Oleh H. Uus M. Husaini, Lc., M.Pd.I
biem.co — Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang selalu menjadi sorotan dan disalah fahami sebagai tindakan pemaksaan dan penyerangan kepada orang lain agar masuk Islam. Dengan kata lain, Islam dipahami sebagai agama yang disebarkan melalui perang dan pertumpahan darah. Sehingga tak heran Barat memahami jihad sebagai salah satu ajaran Islam yang disimbolkan dengan kekerasan, kekejaman dan teror.
Pemahaman ini didukung oleh data-data empiris, yaitu perilaku-perilaku kaum ekstrimis Muslim yang melakukan aksi teror mengatasnamakan agama (jihad), sebut saja peristiwa 9 September 2001 di New York, Washington DC, Philadelphia, Madrid (11/3/2004), London (7/7/2005), di Paris (13/10/2015) dan beberapa tempat lainnya. Hal tersebut tentu saja semakin meningkatkan dan membangkitkan gelombang Islamofobia di kalangan masyarakat Eropa, Amerika, dan Australia.
Di Indonesia aksi terorisme yang mengatasnamakan “jihad” pun terjadi, seperti Bom Bali 1 (2002), Bom Hotel JW Marriott (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali 2 (2005), Bom Hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton (2009), Bom Plaza Sarinah (2016), Bom Kampung Melayu dan beberapa peristiwa lainnya. Hal ini semakin memperkuat stigma bahwa Islam adalah agama teroris, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Banyak yang memahami bahwa membunuh orang kafir dengan cara teror bom, penembakan, dan penghilangan nyawa orang lain itu adalah jihad. Tak perduli tempatnya dimana dan siapapun korbannya, apakah anak-anak, perempuan ataupun orang tua. Mereka merasa kegiatan yang dilakukan ini adalah suatu ibadah yang apabila meninggal, diyakini bahwa mereka mati Syahid dan masuk surga.
Mengapa terjadi?
Itu semua terjadi karena salah faham terhadap Islam, dengan hanya melihat Islam dari sudut perilaku seorang muslim yang melakukan tindakan teror mengatasnamakan agama (padahal Islam tidak mengajarkan demikian). Faktor yang kedua yaitu faham yang salah dalam menerjemahkan teks-teks keagamaan dengan hanya mengandalkan ayat ataupun hadits tertentu dan mengabaikan ayat maupun hadits yang lainnya, sehingga pemahaman terhadap makna jihad menjadi parsial.
Perkembangan arus informasi yang demikian hebat juga memiliki pengaruh dalam menyuburkan radikalisme dan terorisme. Banyak anak muda “galau”, kondisi ekonomi yang lemah, belajar agama yang setengah-setengah dan berusaha mencari makna hidup, kemudian belajar kepada guru yang salah, akhirnya terpengaruh dan terjerumus ke dalam dunia radikalisme dan terorisme dengan dalih jihad, kesejahteraan dan pahala surga.
Melihat kondisi yang demikian, maka perlu memahami makna jihad dengan benar serta berlandaskan petunjuk dari al-Qur’an dan al-Hadits secara komprehensif. Oleh karena itu, tulisan sederhana ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang makna jihad, serta pengaplikasiannya dalam konteks kekinian.
Makna Jihad
Jihad secara etimologis berasal dari kata al-juhd, yaitu upaya, kesungguhan dan kesulitan[1]. Dalam kamus Lisaan al-‘Arab disebutkan bahwa kata جهد dengan memakai fathah pada huruf Jimnya mempunyai arti al-masyaqqah (kesulitan), sedangkan memakai dhamah pada huruf Jimnya mempunya arti al-thaqah (tenaga) dan memakai الجهاد mempunyai arti mengerahkan segala kemampuan[2]. Dari penjelasan makna akar kata tersebut dapat dipahami bahwa jihad itu memiliki makna upaya yang sungguh-sungguh dalam upaya mengatasi kesulitan dengan mengerahkan segala kemampuan.
Sedangkan makna jihad menurut pengertian terminologinya adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang nampak seperti orang-orang kafir dan musuh yang tidak tampak seperti hawa nafsu dan setan. [3]
Al-Asfahani membagi jihad ke dalam tiga macam, yaitu: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam setiap orang. Ketiga macam jihad ini dicakup oleh Q.S. al-Hajj [22]: 78, Q.S. at-Taubah [9]: 41, dan Q.S. al-Anfal [8]: 72[4]
Bila kita merujuk kepada al-Qur’an maupun al-Hadis, maka kita akan dapati bahwa hanya sedikit penggunaan kata jihad yang menunjukan arti perang. Justru kata jihad banyak digunakan untuk pengertian yang lain seperti berbakti kepada orang tua[5], berbuat baik kepada keduanya[6], mengucapkan kebenaran kepada pemimpin yang kejam[7], haji yang mabrur[8], dan jihad melawan hawa nafsu (jihad yang paling besar)[9].
Melihat makna jihad yang general ini, maka jihad tidak dapat dipahami sebatas perjuangan fisik melawan musuh-musuh yang tampak seperti melawan orang-orang kafir, melawan orang-orang munafik atau melawan orang-orang yang telah berbuat zalim saja, akan tetapi lebih jauh dari makna itu, seperti melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh yang tidak tampak, misalnya melawan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada hal-hal yang merusak martabat kemanusiaan, melawan rasa malas, melawan kebodohan yang dapat merusak serta menghambat perkembangan intelektual. Dan banyak lagi yang lainnya.
Ganjaran dan keutamaan Jihad
Berdasarkan informasi dari al-Qur’an al-hadits, jihad akan memberikan dampak yang luar biasa bagi pelakunya seperti mendapatkan pahala amalan utama,[10] diselamatkan dari adzab yang besar, mendapatkan derajat yang tinggi, ampunan serta rahmat dari Allah, mendapatkan pahala surga[11], dan orang yang mati syahid pada hakikatnya mereka tidak mati melainkan hidup abadi di sisi Allah, mereka bergembira atas rahmat yang Allah berikan kepada mereka[12], dan banyak lagi yang lainnya.
Konteks Jihad
Jihad memang ajaran yang disyariatkan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, namun harus difahami dengan benar, secara komprehensif dan pengaplikasiannya harus melihat konteks. Dalam kondisi konflik (perang) misalnya, maka berjihad dalam artian berperang hukumnya menjadi wajib bagi penduduk daerah konflik tersebut. Tapi dalam kondisi aman seperti di Indonesia maka bentuk jihadnya adalah dengan menuntut ilmu, mempelajari, memahami, serta mengamalkan ajaran agama dengan benar dan sungguh-sungguh sesuai tuntunan Nabi Muhammad Saw, mengatasi segala macam bentuk kebodohan dan kemiskinan, melawan hoax, fitnah, pemutarbalikan fakta, korupsi, radikalisme dan lain sebagainya.
Selain itu, melihat jawaban Rasulullah yang berbeda-beda ketika ditanya tentang jihad, seakan-akan Beliau ingin menyampaikan bahwa bentuk jihad setiap individu bisa jadi berbeda-beda tergantung konteks yang melingkupinya. Bisa jadi bagi seseorang jihad yang tepat adalah dengan berbakti kepada orang tua, sedangkan bagi yang lain adalah menuntut ilmu, melawan kebodohan, melawan fitnah dan pemutarbalikan fakta, dan lain sebagainya.
Jihad dan Terorisme
Jihad dan terorisme adalah dua hal yang berbeda. Menurut Majelis Ulama Indonesia, 1) terorisme bersifat merusak dan anarkis; 2) bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan dan merugikan pihak lain; 3) terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas, baik itu muslim ataupun non muslim, anak-anak, perempuan, dan orang tua semuanya menjadi korban. Sebaliknya, jihad bersifat: 1) perbaikan (Ishlah), walaupun sebagian jihad dilakukan dengan jalan peperangan; 2) Jihad bertujuan untuk menegakkan Agama Allah dan membela hak pihak yang terdzalimi; 3) Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang di tentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Oleh karena itu MUI memutuskan secara qath’iy terorisme itu hukumnya haram, dengan alasan apapun apalagi dilakukan di suatu negara yang damai dan negara muslim seperti Indonesia.[13]
Jihad konteks kekinian
Dalam konteks Indonesia kekinian misalnya, banyak sekali persoalan umat dan bangsa yang cukup menantang untuk dijadikan lahan jihad, diantaranya adalah 1) masalah perampokan uang negara (korupsi) dan suap oleh aparat pemerintah pusat maupun daerah, DPR/DPRD, DPD, bahkan aparat penegak hukum; 2) meluasnya kahadiran “generasi android” yang telah menyita waktu produktif mereka; 3 maraknya fitnah dan ujaran kebencian melalui media sosial; 4) peredaran narkoba yang telah menjadikan Indonesia sebagai pasar utama, 5) kemiskinan dan keterbelakangan; 6) Intoleransi dan radikalisme; 7) Pornografi, Prostitusi dan isu-isu lainnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pilihan kita hanya satu yaitu harus berhijrah dari kondisi yang tidak baik menjadi baik, seperti dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan kepada perubahan hidup yang lebih baik, dari perilaku tidak terpuji kepada perilaku terpuji, dari apa yang tidak diridhoi Allah kepada ridho-Nya. Karena, hanya dengan berhijrahlah perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik akan terwujud, dan itu sudah terbukti pada Islam generasi awal.
Setelah kita berhijrah maka jihad yang harus kita lakukan adalah:
- Meningkatkan keimanan kepada Allah Swt, karena orang yang beriman tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti korupsi, fitnah (hoax), pemutarbalikan fakta dan lain sebagainya.
- Mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan benar dan sungguh-sungguh sesuai tuntunan Nabi Muhammad Saw. Agama inilah yang akan menjamin keselamatan dan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
- Belajar agama kepada “guru” yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan baik kepribadian maupun keilmuwannya, karena Rasulullah mengingatkan untuk melihat darimana agama itu diambil[14].
- Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Karena ilmu ini akan menjadi bekal yang sangat berharga dalam mengarungi hidup dan kehidupan, dan menyelamatkan pemiliknya di dunia dan akhirat.
- Menggunakan teknologi informasi berbasis media sosial untuk hal-hal positif yang memberikan maslahat bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, bukan untuk menyebarkan hoax, fitnah, ujara kebencian, pemutarbalikkan fakta, dsb.
- Penegakkan hukum dengan seadil-adilnya bagi para pelaku korupsi, ujaran kebencian, terorisme dan lain sebagainya.
- Ikut serta mengingatkan perilaku para pemimpin yang tidak benar serta mengawasi “ketidakberesan” yang terjadi di sekitar kita seperti peredaran narkoba, pornografi, dan lain sebagainya.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa jihad merupakan ajaran yang disyariatkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, namun harus difahami secara benar, komprehensif serta diaplikasikan dalam konteks yang tepat. Dan bentuk jihad yang tepat bagi setiap individu sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Melihat pelbagai permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia maka hiijrah yang tepat adalah dengan membangun semangat perubahan ke arah yang lebih baik dan diridhoi oleh Allah Swt. Dan jihad yang tepat adalah dengan iman yang kuat, ilmu (mempelajari, memahami, serta mengamalkan ilmu dan ajaran agama dengan sungguh-sungguh sesuai tuntunan Rasulullah Saw) yang memadai, menggunakan teknologi untuk manfaat dan maslahat, serta menjadi agen perbaikan di lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. (red)
Penulis aktif sebagai Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan menjabat sebagai Sekretaris Umum Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) Banten.
Referensi
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab–Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 217
[2] Ibn al-Manzuur, Lisaan al-‘Arab , Juz. 3, (Beirut: Daar Shadr, 1414 H), h. 133
[3] Al-Raghib al-Ashfahaany, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qu’rân, (Beirut: Daar el-Fikr, t.t), h.208.
[4] Al-Raghib al-Ashfahaany, al-Mufradaat fi Gariib al-Qur’an, cet. ke-1, jilid 1 (Damaskus: Daar el-Qalam, 1412 H), h. 187
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhory al-Ja’fy, Shohih al-Bukhory, (Daar Ibn Katsir, 1993 M/1414 H), 2842
[6] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Nisabury, Shohih Muslim, (Daar Ihyaa al-Kutub al-‘Arobiyyah, t.t), hadits nomor 4624 dan 2549
[7] Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, (Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 409, hadits nomor 2174
[8] Bukhory, Op.Cit, hadits nomor 1448
[9] Al-Zuhdu al-Kabir lil Baihaqy, hadits nomor 330, lihat juga Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisy, al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, (‘Aalam al-Kutub, t.t.), h. 131
[10] Bukhory Loc.Cit, 2842
[11] Q.S. an-Nisaa [4]: 95-96, lihat juga Q.S. as-Shaff 10-13
[12] QS. Ali Imran 169-171
[13] Aguk Irawan dan Isfah Abidal Aziz, Di Balik Fatwa Jihad Imam Samudra Virus Agama Tanpa Cinta, (Yogyakarta: Sajadah_Press, 2007) ,h. 241-242. Lihat juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 3 Tahun 2004, tentang Terorisme, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 januari 2004
[14] Muslim, Op.Cit, lihat juga Yahya bin Syarof Abu Zakariya al-Nawawy, Syarh al-Nawawy ‘ala Muslim, (Daar al-Khoir, 1996 M/1416 H).
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.