Oleh Encep Abdullah
SEGALA SUNYI DAN PUISI
aku harus bergerak agar hidup tak usang dan rusak
manusia tak bisa terlalu lama menyepi
terkunci pada batinnya sendiri
aku harus keluar mencari puisi
ah, puisi! kau sejenis makanan apa?
aku sudah lama hidup denganmu
merekam segala jejak hidup yang kalang kabut
berebut kentut. berebut mulut
berebut yang tak seharusnya direbut
hari-hariku adalah penantian panjang
menanti puisi yang tak lekas pulang
aku menunggumu hanya sekadar ingin mencium pipi
mencium hidup yang tak hidup
adakalanya aku harus menyerah
berserah pasrah kepada-Mu yang mencipta
segala sunyi dan puisi
Pontang, September 2016
DI TANAH MUASALKU
SEPI SEMAKIN MENJADI
apalah hidup tiada kau
tempat bernaung segala risau
bak anak ayam berlindung pada induknya
beberapa hari yang lalu aku meninggalkanmu
berpulang-letih sendiri ke negeri asalku
tubuhku merapuh kehilangan daya dan upaya
mencari wajahmu di rumah
di tumpukan buku-buku
aku meninggalmu tanpa sekelebat bayang
tanpa sekelebat uang, tanpa sekelebat jejak
di tanah muasalku ini sepi semakin menjadi
aku kehilanganmu; kehilangan rumah
tempat segala sunyi
Pontang, 17 September 2016
ROMANTIKA UNTUK NEGERI
kita adalah sepasang burung
yang sedang membikin sarang
di sela-sela dahan pohon yang kokoh
merajut helai demi helai jerami
yang kita ambil dari ladang petani
maka rumah adalah kesunyian kita
kita adalah sepasang sayap
yangtertancap di punggung jiwa
maka perlu menjaga keseimbangan
laiknya seorang bocah
yang sedang bermain layang-layang
Ciruas-Pontang, 2016-2017.
Encep Abdullah, alumnus Untirta. Tulisannya dimuat di Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Republika, Riau Pos, dan lain-lain. Buku puisinya Tuhan dalan Tahun (2014). Bergiat di Kubah Budaya dan mendirikan komunitas menulis #Komentar di tempat kelahirannya, Pontang.
Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.