Oleh Deby Rosselinni
biem.co – Posisi duduk begini, setidaknya membuatku merasa lebih baik. Terlalu lama tidur membuatku merasa berada di dalam peti mati. Tetapi sepertinya tidak sebaik yang aku harapkan.
Aku melirik ke tumpukan buku pelajaran di meja yang terletak di pojok. Sudah lama sekali aku tak membukanya. Buku-buku itu seakan memandangku dengan sedih. Mungkin mereka merindukanku, tapi sayangnya, aku tak sedang merindukan mereka yang selalu cerewet dan suka mengatur itu.
Ah bodoh sekali, aku geleng-geleng kepala.
Seperti biasa, pada keadaan yang begini ini, aku hanya mengurung diri di kamar. Jatah hari libur biarlah habis tanpa kesan, tanpa harus kemana-mana. Aku malas berpergian. Mungkin sebaiknya aku mulai mempertimbangkan untuk belajar? Siapa tahu aku akan bertambah pintar karena usahaku yang kadang-kadang berlebihan. Atau membaca novel favoritku? Tetapi apa itu penting? Aku benar-benar merasa pusing dan agak mual dengan semua hal rumit yang belakangan ini aku hadapi.
Sesuatu telah terjadi, dan itu membuatku seperti ini.
Aku tak bernapsu untuk melakukan apapun, tak terkecuali makan, bahkan malas melakukan hal-hal yang dulu aku sukai, ya semisal menulis atau menyusun puzzle. Gara-gara kenyataan mengkhianatiku, aku merasa bosan dan lelah. Ini tolol, aku memaki dalam hati, tidak melakukan apa-apa pun aku tetap kelelahan.
Apa yang terjadi kemarin?
Tak ada. Tak ada hal istimewa yang perlu aku ceritakan. Aku hanya merasa ini puncaknya atau akhir dari semuanya. Entahlah, masa lalu hanya sebagai kenangan yang, sepertinya mudah saja untuk diabaikan. Aku tak perlu terbebani oleh semua hal yang telah berlalu, juga setiap hal yang telah hilang.
Ya, aku tahu, pedih di hati tidak mungkin musnah begitu saja.
Seperti yang kuharapkan, perasaan yang telah kubuang, begitu dengan cepat hilang dan tak membuatku kesulitan. Tapi efeknya membuatku mual. Ya, mual! Mungkin aku belum terbiasa dengan kekosongan. Perasaan aneh yang tidak sedih tidak juga bahagia, perasaan aneh yang membuatku merasa mendekati kegilaan.
Aku pikir, ini tak akan lama.
Aku yakin waktu akan mengobatiku, aku akan baik-baik saja di masa yang akan datang. Hei, memangnya aku sakit apa? Aku, kan, hanya sedang mengasingkan diri atau lebih tepatnya menghukum diri karena…, ah oke benar sekali! Aku agak kecewa, aku tidak sungguh-sungguh mampu mengatasi perasaanku sendiri. Harapan-harapan yang dulu membuatku selalu tersenyum kini mengecewakanku, itulah musuh terbesarku sekarang.
Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, bahkan tak bisa menyalahkan diriku sendiri. Aku hanya seorang gadis yang beberapa tahun lalu masih kanak-kanak. Jadi wajar saja melakukan kesalahan, terlebih ini menyangkut hati. Orang-orang yang sudah sangat dewasa pun sering melakukan kesalahan kalau menyangkut urusan hati. Bukan begitu?
Aku memang keras kepala, setidaknya itu yang orang-orang katakan tentangku. Ah, apa peduliku. Suka-suka mereka sajalah.
Kamarku ini, bukan kamar yang besar, bahkan terhitung sempit, tapi hari ini saya merasa kamar yang penuh buku ini lebih sempit dari biasanya. Tembok berwarna abu-abu, oh iya, aku baru sadar tembok kamarku berwarna abu-abu! Membosankan sekali. Ah, mataku melihat buku kecil berwarna hijau, terselip di antara buku-buku pelajaranku. Dan entah kenapa, itu berdampak buruk, membuat emosiku melompat-lompat. Yang paling kubenci adalah ingatan itu.
Oh Tuhan, ingatan macam apa ini? Mengerikan sekali!
Kuambil buku kecil itu, aku tahu pasti isi buku itu. Aku tahu apa yang akan terjadi ketika aku menyentuhnya kembali. Aku tahu apa yang akan terjadi ketika aku membaca setiap rangkaian kata di setiap lembarannya. Tapi aku selalu saja tergoda untuk menyentuhnya lagi dan lagi.
Brengsek! Buku itu selalu membuatku gemetar dan merinding.
Selalu begini dan begini. Tapi kenapa aku selalu tahan? Kenapa aku masih menyimpannya? Aku mengangguk tiga kali menyetujui pikiranku sendiri bahwa aku idiot.
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Sepertinya sudah tiba waktunya untuk bersenang-senang,” aku tersenyum miring, menggenggam buku sialan itu dan membawanya ke dapur.
Aku mengambil gipang dari toples yang berada di meja dapur. Aku tidak lapar, tapi aku memakannya sambil menyalakan kompor. Hanya ada aku di dapur. Perabotan yang bergantungan di tembok membikin dapur sumpek. Perabotan-perabotan itu sudah tampak hitam dan berminyak, mestinya sudah tidak dipakai, sudah tidak layak pakai.
“Aku membutuhkan bunga untuk sebuah pemakaman,” aku pikir itu setimpal, aku harus menghargai buku lusuh yang telah menemaniku selama tiga tahun.
Setelah memetik bunga mawar putih dari halaman rumah, yang merupakan satu-satunya mawar yang mekar, aku tertawa kecil, memikirkan apakah perlu mawar ini benar-benar kutaburkan kelopaknya di atas buku brengsek ini? Apa pentingnya? Apa pula salah mawar kepadaku? Mengapa ia harus jadi korban hanya karena kemarahanku kepada buku kecil yang sudah tidak berguna ini?
Aku tersenyum nakal, bunga itu telah sampai pada takdirnya.
“Selamat tinggal,” kataku, namun rasanya itu bukan salam perpisahan yang bagus. “Jangan sampai kau kembali lagi. Pergi sana!” kulempar buku itu ke atas kompor dengan api yang menyala-nyala.
Kusaksikan api kuning kebiruan itu melahapnya dengan buas. Perlahan-lahan warna hijaunya menjadi gelap, abu-abu kehitaman.
Aku menjadi senang ketika aku seperti mendengar jeritan dan tangisan buku yang terlalu banyak tahu tentangku itu. Aku menjadi senang melihat tubuhnya menggeliat kesakitan. Tidak lama lagi, jeritan, tangisan, dan kesakitan-kesakitan itu akan musnah, gumamku.
Aku tertawa.
Kupindahkan buku yang setengah terbakar itu dengan api yang masih menjilatinya ke belakang rumah, dekat tempat sampah. Aku tak menyangka, buku yang kubeli seharga empat puluh enam ribu rupiah itu akan berakhir di tempat sampah. Tapi dulu aku memang mempunyai firasat, buku berwarna hijau yang kubeli di sebuah toko serba ada itu memiliki nasib buruk. Hanya saja aku masih heran, kenapa sekarang aku jadi begitu tak menyukainya, padahal dulu aku sempat berpikir ia akan menemaniku seumur hidup. Hingga kelak aku menua lalu mati dalam kesepian atau di dalam kebahagiaan.
Aku benar-benar idiot!
Kulempar mawar putih ke atas buku itu dengan kesal, mengingat masa-masa konyolku saat menulis semua kejadian tolol yang ada di buku itu.
Sial! Tiba-tiba apinya padam.
Aku bertambah kesal, bukan saja karena apinya padam, tapi karena ada tulisanku yang masih bisa kubaca.
“Adam, dunia seorang gadis tidak….”
Aku berlari ke dapur mencari korek, tapi tak kutemukan. Jadi, kubawa mawar putih itu dan membakarnya di atas kompor hingga kering dan membawanya kembali ke atas buku brengsek itu supaya bisa ikut terbakar.
Aku tersenyum.
Kupikir ini memang yang terbaik. Untuk saat ini tak ada penyesalan sama sekali. Barangkali aku memang tidak harus menyesalinya. Aku hanya perlu membeli buku hijau yang baru dan mengisinya kembali dengan kisah-kisah yang lebih menyenangkan. Bukankah hidup untuk bergerak dan maju? Jadi tak ada gunanya aku masih memiliki buku itu, mengapa aku harus merasa bersalah? Tetapi kenapa harus hijau?
Bagus. Memang benar. Aku berhasil kembali membakar buku kecil itu.
Angin bertiup kencang, aku merasa sejuk, tapi lagi-lagi aku dibuat kesal karena ternyata api yang sedang bersenang-senang melahap kenanganku jadi padam.
Ah, tinggal sedikit lagi!
Aku terpaksa duduk jongkok di samping buku dan mawar itu, merobek beberapa lembarannya yang belum sempat dilumat api. Kemudian menuju dapur, oh ya aku belum mematikkan kompor sejak pertama aku nyalakan. Apa ini termasuk pemborosan? Lupakan, bukan itu yang terpenting. Aku sedang tidak peduli kepada apa-apa.
Aku kembali lagi duduk berjongkok bersama kertas robekan yang berapi. Akan kupastikan bahwa semuanya tuntas, tidak ada lagi yang tersisa. Meski pun aku batuk dan mataku perih karena terkena asap, aku terus menikmati momen ini.
“Kakak sedang apa?”
Ternyata aku tidak sendirian lagi di rumah ini.
“Helena selalu saja datang pada waktu yang tidak tepat!” gerutuku.
“Eh,” nada suara terkejut Helena membuatku jengkel. “Kenapa dibakar?”
“Tidak semua hal perlu kamu tahu,” jawabku pendek.
“Tapi kenapa kak Lini ‘nangis?”
“Konyol!” kilahku. “Aku tidak menangis. Ini karena asap, paham?” lanjutku tak terima.
“Bohong,” sangkal Helena.
Adikku itu memang sangat peduli kepadaku, meski kadang caranya peduli bikin aku kesal. Apa lagi untuk sekarang ini, benar-benar tidak mengenakkan. Mestinya ia memilih masuk kamar dan nonton film korea kesukaannya di laptop yang selalu kami perebutkan.
Itu akan jauh lebih baik.
“Kak?”
Aku berdiri, lalu menatapnya dengan tajam, “Suka-suka aku!”
Aku lihat buku dan mawar itu, sudah jadi abu.
Lega sekali. Aku telah menyelesaikan semua hal harus kulakukan. Sudah berhasil mengantarkan buku itu kepada nasib terburuknya.
“Semoga tenang di alam sana,”
“Memangnya siapa yang meninggal?” tanya Helena penasaran.
“Tuh,” aku menunjuk abu yang berantakan.
“Kok bisa?”
“Bisa. Mereka terkena penyakit kanker liver,” kataku berlagak menjelaskan. “Menyedihkan sekali,” lanjutku berpura-pura tampak terharu padahal kentara sekali nada mengejeknya.
“Bukannya itu buku diary Kak Lini?”
Aku berlalu meninggalkan Helena tanpa berucap satu kata pun.
Di kamar aku pikir akan merasa lebih baik, tentu saja setelah membakar buku sialan itu. Namun aku keliru, kamar ini terasa semakin sempit, semakin sempit, dan semakin sempit. Dadaku terasa terhimpit dan sangat sesak.
Aku tidak bisa menahan diri. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berusaha berdiri tegak dan tersenyum, tapi aku merasa ada yang menguncang perasaanku. Sangat kuat. Sangat menyakitkan.
Oh tidak, ini kesalahan! Aku benar-benar idiot! []
Cilegon, 2017
Deby Rosselinni, penulis muda kelahiran Cilegon ini sudah menerbitkan dua novel dan tergabung dalam beberapa antologi cerpen. Karya-karyanya yakni novel The Mystery Checkered Floor and Gods (2012), novel Simfoni Cinta Khanza (2013), antologi cerpen Gilalova 6: Bukan Cerita Cinderella, dan antologi cerpen Kurajut Cintamu Lagi (2014). Terakhir, ia membuat skenario film berjudul 10 Things that I Hate/Love in School. Ia kini sibuk kuliah dan menjadi salah satu pengurus Lentera Sastra Indonesia.
Berita Terkait :
Cerpen Nasrullah Alif: Perempuan Pemakai Kacamata
Mari Tinggalkan Jejak Intelektual Melalui Pembukuan dalam Festival Literasi Tangsel
Tri Sulistyowati, Inspiratif, Humble dan Cinta Keluarga
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.