seorang pemimpin masa depan, menurut Ryan Holiday.
Membaca di atas “level” adalah upaya keras mendorong kemampuan otak di luar batasnya, sebagaimana mendorong kemampuan otot untuk mengangkat beban yang lebih berat dari kapasitasnya.
Pola ini Ryan lakukan sejak duduk di sekolah menengah atas. Tidak sia-sia, ia mendapat keajaiban (menurutnya), pada usia 19, ia mampu menjadi salah satu Eksekutif Muda Hollywood, berada di posisi ke-21 sebagai direktur pemasaran perusahaan publik terbaik, dan pada usia 24 tahun ia telah mengerjakan 5 buku best seller dan menjualnya ke penerbit terbesar di Amerika.
Menurutnya, “Jika pun ia putus kuliah, tapi ia memiliki guru terbaik di dunia; “buku-buku aneh yang sulit dimengerti”.
Ryan tinggal di sebuah apartemen yang penuh dengan buku-buku yang bahkan tidak bisa ia pahami. Awalnya ia menyebutnya “buku-buku aneh”. Tidak mudah untuk membacanya. Tapi, dengan kemauan dan usaha yang keras, ia telah berhasil dan bersedia memberikan tips-nya bagaimana ia bisa melakukan semua itu dengan mudah.
Berikut kami suguhkan untuk Sobat biem semua. Selamat membaca!
Tinggalkan Kebiasaan Lama (saat sekolah)
Nilai-nilai inti dari membaca yang diajarkan sekolah-sekolah formil sebenarnya telah ternodai dengan adanya proses eksaminasi/ujian baca/hafalan. Pola semacam ini (ujian), tidak memiliki korelasinya terhadap tingkat penguasaan bacaan. Pola eksaminasi membaca di sekolah sebenarnya lebih kepada bagaimana setiap siswa diwajibkan untuk “menghabiskan waktu di sekolah” dengan membaca sebuah buku, bukan dimaksudkan untuk memahaminya.
Gambaran sederhananya; di sekolah, setiap siswa diminta untuk memetik hal-hal yang penting dari setiap buku yang dibacanya. Kemudian guru memberikan pertanyaan: “sebutkan bagian ini” “apa karakter utama di bab 4?” dan lain-lain.
Pola ini terus-menerus dilakukan, sehingga kita membawa kebiasaan ini bersama kita sampai hari ini.
Padahal, poin-nya; untuk siapa kita membaca? untuk guru? atau untuk kita?
Katakanlah kita sedang membaca sejarah perang. Bahwa pernah ada pertentangan antara Jepang dan Indonesia kurang lebih 3,5 tahun, yang tercatat dalam sejarah. Untuk memahami hal ini, kejadian yang sebenarnya seharusnya tidak perlu diingat, meski perang tersebut berdampak pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu.
Indonesia dan Jepang; kedua negara hanya sedang memperjuangkan apa yang diyakininya. Indonesia sedang memperjuangkan Hak Kemerdekaannya, dan Jepang sedang melakukan apa yang biasa dilakukan negara-negara untuk bertahan hidup, pada waktu itu.
Tebak siapa yang menang? tempat pertempuran? nama? tanggal perang itu terjadi?, itu tidak penting! Pelajaran; “kenapa perang itu terjadi?”, itu yang penting! (red)
Rusak Akhir Ceritanya
Ketika memulai membaca buku di atas “level”, jangan menunggu untuk menyelesaikannya. Cobalah meminta bantuan Wikipedia, Google atau teman, untuk mengetahui isi buku secara keseluruhan.
Hal ini memang akan merusak akhir cerita dari buku itu. Tapi, who cares? Tujuan kita membaca adalah untuk memahami MENGAPA sesuatu terjadi, soal APA, itu tidak penting.
Kita harus menghancurkan akhir ceritanya (ruin the ending) –mencari tahu inti buku– karena ini akan membebaskan kita untuk berfokus pada dua pokok terpenting; apa tujuan buku itu ditulis?, dan apakah kita setuju tujuan itu?.
Lima puluh halaman pertama seharusnya cukup sebagai proses pencarian inti buku; kita seharusnya tidak membuang-buang waktu memikirkan apa yang penulis coba sampaikan dengan bukunya.
Daripada menghabiskan energi untuk mencari tahu apakah penulis benar, lebih baik fokus pada keuntungan apa yang bisa kita dapat dari buku itu. Ditambah lagi jika kita sudah tahu apa tujuan buku itu ditulis, kita bisa mengenali semua itu dan mengambil manfaat darinya.
Baca Review
Membaca ulasan artinya mencari tahu secara rinci isi buku dari orang-orang yang sudah membacanya, –bisa saja seseorang menganggap buku itu tidak penting, atau sebaliknya— perspektif setiap orang bisa berbeda, ini akan menjadi bahan yang bagus untuk dipertimbangkan; apakah akan meneruskan membacanya atau tidak.
Zaman sudah canggih, jadilah smar-user dengan smartphone kita, lakukan pencarian di internet, baca ulasannya sehingga kita dapat menyimpulkan penting/tidaknya isi buku yang kita baca, tanpa menghabiskan waktu dan melewatkan buku-buku lain yang lebih berharga.
Baca Intro/Prolog/Notes
Kita semua tahu, sangat menjengkelkan ketika membaca sebuah buku 200 halaman namun ternyata memiliki 80 halaman terjemahan (yang harus dimaknai isinya dengan merujuk halaman lain). Meski menjengkelkan, lakukan! Itu sangat penting!.
Setiap kali kita sampai pada lembaran lain isi buku, kita harus kembali dan memulai lagi dari awal untuk mengetaui maksud kata/kalimat yang disampaikan.
Baca intro/prolog, dan baca semua hal yang ada di halaman depan buku, –bahkan catatan editor di bagian bawah halaman.– ini akan menentukan perspektif pemahaman dan membantu kita meningkatkan pengetahuan kita lebih dalam.
Terjemahkan
Jika kita membaca buku di atas “level”, kita akan menemukan konsep atau kata-kata yang tidak kita kenal. Jangan berpura-pura mengerti, terjemahkan artinya dengan kamus atau apapun. Zaman sudah canggih, anda bisa gunakan google translate, wikipedia, atau apapun.
Seperti jika kita membaca sejarah militer/perang, feel atau perasaan bahwa kita di medan perang perlu kita miliki. Kita bisa searching peta di google map untuk membantu memahami medan perang yang dimaksudkan dalam buku itu.
(Ryan, sendiri, pernah terjebak selama 10 jam saat membaca buku tentang Perang Sipil dan 10 jam saat melihat film dokumenter Ken Burn. Ia dapat memahami misi penulis atau pembuat film, ada beberapa provokasi, tapi Ryan tidak terjebak di sana, ia dapat memahami isi buku tanpa tendensi atau tekanan penulisnya.)
Beri Tanda (post it flag)
Gunakan “post it flag” untuk menandai bagian mana saja yang kita anggap penting dan menarik dari buku. Ini akan memudahkan kita kembali ke halaman itu kapanpun saat menginginkannya. Tanpa “post it flag”, hal ini juga bisa kita dilakukan dengan melipat sedikit sudut bagian bawah. Semakin banyak lipatan kecil itu, maka semakin cenderung buku itu penting untuk dibaca.
Baca Kembali
Kita pasti memiliki jadwal yang rutin untuk membaca buku. Setelah menyelesailan buku pertama, bacalah buku yang lain. Setelah 1-2 minggu, bacalah kembali buku yang pertama.
Akan terkesan aneh memang, tapi taktik lama yang digunakan semua orang dari Tobias Wolff sampai Montaigne ke Raymond Chandler ternyata telah berhasil memecahkan misteri buku di atas “level” kita ini.
Ryan melakukannya selama 4-5 tahun. Ribuan lipatan kecil di sudut bawah buku semakin banyak, – dari mulai Love to Education, Jokes sampai Musings on Death.
Sangat bermanfaat, hikmahnya, saat ia diminta memecahkan masalah bisnis, otaknya merespon dengan alami dan menemukan serakan-serakan jalan keluar dari salah satu buku di atas “level” yang ia baca. Menurut Ryan, buku-buku itu akhirnya menjadi sumber yang sangat luas dan tidak pernah habis.
Baca Satu Buku dari Setiap Bibliografi
Cara ini adalah aturan kecil yang harus kita coba. Pada setiap buku, kita pasti akan menemukan footnote (catatan kaki) atau bibliografi penulis lain. Beginilah cara kita membangun basis pengetahuan yang benar. Tidak hanya menerima kutipan atau catatan kaki, tapi bagaimana mengetahui pemikiran penulis lain yang bukunya digunakan sebagai pustaka dalam buku yang dibaca.
Terapkan dan Pakai
Saat membaca, setiap kita pasti fokus pada sebuah catatan atau tulisan, wajar saja, itu semua pasti karena suatu alasan. Lalu kenapa fokus jika kita tidak memahami dan menggunakannya? Bawalah pengetahuan buku itu dalam sebuah percakapan, diskusi, debat kecil atau seminar-seminar akademik.
Akan terasa norak rasanya jika kita menulisnya dalam halaman facebook, koran, atau media lainnya. Bukan percuma, tapi dengan cara kedua ini, fokus kita akan kembali buram; Kita membaca, untuk sosial media atau untuk diri kita sendiri?
Ingatlah kata-kata Seneca:
Apa yang kita dengar dari para filsuf dan apa yang kita temukan dalam tulisan mereka harus diaplikasikan dalam usaha kita untuk mencapai kebahagiaan hidup. Kita harus mengambil potongan pelajaran yang bermanfaat dan ucapan-ucapan yang mulia yang mampu mengarahkan hidup untuk lebih baik – hindari ekspresi berlebihan, kuno, metafora, atau ucapan-ucapan yang tak bermakna – dan mempelajarinya dengan baik sehingga kata-kata dapat menjadi karya.
Ingat! kita membaca untuk mendapat pelajaran moral dan praktis. Intinya adalah mengambil apa yang telah kita baca dan mengubah kata-kata, seperti kata Seneca, “menjadi karya.” Tentu saja, semua ini tidak mudah. Tapi percayalah, membaca itu kenikmatan, karena itulah satu-satunya hal yang memisahkan kita dari ketidaktahuan.
Memang akan sangat merepotkan, kita harus membeli ribuan buku dan menginvestasikan jam kerja berjam-jam untuk membaca dan mempelajarinya. Tapi seberapa mahal jika dibandingkan gelar-gelar MBA yang mungkin kita dapat dan mungkin hanya di atas kertas ijazah? Atau ditipu bisnis-bisnis seminar Internasional dengan label index?
Berpikirlah bijaksana, lebih banyak manfaat dalam buku-buku abadi 5.000 tahun terakhir dari pada konferensi-konferensi tingkat internasional yang menghabiskan banyak uang. Tentu saja, jika kita melakukannya dengan benar dan atas kemauan kita sendiri.
Last but not least, percayalah, “Buku memberi kesenangan pada sumsum tulang seseorang. Mereka bicara pada kita, berkonsultasi dengan kita dan bergabung dengan kita dalam keintiman yang hidup dan intens.”
Enjoy the book, Sobat biem!
Stay #wise and #smart (EJ)