biem.co – Perkembangan jaman yang serba digital, membuat siapapun tak bisa mengelak besarnya pengaruh sebuah gadget dalam keseharian. Bagi siapapun, gadget sudah dianggap sebagai kebutuhan dalam mendukung aktivitas sehari-hari, begitu pula bagi anak-anak di jaman sekarang. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa gadget bisa membawa dampak yang fatal di luar dugaan.
Belum lama ini, kabar soal dua pelajar dari Bondowoso yang masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ) akibat gadget pun ramai diperbincangkan. Sebelum dibawa ke RSJ, keduanya diketahui mengalami beberapa perubahan perilaku selama sebulan terakhir ini.
“Menurut orang tuanya, anak tersebut sudah beberapa bulan tidak masuk sekolah. Prestasi di sekolah menurun, dia juga menarik diri dan tidak mau bersosialisasi dengan lingkungannya, dan mudah marah kepada kedua orang tuanya dengan emosi yang tidak biasa,” ujar Dr. Dewi Frisca, Ahli Spesialis Jiwa RSJ Jember, saat menjadi narasumber di program Apa Kabar Indonesia Pagi Tv One, Rabu (17/01).
Terkait hal ini, Dewi sendiri menyebut istilah Narkolema, yaitu Narkoba Lewat Mata, di mana orang tersebut akan terlihat seperti orang ‘sakaw‘ ketika dia tidak diberi kesempatan untuk memegang gadget lagi.
“Persis di depan saya, dia menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Marah, menendang-nendang lemari, berteriak-teriak, dan memukuli dirinya sendiri,” tutur Dewi.
Namun, Dewi sendiri merasa lega karena orang tua keduanya cukup sadar dengan kesehatan jiwa anak tersebut sehingga akhirnya memilih untuk berobat. “Jadi memang orang tua ini melakukan pendampingan kepada anak yang awalnya tidak tahu harus diapakan, kemudian bekerjasama dengan kami sehingga dia benar-benar bisa memperlakukan anak ini dengan benar. Supaya bisa perlahan-lahan terlepas dari gadgetnya,” ungkapnya.
Berdasarkan pernyataan Astrid Wen (Psikolog), bahwa gadget memang bisa merusak otak. Apa yang kita lihat melalui mata sebenarnya makanan juga untuk otak kita. Terlebih, saat ini banyak anak-anak yang menggunakan gadget untuk bermain game online seharian.
Berbeda dengan koran yang stimulasinya dingin, Astrid mengatakan bahwa gadget adalah stimulasi yang panas. Sehingga, lanjutnya, gadget memiliki cahaya yang intensitasnya lebih tinggi. Jika di dalam koran terdapat banyak tulisan yang bisa melatih imajinasi, gadget adalah tampilan visual yang tidak membutuhkan olahan dari otak.
“Jadi otaknya nggak terlatih untuk berimajinasi, untuk berkembang. Akhirnya fokusnya pada saat permainan saja, akhirnya menggantikan kemampuan untuk bertemu dengan orang-orang di sekelilingnya, untuk menghadapi masalah secara nyata. Konsep dirinya juga menjadi negatif dan kemudian dia menganggap dunia dirinya adalah dunia gadget,” ujar Astrid dalam program yang sama.
Saat ini, memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sejak kecil anak-anak sudah diberikan fasilitas gadget seperti foto, bermain game, atau menonton video. Untuk itu, Astrid menyarankan orang tua untuk memberi ketegasan soal kapan makan, kapan tidur, kapan belajar, dan kapan sekolah. Sehingga, anak-anak bisa mengerti bahwa semua ada waktunya tersendiri.
“Jadi dengan dia tau ada batasan-batasan seperti itu, akhirnya jadwal diri dia juga jauh lebih baik, terus disiplin diri juga lebih baik lagi. Kuncinya ada pada kontrol. Jadi jangan sampai kita yang dikontrol oleh gadget, tapi kita yang harus bisa mengontrol gadget,” pungkasnya.
Semoga Sobat biem bisa mengontrol diri dari kecanduan gadget, ya! (HH)