biem.co – Kabar penistaan agama yang menerpa dua Comic Indonesia, yakni Joshua Suherman dan Ge Pamungkas belum juga mereda. Media sosial pun menjadi sasaran warganet menyampaikan kritik dan pendapat terkait kabar yang ada.
Hingga hari ini, Instagram Ge sendiri masih dibanjiri komentar. Sementara Joshua, kolom komentar Instagram yang telah ditutupnya membuat warganet akhirnya membanjiri komentar di channel YouTube yang dimilikinya.
Tasaro GK, penulis buku tetralogi “Muhammad” pun ikut menanggapi persoalan tersebut. Sebelumnya, ia sempat menulis status yang ditujukan untuk Joshua di media sosialnya.
“Kalau elu tanya gue, apa sebagai Muslim gue tersinggung lawakan elu, jawaban gue ‘nggak’. Gue lebih suka diskusi tentang agama gue jika ada orang lain salah paham daripada gue misuh-misuh nggak keruan,” tulisnya pada Kamis (11/1).
Pernyataan tersebut ternyata melontarkan tanya warganet terkait alasan mengapa Tasaro tak tersinggung saat agamanya dihina. Ia pun kembali menjawab hal tersebut lewat status yang berbeda.
“Setiap hari agama kita dihina. Tidak lewat kata-kata saja. Lewat sistem riba, praktik korupsi, kebiasaan buang sampah sembarangan, pengabaian fakir miskin, pendewaan materi, hijab yang dihinakan oleh tindakan, guru yang tidak melaksanakan apa yang disampaikan. Bagi saya, itu penghinaan yang pula tak boleh diabaikan,” tulis Tasaro, Jumat (12/1).
Menurutnya, jika bentuk ketersinggungan mesti seragam, maka seberapa produktif ketersinggungan yang ia buat jika harus mencaci maki dan merundung seperti kebanyakan yang orang lakukan. Bagi Tasaro, ketersinggungan versi dirinya adalah energi yang dialihkan untuk menulis buku.
“Muhammad, Kinanthi, Sembilu, Patah Hati di Tanah Suci, Samita, Citra Rashmi, bahkan novel fantasi Nibiru. Semua berisi ketersinggungan saya karena Islam disalahpahami oleh dunia. Seandainya saya balik menghina, merundung, apalagi menghasut tindak kekerasan, lalu apa yang hendak saya sampaikan sebagai pesan Islam?,” tegasnya.
Ia pun menyayangkan jika setiap orang harus dibuat sewarna dalam berpikir dan bereaksi soal apakah harus membenci atau mencintai. Sehingga ketika orang lain memiliki pendekatan yang berbeda, lanjutnya, maka keimanan orang tersebut dianalisis dan keislamannya digunjingkan. Bahkan mungkin, alamat terburuknya orang tersebut bisa dikelompokkan sebagai kaum munafik bahkan kafir.
“Tapi saya percaya tetap harus ada yang melakukannya. Biarlah kelak Allah memberitahu kita, cara mana pun, semoga Allah menitikkan ridho padanya,” tutup Tasaro. (HH)