InspirasiOpini

Arif Budiman: Demokrasi Bukan Garansi Pemerataan Ekonomi

Oleh Arif Budiman

biem.co – Lembaga riset Credit Suisse dalam laporannya yang termuat di Global Wealth Report 2016 menunjukkan fakta ironis mengenai tingkat kesenjangan ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Ironisnya, negara-negara besar yang selama ini memengaruhi arah perkembangan sejarah dunia dengan pencapaian kinerja ekonominya justru menempati posisi puncak negara-negara yang tergolong sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia.

Rusia tercatat sebagai pemimpin negara-negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi. Sebanyak 74,5% kekayaannya dikuasai oleh 1% orang-orang terkaya di negeri itu. Menyusul di belakangnya India dengan besaran 58,4%, Thailand dengan angka 58%, Indonesia dengan jumlah 49%, Brazil dengan porsi 47%, Cina dengan besaran 43,8%, Amerika Serikat dengan angka 42,1%, dan Afrika Selatan dengan jumlah sebanyak 41,9%. Keseluruhan besaran porsi penguasaan kekayaan di negara-negara tersebut dimiliki oleh tak lebih dari 1% penduduknya masing-masing.

Kesenjangan tersebut adalah fakta. Hasil dari sistem politik dan ekonomi yang memungkinkan penguasaan aset tanpa batas oleh setiap pribadi dan individu warga negara. Fenomena itu sungguh nyata, konsekuensi dari terbukanya perilaku kompetisi sampai pada tingkat kebebasan yang paling tinggi. Anehnya, pada ruang yang lain, kesenjangan itu juga lahir dari proteksionisme negara terhadap perilaku sekelompok orang yang terlanjur kaya atau menjadi kaya karena beking negara.  

Kinerja ekonomi suatu negara tidak ada kaitannya dengan sistem politik dan pemerintahannya. Bahkan, dalam sistem demokrasi yang dianggap terbaik sekalipun, pemerataan ekonomi masih menjadi masalah. Merujuk pendapat Diamond, Linz, dan Lipset (dalam Mohtar Mas’ed, 1994) yang mensyaratkan adanya tiga penanda bagi sistem politik dan pemerintahan demokratis yaitu (a) kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu individu dan kelompok-kelompok organisasi—terutama partai politik—untuk merebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang regular dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa; (b) Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warganegara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilu yang diselenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok sosial (warganegara dewasa) yang dikecualikan; dan (c) Kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik, maka dengan penuh percaya diri kita bisa membuat klasifikasi dan melakukan kajian mengenai seberapa besar pengaruh sistem pemerintahan (demokratis) terhadap kinerja perekonomian.

Daftar di atas adalah bukti paling nyata. Negara-negara yang menerapkan sistem politik demokratis seperti Amerika Serikat dan Indonesia memiliki wajah ketimpangan ekonomi yang sama dengan negara partai tunggal seperti Cina. Begitupun negara-negara dengan bentuk pemerintahan republik federal semacam Rusia, India, Brasil, dan Amerika Serikat tidak memiliki beda dengan negara kesatuan semacam Indonesia, atau bahkan dengan monarki-konstitusional semisal Thailand. Dengan kata lain, sistem politik dan pemerintahan sama sekali tidak ada hubungannya dengan besaran peluang dan aksi pemerataan ekonomi.

Kesimpulan ini semakin kuat jika disandingkan dengan data Indeks Pembangunan Inclusive (Inclusive Development Indek/IDI) yang dirilis pada Januari 2017. Kelompok negara maju yang paling kecil kesenjangan ekonominya dipuncaki oleh negara-negara yang menerapkan baik bentuk pemerintahan monarki-konstitusional semacam Norwegia, Luksemburg, dan Denmark maupun yang mengadopsi bentuk pemerintahan republik federal seperti Swiss atau republik demokratis semacam Islandia.

Sementara itu, pada bagian kelompok negara berkembang, 5 posisi teratas negara yang paling sempit ketimpangan ekonominya dikuasai oleh mereka yang menerapkan bentuk pemerintahan republik, yaitu Lithuania, Azerbaijan, Hongaria, Polandia, dan Romania.

Oleh karena itu, sudah saatnya diskusi dan perdebatan mengenai sistem politik dan pemerintahan mana yang paling mampu mendukung dan menciptakan pemerataan serta mencegah kesenjangan ekonomi  dihentikan. Sebab, jawabannya sudah pasti, yaitu tidak ada satu pun !!.

Jika demikian konklusinya, lalu variabel apa yang paling banyak memengaruhi terjadinya ketimpangan ekonomi di suatu negara? Apakah figur dan komitmen pemimpinnya? Budaya masyarakatnya? Ideologi penguasa politiknya? Ataukah yang lainnya? Silakan Tuan dan Nyonya menelitinya.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi


Artikel Terkait:
Tb. Ai Munandar: Risiko Penggunaan Teknologi dalam Smart City
Indra Martha Rusmana: Mengintegrasi Kebahagiaan dengan Hidup Konsisten
Fakhrur Khafidzi: Labirin Negeri Kita

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button