Oleh: Eko Supriatno
“Pergi ke Suranten membawa ragi
Ragi diikat dengan periuk
Pengangguran Banten semakin tinggi
Citra dan wibawapun semakin terpuruk”“Jalan jalan ke Balaraja
Ke Banten lama naik delman
Ciptakanlah lapangan kerja
Agar dapat mengurangi pengangguran”
(Pantun Rakyat)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran di Provinsi Banten berada di peringkat kedua tertinggi di Indonesia. Banten berada di posisi dua setelah Maluku.
Menurut penulis, minimnya perhatian pemerintah provinsi Banten atas persoalan pengangguran adalah jadi kendala hingga Banten menempati urutan atas sebagai provinsi dengan pengangguran tertinggi. Padahal, Banten sebagai penopang Ibu Kota Jakarta seharusnya bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai untuk mengurangi angka pengangguran. Tingginya pengangguran di Banten harusnya membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten harus terus berbenah.
Memang agak aneh, tingginya angka pengangguran tak sebanding dengan jumlah perusahaan. Padahal jumlah perusahaan di Banten yang tercatat secara resmi sebanyak 14.327 perusahaan. Semua itu terdiri dari perusahaan besar, sedang, dan kecil. Bahkan perusahaan terbesar di dunia ada di Banten. Baja, semen, gas, kabel semua ada di Banten. Namun mengapa angka pengangguran tetap tinggi?
Angka pengangguran Provinsi Banten selama beberapa periode tercatat lebih tinggi dibanding angka pengangguran nasional. Pada Agustus 2017, secara persentase jumlahnya meningkat dari 8,92 persen pada Agustus 2016 menjadi 9,28 persen pada bulan Agustus 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) paling banyak disumbang Kabupaten Serang dengan angka 13 persen atau sekitar 82 ribu orang.
Berbeda dengan Kabupaten Serang, Kota Tangerang Selatan memiliki angka pengangguran terkecil sebesar 6,83 persen, dengan jumlah 48 ribu. Disamping itu, jumlah pengangguran terbesar berada di Kabupaten Tangerang sebesar 10,57 persen dengan jumlah 175 ribuan. Adapun kabupaten/kota lainnya antara lain, Pandeglang sebesar 8,30 dengan jumlah 42 ribu, Lebak sebesar 8,88 persen dengan jumlah 52 ribu, Kota Tangerang sebesar 7,16 dengan jumlah 75 ribu, Cilegon sebesar 11,8 persen dengan jumlah 22 ribu, dan Kota Serang Kota Serang sebesar 8,43 dengan jumlah 25 ribu.
Dilihat dari tingkat pendidikan, lulusan SMK menempati posisi tertinggi penyumbang TPT jika dibanding jenjang pendidikan lain, angkanya sebesar 14,25 persen pada Agustus 2017. Lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Banten adalah sektor industri dan sektor perdagangan. Begitu juga, persentase pengangguran yang mengenyam pendidikan menengah (SMA/SMK) mengalami kenaikan dari 41,28 persen menjadi 48,17 persen. Sebaliknya pencari kerja pendidikan rendah mengalami penurunan (SMP ke bawah) dari 50,85 persen menjadi 43,80 persen.
Mengatasi masalah pengangguran, memang bukan problem yang gampang karena hal tersebut merupakan problem struktural yang akan terus terjadi dalam kehidupan perekonomian suatu daerah.
Membuat angka pengangguran menjadi hilang sama sekali merupakan suatu hal yang mustahil. Namun, paling tidak ada beberapa hal mendesak yang bisa dilakukan pemerintah maupun swasta untuk menekan dampak dari pengangguran ini.
Upaya pemerintah provinsi Banten untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi sudah merupakan langkah yang relevan dan benar karena dengan bertumbuhnya perekonomian, penyerapan tenaga kerja otomatis akan terjadi dan akan menekan angka pengangguran. Namun, dalam situasi perekonomian yang melambat serta telanjur terjadi peningkatan jumlah penganggur, langkah yang bisa ditempuh adalah secepatnya melakukan mitigasi dan pemetaan terhadap para penganggur tersebut, utamanya mereka yang menganggur akibat perlambatan ekonomi.
Mereduksi Pengangguran Banten
Apabila kita mengutip lima pilar utama program-program perluasan dan penciptaan lapangan kerja secara nasional adalah: Perbaikan Layanan dan sistem Informasi Ketenagakerjaan, Peningkatan keterampilan dan kapasitas pekerja, Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta kewirausahaan, Peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur berbasis komunitas, dan Program darurat ketenagakerjaan (contoh program darurat ketenagakerjaan antara lain program-program cash for work di saat krisis atau perbaikan infrastruktur pada masa pemulihan dan pembangunan kembali seusai bencana alam).
Begitupun dalam teori-teori ekonomi klasik, dijelaskan bahwa pemerintah bisa berperan sangat penting untuk menghidupi para penganggur tersebut. Tapi, menurut penulis ada setidaknya ada 6 (Enam) cara/upaya pemerintah mengatasi masalah pengangguran, dalam istilah penulis menyebutnya “Mereduksi Pengangguran Banten”:
Pertama, Pemerintah provinsi Banten harus memberikan opsi “program” kepada pencari kerja di Banten misal: melalui program job fair, magang dan kredit untuk pelaku usaha baru. Program ini tentu untuk meningkatkan hajat hidup anak muda (atau pencari kerja lainnya) dan untuk mengurangi angka pengangguran. Job fair yang harus rutin dilakukan misal satu tahun 3 kali ini merupakan atas kerjasama Pemerintah provinsi Banten dan perusahaan yang ada di Banten.
Pemerintah provinsi Banten juga seyogyanya harus selalu berusaha membuka peluang kepada warga Banten melalui salah satunya program magang yaitu, mengirimkan tenaga kerja terampil ke beberapa negara. Program selanjutnya adalah memotivasi para pemuda dan pemudi Banten untuk mau berwiraswasta. Pasalnya, peluang bisnis di Banten ini sangat besar, hal ini terkait dengan Banten merupakan salah satu kota pariwisata masa depan.
Kedua, Pemerintah provinsi Banten dalam hal ini Dindik Banten harus berada pada gugus terdepan dalam meningkatkan mutu lulusan SMA dan SMK agar link and match dengan dunia industri. Apalagi dalam masa transisi pengelolaan SMA dan SMK oleh provinsi. Dindik Banten harus memperketat perizinan pendirian SMK. Jangan sampai SMK baru hanya memproduksi lulusannya menjadi pengangguran.
Ketiga, Begitupun dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten salah satunya dengan melatih masyarakat Banten di Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja untuk kemudian disalurkan ke sejumlah perusahaan atau Usaha Kecil Menengah (UKM). Pembekalan keterampilan harus diaplikasikan melalui balai-balai pelatihan kerja menjadi alternatif dalam menjawab tantangan ketenagakerjaan global yang semakin ketat.
Lulusan BLK akan menjadi tenaga kerja yang tidak hanya kompeten dan berdaya saing tinggi, tetapi juga tersertifikasi sehingga akan cepat diserap industri. Dengan adanya sertifikasi uji kompetensi untuk calon pekerja, penulis berharap perusahaan di Banten tidak harus menerima lowongan kerja dengan syarat pendidikan formal.
Pendidikan formal itu sangat penting, namun dengan adanya pelatihan skill tenaga kerja dengan uji kompetensi yang bersertifikat. Perusahaan dapat membuka lowongan kerja untuk pendidikan formal dan lulusan pelatihan. Calon pegawai yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan meskipun hanya memiliki sertifikat tertentu harus juga diterima.
Keempat, Pemerintah provinsi Banten harus berikhtiar meningkatkan peluang untuk tenaga kerja. Pengangguran di mata warga masih perlu dikurangi dengan membuka lapangan kerja, bila perlu dikebut. Banten harus meningkatkan daya saing. Ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk mengurai tantangan tersebut. Pertama yang harus dilakukan adalah penguatan SDM. Di antaranya, mengentas anak putus sekolah, pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan pelatihan ekonomi kreatif berbasis komunitas.
Peningkatan daya saing lulusan SMK harus dibekali dengan keterampilan. Pemerintah provinsi Banten juga harus mengkolaborasikan pelatihan yang diadakan Pemerintah provinsi Banten dengan melibatkan peserta pelajar SMK/SMA. Langkah kedua, dengan pembangunan infrastruktur. Irigasi, jalan dan berbagai transportasi terus ditingkatkan. Sentuhan Teknologi Informasi menjadi langkah selanjutnya untuk meningkatkan daya saing dan menunjang pelayanan publik. Bila perlu programkan Jaringan fiber optic hingga bisa menjangkau separuh desa di Banten.
Kelima, Pemerintah provinsi Banten seyogyanya memprioritaskan pemberian bantuan modal usaha melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat Banten untuk mengatasi kemiskinan di daerah-daerah setempat.
Dan Keenam, Pemerintah provinsi Banten harus getol mengajak Universitas atau perguran tinggi di Banten untuk berperan mendongkrak daya saing teknologi, produktivitas tenaga kerja, dan inovasi. Penulis berharap Universitas atau perguran tinggi di Banten harus terus memperkuat perannya sebagai agent of economic development and entrepreneural university, lebih fokus dalam upaya hilirisasi hasil riset dan inovasi dosen dan mahasiswa.
Selain itu, dunia akademis perlu memperkuat link and match antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja. Sehingga, tercipta para teknopreneur muda yang mampu bersaing di tingkat global. Lulusan universitas diharapkan memiliki kemandirian dan menjadi job creator dengan memanfaatkan Program Pencetakan Wirausaha Baru. Pemerintah Banten juga harus memiliki program “Kredit ala anak muda”, ada tiga langkah integratif dalam bidang pendidikan, yaitu start earlier (pendidikan usia dini), stay longer (sekolah setinggi mungkin), dan reach wider (pemerataan kesempatan pendidikan).
Semoga saja semua gagasan di atas dapat di realisasikan serta diimplementasikan oleh Pemerintah provinsi Banten.