TANGERANG, biem.co — Anak muda menjadi agen penting dalam suatu perubahan, di mana mereka harus tahu betul mengenai segala pembaruan zaman di sekitar mereka, begitu pula mengenai ilmu yang diterapkan sejak awal pertama masuk sekolah—membaca.
Kita tahu betul seberapa pentingnya manusia harus membaca, sebab membaca termasuk salah satu hal yang menyangkut kesehatan, seperti yang dikatakan Heinrich Mann “a house without books is like a room without windows,” bagaimana rasanya kita hidup di dunia ini tanpa tahu apa itu nama, apa itu jenis, apa itu warna, apa itu rasa, apa itu huruf dan sebagainya, ibarat kita hidup di dalam suatu rumah tanpa jendela, kita tidak pernah tahu apa itu sinar matahari.
Sebagai agen penting dalam suatu perubahan khususnya wilayah Tangerang, para pejuang perpustakaan jalanan yang senantiasa menyisihkan waktunya untuk berlomba-lomba meningkatkan literasi di Tangerang kini berbagi kisah mengenai bagaimana kehidupan literasi di Tangerang yang diam-diam diamati oleh para komunitas perpustakaan jalanan tersebut.
Dalam kesempatan diskusi mengenai perpustakaan jalanan dan literasi Tangerang pada acara Malam Puisi Tangerang – PoetVersary 4 yang diadakan di Semanggi Center Cikokol tanggal 16 Desember lalu, beberapa komunitas perpustakaan jalanan di Tangerang, seperti: Metamorfosis; Perpus Kolektif; Aliansi Perpus Jalanan; Komunitas Baca Tangerang; dan Tengger Pustaka Jalanan masing-masing membagi kisah mengenai keresahan mereka terhadap latar belakang kegiatan yang kini mereka tekuni.
Berawal dari Aliansi Perpus Jalanan yang mulai resah dengan banyaknya perpus jalanan yang terlalu drama dengan membawa isu-isu, atau isme mereka sendiri, dengan dibentuknya Aliansi Perpus Jalanan ini mereka bukan hanya mewadahi para penggiat baca buku ataupun penggiat literasi. Sama halnya seperti Tengger Pustaka Jalanan yang resah karena banyak anggapan bahwa hal tersebut adalah kegiatan berjualan buku atau kegiatan menyebarkan buku kekirian, namun hal tersebut tak membuat patah semangat bagi Tengger Pustaka Jalanan untuk terus memberi akses baca kepada masyarakat, khususnya anak-anak.
Berbeda dengan Metamorfosis yang diawali dengan membuat saung belajar di Cipondoh, dengan keresahan mereka mengenai lingkup yang hanya disitu-situ saja, kemudian mereka mencetuskan ide untuk keluar dan menggelar buku-buku agar anak-anak lain di luar sana bisa ikut baca buku dengan gratis. Buku-buku yang disuguhkan oleh Metamorfosis pun rata-rata buku Islami, mereka juga mengajarkan kepada anak-anak jalanan mengenai ilmu pegetahuan Islam.
Perpus Kolektif juga mengawali ini semua dari sebuah keisengan untuk mengisi waktu luang, yang kemudian mereka resah dengan masyarakat yang hobi membawa buku kemana-mana namun jarang sekali dibaca. Begitupun kurangnya buku-buku menarik yang ada di perpustakaan kota atau kampus. Kemudian dengan prakarsanya, mereka akhirnya membawa buku-buku itu ke masyarakat untuk menciptakan budaya baca dan budaya literasi agar menjadi gaya hidup masyarakat Tangerang.
Sama halnya seperti Komunitas Baca Tangerang yang berawal dari senang-senang, namun terinspirasi juga ketika salah seorang dari komunitas tersebut bertemu dengan lapak-lapak perpus jalanan di daerah-daerah Jawa Tengan dan Timur yang punya gairah tinggi untuk membangun komunitas baca. Mulai dari situ, mereka berpikir untuk melakukan hal serupa di Tangerang. Begitu pula dengan sasaran pembaca mereka adalah anak-anak, bagaimana mereka buat agar anak-anak senang membaca sejak dini.
Aditia Purnomo yang tergabung dalam Komunitas Baca Tangerang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Tangerang ini sebenarnya tinggi, “maka dari itu kita buat sama-sama gelaran buku tersebut untuk baca gratis, dapat ilmu gratis. Menjawab keresahan mereka, kemana mereka harus baca buku dengan gratis,” ujarnya.
Selain menjadi agen perubahan, para perpustakaan jalanan tersebut juga selalu membuat inovasi agar menyebarkan literasi pun tidak hanya membaca dan membaca, namun mengajarkan juga kepada masyarakat bagaimana cara untuk membuat suatu bacaan yang menarik dibaca.
Beberapa dari mereka sudah mempunyai program tulis-menulis yang bersifat digital, sebab mau tidak mau kita juga sedikit demi sedikit harus mengikuti arus zaman yang dimana semua serba digital, namun hal tersebut tidak membuat berubahnya cara meliterasikan suatu kata-kata.
Masih banyak lagi komunitas-komunitas perpus jalanan lainnya di Tangerang yang juga senantiasa memperbaiki minat baca masyarakat Tangerang, aksi sekecil apapun bisa membuat perubahan besar untuk meningkatkan minat baca di Indonesia. (uti)