biem.co — Pada sebuah momentum ta’aruf saat kami baru saja dilantik, lalu di bimtek secara maraton dengan berpindah pada beberapa tempat, dari teori-praktek pengawasan sampai latihan fisik secara militer di Grup C Paspampres Bogor. Saat itu, ketika tiba Muhammad Afiffudin salah satu pimpinan Bawaslu Republik Indonesia menyampaikan sebentuk tausyiyah professional kepada kami, terkhusus golongan pendatang baru, atau anggota Bawaslu Provinsi baru. Karena berdasarkan data 80 persen anggota Bawaslu Provinsi dari 25 Provinsi di Indonesia adalah orang baru, sedangkan 20 persennya anggota periode sebelumnya yang kemudian terpilih kembali untuk kedua kali. Dalam penuturan panjangnya, beliau cerita dan menukil pendapat Imam Al-Ghazali atau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i. Syafi’i yang membagi manusia menjadi empat golongan.
Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (seseorang yang tau (berilmu) dan dia tau kalau dirinya tau). Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (seseorang yang tau (berilmu), tapi dia tidak tau kalau dirinya tau). Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (seseorang yang tidak tau (belum berilmu atau memiliki pemahaman), tapi dia tau kalau dia tidak tau). dan, Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (seseorang yang tidak tau (tidak berilmu/tidak memiliki pemahaman), dan dia tidak tau kalau dirinya tidak tah).
Pembagian golongan manusia yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali di atas, dalam perspektif yang berbeda, dengan bumbu tafsir yang segar oleh pa Afif kemudian di-qiyas-kan dengan tugas-tugas pengawasan yang dilakukan oleh pengawas pemilu. Dalam konteks up grading penguatan pengetahuan bagi anggota Bawaslu Provinsi, mensyaratkan pola kerja sama yang efektif, membangun kesalingpahaman antar anggota, dan antar anggota dengan sekretariat. Betapa urgen kerja sama dalam bingkai kolektif kolegial, pa Afif sampai pada kesimpulannya. “Kita tidak butuh orang terlalu pintar, tapi yang dibutuhkan orang yang bisa kerja sama, ia tau kekurangan dan kelebihannya serta dapat menerima masukan” .
Bagi sebagian anggota Bawaslu Provinsi terpilih, terlebih bagi mereka yang belum saling mengenal sama sekali, keterpilihannya yang tiga orang sekaligus, menjadi juru mudi dari sebuah lembaga Bawaslu yang mengharuskan bekerjasama dalam kolektif kolegial seperti dimaksud di atas. Barangkali, dapat digambarkan seperti kawin karena perjodohan, tanpa adanya proses perkenalan yang cukup waktu, setelah akad “nikah” (SK-Pelantikan) diharuskan langsung menjadi tiga dalam satu, lima dalam satu dan atau tujuh dalam satu (terkait jumlah anggota Bawaslu Provinsi berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017). Semua dituntut untuk bekerja dengan baik dan dianggap telah memahami aturan mainnya.
Oleh karena hal ini, waktu itu pa Afif menekankan bahwa sesungguhnya latar belakang dari setiap anggota plus sekretariat yang berbeda adalah modal untuk mengencangkan kerja sama dan soliditas. Tidak ada superior-inferior antara anggota Bawaslu baru dan petahana, semua bermula dari start yang sama. Indikatornya sederhana saja, jika setelah dilantik dan mendapatkan SK lalu segera mengadakan pleno pertama untuk memilih ketua dengan jalan musyawarah mufakat tanpa huru-hara apalagi menimbulkan perpecahan di situlah awal dari kesuksesan bersama. Bayangkan, andai hanya persoalan pemilihan Ketua Bawaslu Provinsi saja yang berjumlah 3 orang tidak mampu dikelola dan dikendalikan dengan cara terbaik, apalagi melakukan pengawasan partai politik, pengawasan pemilu, menindaklanjuti temuan atau laporan pelanggaran hingga mampu menegakkan keadilannya.
Harus diakui, bahwa Bawaslu saat ini dihadapkan pada tugas-tugas yang berat, di mana tahapan pemilu yang telah dimulai dengan banyak norma dan pembauran yang menjadi kewenangannya. Tahapan pengawasan atas penyelenggaraan pemilihan Bupati dan Walikota di empat Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sedang berjalan. Merujuk pada Peraturan KPU No.1 tahun 2017 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan, pilkada tahun 2018 dan Peraturan KPU No.7 tahun 2017 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, di mana pertama kalinya di Indonesia pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara serentak.
Kembali pada empat golongan manusia menurut Imam Al-Ghazali yang coba di-qiyas-kan pa Afif, sebagai pengawas pemilu, kita cenderung pada golongan yang sesuai dengan kebutuhan profesional pengawasan. Saya, dan tentu saja kita semua berharap pada kondisi pengawas pemilu yang ideal, yaitu pengawas pembelajar, yang bersungguh-sungguh mencapai akselerasi dan berkejaran dengan dinamisnya aturan serta praktek kepemiluan. Kita harus meyakinkan sebagai pengawas yang menguasai ilmu pemilu sekaligus tata cara pengawasannya, seberat apapun tantangan harus yakin akan menemukan jalan keluar dengan kemampuan yang dimilikinya. Inilah kondisi paling ideal dari petugas pengawas pemilu yang barangkali menempati derajat Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri. Mengapa? Karena pekerjaan pengawasan adalah kerja-kerja fungsional, di mana pengetahuannya terhadap objek tanggung jawabnya adalah keseharian sekaligus kesadarannya.
Kontra dari derajat yang paling diharapkan dari seorang pengawas pemilu adalah golongan Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (baca : pengawas pemilu yang tidak tau (paham), tapi dia tau kalau dia tidak tau). Atau yang lebih parah yang termasuk golongan pengawas yang tidak tau tapi sok tau, karena dirinya tidak pernah tau bahwa ia tidak tau, dia adalah golongan Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri.
Terhadap golongan pengawas semodel Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri. Jika dia tau bahwa dia tidak tau, kenapa tidak mencari tau?. Sifat pengabaian terhadap kewajiban seperti ini saya kira harus dilakukan pembinaan seperti pesan pasal 100 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017, ditegur, diluruskan atau bisa juga dihentikan sifatnya, hingga sampai pemberhentian statusnya.
Semoga pengawasan pemilu khususnya di Provinsi Banten terhindar dari hal demikian, baik panwaslu di 8 Kab/kota maupun panwascam di 155 kecamatan se-Provinsi Banten, berikut turunannya yang dalam waktu dekat akan merekrut Panwas desa/kelurahan dan pengawas tempat pemungutan suara (PTPS).
Berbagai upaya dilakukan oleh Bawaslu untuk meningkatkan kemampuan dan kecakapan sumber daya manusia pengawas pemilu, melalui banyak model dan program, tujuannya tidak lain agar kita dapat memastikan sekaligus mengawal bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta berkualitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu pengawas pemilu hadir untuk memastikan tegaknya integritas dan kredibilitas penyelenggara sekaligus menjamin transparansi penyelenggaraan dan akuntabilitas hasil pemilu. Wallahu’alam. (red)
Ali Faisal, adalah Pimpinan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Banten periode 2017-