biem.co – Publik kembali dikejutkan terkait perkembangan kasus korupsi e-KTP. Setelah KPK menetapkan orang nomor satu di DPR sebagai tersangka, kali ini beredar kabar tewasnya seorang saksi kunci korupsi e-KTP, Johannes Marliem di Amerika Serikat pada Jumat (11/8).
Pertanyaan pun menyeruak apakah tewasnya saksi kunci ini karena dibunuh ataukah bunuh diri. Ada dugaan Johannes diduga dibunuh oleh pihak tertentu yang tidak menghendaki kasus korupsi e-KTP menjadi terang benderang dan bisa menjerat siapa saja yang terlibat.
Dugaan itu bisa jadi benar adanya, mengingat bahwa Johannes disebut sebagai orang yang memiliki rekaman percakapan sejumlah orang berkaitan dengan korupsi e-KTP, termasuk Setya Novanto. Kabarnya rekaman percakapan itu memuat percakapan setiap pertemuan selama empat tahun lamanya. Bila rekaman itu bocor atau dijadikan sebagai alat bukti yang bernilai kuat dalam hal pembuktian, maka bisa jadi terbongkar sudah semua rekayasa dalam mega korupsi dalam abad ini.
Tapi untuk saat ini, baru disimpulkan sementara bahwa tewasnya Johannes karena bunuh diri di usia yang relatif muda yakni berusia 32 tahun. Kalau itu benar karena lantaran bunuh diri, maka tentu ada penyebab atau yang melatar belakanginya mengapa Johannes tega mengakhiri hidupnya dengan cara menembakkan kepalanya sendiri.
Penyebab Bunuh Diri
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab dari bunuh diri bisa karena faktor tekanan hidup yang sangat berat sehingga korban merasa tak sanggup untuk mengatasinya atau dicarikan jalan keluarnya. Kita tahu Johannes dalam perkara korupsi e-KTP sering disebut-sebut sangat mengetahui bagaimana kasus ini merebak dan menurut pengakuannya pula bila dirinya memiliki bukti rekaman yang sangat menentukan. Tidak bisa semua orang memiliki bukti rekaman tersebut, bila bukan bagian dari pihak yang terlibat dalam suatu proyek besar yang menelan anggaran sebesar 5 trilyun rupiah.
Sebagai penyedia produk Automated Finger Print Identification System (AFIS) Merek L-1 yang digunakan dalam proyek e-KTP tentu sedikit banyak mengetahui semua hal dan diduga juga ikut menikmati bancakan proyek tersebut.
Selain itu tekanan hidup lainnya juga, karena Johannes informasinya memiliki utang yang besar kepada pihak lain dalam kaitan pengadaan e-KTP ini yang nilainya mencapai milyaran rupiah. Siapa yang tak stres bila kita punya hutang yang sulit untuk diselesaikan dan ditagih terus menerus, apalagi kalau nilai utangnya sangat besar. Maka secara akal waras, kemungkinan bisa jadi itu yang menjadi faktor pemicu juga orang kemudian bunuh diri.
Bahkan peristiwa bunuh diri Johannes juga dikaitkan dengan peristiwa penyekapan olehnya terhadap seorang perempuan dan seorang anak di rumahnya di Edinburg Avenue, Hollywood. Soal kasus ini belum diketahui apa motifnya. Tapi setidaknya berhubungan dengan goncangan jiwa yang teramat hebat.
Apa yang uraikan di atas, tidak lantas itu sebagai suatu kebenaran karena masih bersifat asumsi dan karenanya kita perlu menunggu kesimpulan yang lebih akurat alasan tewasnya Johannes, apakah karena bunuh diri atau dibunuh. Tapi yang ingin coba dikemukakan di sini bahwa dalam suatu kasus tindak pidana apalagi kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat dan pengusaha selalu saja dihiasi dengan pemberitaan tentang meninggalnya atau tewasnya seseorang yang terkait dengan kasus korupsi entah sebagai saksi atau tersangka.
Daftar Panjang Orang Meninggal Terkait Korupsi
Kematian Johannes menambah daftar saksi e-KTP yang meninggal. Sebelumnya ada dua saksi dari kalangan anggota dewan meninggal. Mereka adalah politikus Partai Demokrat, Mayor Jenderal TNI (Purn) Ignatius Mulyono dan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Mustokoweni.
Bila melihat fenomena ini, tak dapat dibayangkan betapa berat beban psikologis yang ditanggung mereka yang diduga terlibat atau setidaknya ikut terseret dalam arus deras dari mega skandal korupsi ini. Ada yang masih kuat bertahan, ada pula yang terhempas dan berujung kepada kematian. Orang yang dipanggil saksi oleh KPK sekalipun pastinya diliputi rasa cemas dan takut. Kadang sebagian dari mereka tak lantas memenuhi panggilan KPK dengan alasan sakit atau ada kegiatan di luar negeri, ada juga yang datang dengan sikap percaya diri sambil senyam-senyum di hadapan media massa. Meski hatinya tetap saja super galau dan khawatir statusnya berubah jadi tersangka.
Siapa sangka bahwa suatu ketika kita pun bisa jadi sewaktu-waktu akan berurusan dengan hukum. Entah sebagai saksi apalagi sebagai tersangka. Mungkin tak ada yang membayangkan jadi pesakitan. Pastinya seluruh dunia menjadi gelap gulita. Runtuh semua pertahanan yang dimiliki. Seolah-olah tak ada harapan untuk kembali mendapat kepercayaan publik. Karirnya habis seketika ketika ditetapkan tersangka dan siap menghadapi vonis hakim kelak di pengadilan nanti. Betapa berat menjalani kehidupan selanjutnya.
Bisa saja yang tersangkut suatu kasus korupsi, berusaha setegar mungkin menghadapi kenyataan pahit. Berani berbuat berani bertanggung jawab, itu peribahasanya. Maka diantara mereka ada juga yang mengakui kekeliruannya dan menyampaikan penyesalan karena ikut korupsi. Orang yang demikian, meski telah merugikan keuangan negara sikapnya patut diacungi jempol. Itulah sosok negarawan yang mengakui dirinya salah. Maka orang-orang seperti ini kondisi kejiwaannya stabil dan lepas dari beban psikologis yang menghimpit. Orang yang tobat biasanya jiwanya kembali tenang dan penuh kelapangan.
Beda halnya, orang yang sejak awal mengakui dirinya dijebak, difitnah, nama baiknya dicemarkan padahal jelas-jelas pelakunya maka orang yang demikian jiwanya sudah rusak dan sulit untuk diperbaiki lagi. Di hadapan media selalu menampilkan muka cerah, selalu tersimpul senyum di bibirnya dan penampilan menawan padahal bisa jadi di dalam jiwanya berkecamuk hebat antara hati dan akal. Di satu sisi dia merasa berdosa di sisi lain dirinya tidak rela untuk mengakui kesalahannya.
Makanya banyak yang terlibat korupsi dan berurusan dengan hukum, tiba-tiba mendapat serangan jantung lalu mati seketika atau ada juga mati perlahan-lahan. Yang paling umum adalah kena serangan stroke atau lumpuh sekujur tubuh. Tidak bisa berjalan lagi dan tidak bisa bicara. Model penyakit ini yang paling menakutkan nan horor bagi para pejabat yang terlibat korupsi. Badan boleh sehat tapi seperti bangkai karena tak bisa berbuat seperti orang normal lagi. Itu lebih mengerikan ketimbang sakit biasa dan langsung bisa disembuhkan.
Selain pada kasus korupsi e-KTP, ternyata korupsi lain juga “memakan korban”. Setidaknya ada enam orang yang meninggal dunia mereka yang tersangkut kasus korupsi. Sebagian besar meninggal karena serangan stroke diantaranya Siti Chalimah Fadjriah, saksi kunci pemberian bail out Bank Century. Lalu ada Muchayat mantan deputi Kementerian BUMN dalam skandal proyek Hambalang.
Selain itu, yang meninggal dunia ada Ikuten Sinulingga Direktur Operasi PT Wijaya Karya dalam kasus korupsi Hambalang, Asep Wibowo terkait kasus sport center Hambalang. Raba Nur dalam kasus korupsi perluasan lahan bandara Sultan Hasanudin. Terakhir adalah meninggalnya Sutan Bhatoegana pada Sabtu 19 November 2016.
Bagi yang tidak siap menghadapi kenyataan karena berurusan dengan hukum, pilihannya ada dua. Pertama akui saja bila dirinya korupsi atau tidak mengakuinya dengan risiko akan mendapat segala macam gangguan baik gangguan fisik maupun kejiwaaan. Orang yang mengakui, perlahan jiwanya akan segera stabil dan ikhlas menjalani hukuman kelak sebaliknya orang yang tak mengakui korupsi padahal korupsi, maka secara perlahan jiwanya makin rusak dan kesehatan akan terganggu dengan munculnya berbagai macam penyakit seperti sakit jantung, kanker, stroke, ginjal dan penyakit berat lainnya, bahkan ada yang hilang ingatan.
Jadi Renungan Kita Semua
Hendaklah fenomena di atas dijadikan bahan renungan untuk kita semua agar senantiasa menghindari dari perbuatan buruk dan dibenci oleh Tuhan. Mencuri uang rakyat adalah bentuk perbuatan dusta. Bagi orang yang berbuat dusta maka jiwanya akan timbul satu noda hitam dan akan terus bertambah noda hitam itu bila terus berbuat dusta.
Kasus kematian Johannes terlepas di bunuh atau karena bunuh diri harus dijadikan pelajaran berharga bagi kita untuk selalu menghindari dari praktik korupsi atau setidak-tidaknya berhubungan dengan proyek yang berpotensi korupsi. Selalu menjaga keimanan dan mendekatkan diri kepada sang pencipta. Jangan pula lantaran ada beban hidup yang dialami lalu harus berakhir dengan jalan bunuh diri, sebab itu perbuatan yang tak bisa diampuni dan dikategorikan dosa besar.
Meski Johannes telah tiada, bukan berarti kasus korupsi e-KTP tak dapat diungkap. KPK tak boleh hanya mengandalkan pada satu bukti, masih banyak bukti lain yang harus dikejar supaya dapat menjerat lagi para koruptor yang terlibat dan tidak selesai pada orang nomor satu di DPR saja. Kita tetap berharap.
Gufroni, Pegiat Antikorupsi dan Akademisi Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang. Gufroni dilahirkan di Bekasi, 20 Maret 1978. Pendidikan S1 didapat di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba). Pendidikan S2 dari Program Magister Hukum Universitas Syekh Yusuf (Unis) Tangerang. Saat ini mulai menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ditengah rutinitas kerja, penulis aktif dalam isu-isu pemberantasan korupsi di Indonesia melalui Madrasah Anti Korupsi (MAK). Selepas menjabat sebagai Kepala MAK UMT, sekarang diberi amanah sebagai Wakil Direktur MAK PP Pemuda Muhammadiyah. Selain sering dimintai pendapat hukum dan isu anti korupsi oleh beberapa media cetak dan online, juga sering mengisi diskusi, seminar, talk show radio dan di TvMu sebagai narasumber.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.