biem.co – MUNGKIN ini yang dimaksud dengan berharganya waktu. Betapa mahal dan pentingnya waktu. Saat saya dan juga mungkin teman-teman seprofesi yang bekerja di kawasan Cikande-Serang dan sekitarnya, waktu menjadi begitu berharga, maksudnya jika kita pulang kerja ingin sampai dirumah lebih cepat, maka kita harus mengeluarkan uang lebih banyak. Misalnya tinimbang kita ikut bis jemputan atau naik angkot lewat jalur biasa, melalui titik-titik kemacetan seperti Pertigaan Gorda, Kawasan Nikomas, Pasar Tambak, Terowongan Kibin, dan Pasar Keragilan yang dapat menyebabkan kita ‘tua’ di jalan, mungkin kita akan lebih memilih melanggar UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 dan PP RI No. 15 Tahun 2005 Pasal 41 dengan naik bis dari pinggir jalan tol. Untuk itu kita harus keluar uang lebih banyak guna membayar ojek ke titik tempat menyetop bis yang ‘aman’ dan membayar uang retribusi naik tangga kayu untuk melewati pagar tembok milik Jasa Marga yang berdiri kokoh sepanjang jalan tol.
Suatu malam di awal bulan ketika aroma pekerjaan tutup buku di perusahaan saya masih kental menempel di badan, saya mencoba pulang melalui jalur biasa. Saya mencoba berbaik sangka kalau pengendara motor dan supir angkot yang biasanya menjadi biang kerok kemacetan kini sudah berada di rumah untuk melepas lelah di depan TV mereka masing-masing. Melihat Pertigaan Gorda dan Daerah Kedinding lancar, hati saya semakin senang membayangkan istri dan anak-anak saya tercinta belum tertidur pulas ketika saya sampai di rumah, apalagi ini malam Jum’at pikirku. Asoy sekali.
Tapi bayangan itu ternyata hanya halusinasi saja, setelah ‘diturunkan paksa’ oleh supir angkot, di depan mata saya melihat pemandangan yang mengerikan. Macet total. Deretan panjang kendaraan besar di kawasan nikomas dengan mesin dalam keadaan mati membuat saya patah hati, keheningan malam itu menunjukkan rasa frustasi pengendara mobil dan motor yang terjebak macet di sana. Hanya iring-iringan manusia yang mengalir kesana kemari mencari celah agar bisa tetap jalan, selangkah demi selangkah melewati motor yang saling berhadapan, menyelinap sana sini di antara mobil-mobil yang ditinggal ngopi oleh supirnya. Kalau sudah begitu, perjalanan pulang menjadi begitu panjang dan memakan waktu yang begitu lama. Pakaian pun menjadi basah oleh keringat, tenggorokan kering, wajah kusut, dan lipatan hati menyimpan rasa jengkel yang luar biasa.
Baca juga:
Lebih dari sepuluh tahun saya bekerja di daerah ini, kemacetan menjadi pemandangan yang sangat biasa. Belum pernah saya melihat ada usaha yang serius dari pemerintah daerah untuk mencari solusinya. Perusahaan produsen motor dan mobil hanya memikirkan bagaimana caranya meningkatkan penjualan, tidak peduli kalau pertumbuhan kendaraannya kemudian menjadi tidak seimbang dengan pertumbuhan jalan. Sementara pemerintah daerah terlalu asyik mereguk kenikmatan pajak kendaraan yang berlimpah. Secara keseluruhan akhirnya masyarakatlah yang dirugikan.
Ketika usia bertambah, ritme kehidupan seperti ini terasa semakin berat. Mungkin karena daya tahan tubuh dan kebugaran juga semakin berkurang. Begitu juga di perusahaan, salah satu tantangan manajemen perusahaan adalah bagaimana menumbuhkan kembali motivasi karyawan yang sudah bertahun-tahun bekerja dan performance-nya turun dari hari ke hari. Sayangnya, banyak perusahaan memandang hal ini kurang penting karena dianggap pemborosan biaya. Mereka lebih suka membuang orang-orang yang dianggap sudah ‘busuk’ dan menggantinya dengan karyawan baru yang lebih fresh. Padahal keputusan sepihak inilah yang kemudian berdampak pada turunnya motivasi para karyawan yang telah lama mengabdi pada perusahaan, mempertanyakan sejauh mana manajemen menghargai loyalitas dan performa karyawan. Mengapa karyawan baru yang berdatangan dihargai lebih baik dibandingkan orang lama yang jelas-jelas lebih berpengalaman dan telah merasakan asam garam dalam bekerja. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan nilai-nilai apa yang sebenarnya dianut oleh manajemen, tidak adanya mekanisme yang fair dan menjamin hak-hak karyawan lama disadari atau tidak telah membuat daftar ‘barisan sakit hati’ semakin panjang, mereka cukup terpukul oleh sebuah pepatah “habis manis, sepah dibuang”. Nilai ‘kekeluargaan’ yang dulu ditanamkan dan menumbuhkan ‘nasionalisme’ pada bendera perusahaan pun berubah menjadi nilai yang berorientasi pada ‘untung dan rugi’ saja.
Baca juga:
Presiden pertama kita, Ir. Soekarno pada saat berpidato di Hari Pahlawan tanggal 10 November 1961 mengatakan bahwa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Saya jadi membayangkan kalau saja karyawan lama yang sudah berdarah-darah dan bersusah payah membangun perusahaan dari nol, yang mau mengerjakan pekerjaan apa saja dari pagi hingga pagi lagi, yang mau mencurahkan semua tenaga dan pikirannya untuk kepentingan perusahaan yang baru saja berdiri, bisa dihargai layaknya veteran perang, yaitu orang yang dianggap sudah memiliki banyak pengalaman dan jasa di bidang kemiliteran. Andai perusahaan-perusahaan bisa seserius negara dalam memberikan penghargaan kepada para veterannya yang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1967 tentang Veteran RI, saya yakin banyak benefit yang akan didapat oleh perusahaan tersebut.
Bagaimanapun juga secara mental dan loyalitas, karyawan lama akan berbeda jauh dengan karyawan baru yang selalu menghitung-hitung untung dan rugi, yang selalu menghitung-hitung jam kerja, yang selalu memilah ini pekerjaan saya yang itu bukan pekerjaan saya, dan yang baru mau memberikan ide-idenya kalau diiming-imingi dengan sejumlah uang. Bila dibina dengan baik, karyawan lama memiliki etos kerja yang lebih kuat dibanding karyawan baru. Kemampuan untuk bekerja mandiri dan memiliki pemecahan masalah yang lebih kuat tentu saja tidak akan diragukan mengingat keterampilan yang mereka dapat berdasarkan pengalaman yang lalu, bukan berdasarkan buku-buku di bangku kuliahan.
Apabila manajemen perusahaan dapat mengkombinasikan kekurangan dan kelebihan dari karyawan lama dan karyawan baru, serta memposisikan mereka untuk saling mengisi dan melengkapi menjadi sebuah kekuatan yang dapat membantu perusahaan lebih dinamis dan memiliki keterampilan yang lebih bervariasi, maka perusahaan tersebut dapat mengambil keuntungan dari semua potensi tenaga kerja yang dimiliki. Tentu saja ada banyak hal kecil yang bisa dilakukan tetapi bisa berdampak besar, salah satu diantaranya adalah bagaimana menghargai semua karyawan dengan tulus tanpa ada diskriminsasi dan perbedaan. Ingat kata Bung Karno, “Pelajarilah sejarah perjuanganmu sendiri yang sudah lampau, agar supaya tidak tergelincir dalam perjuanganmu yang akan datang. (*)
Irvan Hq, adalah CEO biem.co dan Ketua Umum Banten Muda Community, menyebut dirinya sebagai Entrepreneursleep. Di sela waktu padatnya bekerja di sebuah perusahaan, Irvan menyempatkan diri untuk terus menulis. Kolom Catatan Irvan ini adalah kanal yang merangkum tulisannya yang memotret berbagai persoalan sosial kehidupan.