InspirasiPuisi

Sajak-sajak Uthera Kalimaya

Oleh Uthera Kalimaya
JUNG

Mencintaimu adalah pekerjaan sepanjang waktu
yang tidak memerlukan terlalu banyak basa-basi

Jam tua di dinding berdetak konstan
seiring percakapan hari depan
dan hal-hal yang mesti diselesaikan
tanpa kesalahan hingga pertengkaran
yang tidak perlu.

Kalender meradang tanpa satu pun jadwal kencan
sepertinya tanggal merah mesti dibuat lebih banyak
menyaingi secangkir kejujuran tanpa pemanis buatan
kebohongan di antara padatnya pertemuan
atau skandal perselingkuhan

Di meja, kopi tersisa, ratusan puntung rokok,
tak akan pernah sama dengan tempat kita merebahkan diri
membangun mimpi dalam diskusi
yang diakhiri  aku mencintaimu berulang kali
hingga kita terlelap dan bangun esok pagi.

(Tamansari, 2017)

TITIMANGSA

aku mencintaimu sejak kemarin
yang lain dari semua hari sibuk

kepalaku jalan raya pukul dua
satu dua kendaraan melintas
meninggalkan kibas angin
pada ingatan yang melupa
seperti ucapan ‘halo apa kabar?’ di kotak pesan
setelah lama tak ada perjumpaan

aku mencintaimu hari ini
yang lain dari semua hari sepi

kau cangkir kopi di pukul tiga pagi
yang kuseduh tanpa gula, susu atau madu
sebelum puisi datang menjadijalan sunyi untuk mencintai
dan menggenapi pertanyaan
yang tak mesti kau jawab sama sekali
: besok, bolehkah aku mencintaimu lagi?

(Serang, 2016)

 

 

 

AKU ADA DI SANA

Maa ambaa thalita devi…

kau yang gelisah, tenanglah
takkan ada lagi suara gelegar di dada
kilat yang terbersit di gelap kornea, dan
senyum kecut dengan hujan deras di mata
sebab segala yang porakporanda
akan kembali ke tempat semula

kau yang lelah, rebahlah
setiap yang pergi akan kembali
sebagai dia yang kau cintai sepenuh hati
bila saat itu tiba, tetaplah mencintai
sebab, cinta suci tak perlu banyak basa basi
selain terus memperbaiki diri

kau yang pasrah, ikhlaslah
lesung telah bertalu memanggil para ibu
berdendang di bukit suci
gugur bunga kemboja di atas kepala
dan embun di pagi buta
menjadi tanda musnahnyakutuk purba
yang membuat kita merana
sebab pagi telah tiba
dan aku ada di sana

NamastasyaiNamastasyaiNamastasya Namo Namah

(Mandalawangi, 2017)

SAAT KAU BERTANYA

kau bertanya
kenapa aku menjadi semilir angin
hanya enyahkan keringat di dahimu

kau sungguh lucu
aku pernah menjadi badai di lautan
menjungkirbalikan kapal para nelayan
aku pernah menjadi puting beliung
yang menelikung segala di hadapan
tanpa peduli pada ribuan ratap kehilangan
dari ratusan kepergian

tapi karma selalu datang tepat waktu
untuk bangunkan kesadaran
makhluk di semesta
saat itu, udara seperti memusuhiku
dengan tujahan kutukan yang mencekik
dan mati seakan menjadi jalan terbaik

hingga aku bertemu denganmu
yang mengusap dan mengecup
pucuk kepala sepenuh perasaan
saat itulah, karma buruk bebalik pergi
diiringi janji untuk tetap mencintai
tanpa menyakiti siapapun lagi

maukah kau berjanji juga?

(Serang, 2017)
MENYATU

kau tahu apa itu menunggu?
matahari terbit di Timur
siut angin mencipta gemerisik dedaunan
kepak sayap burung dari dahan ke dahan di hutan larangan
kecipak air di sendang dekat pesanggrahan
semua itu terpadu di kuping

sementara kau masih tertidur jauh dari dekapan

kau tahu apa itu rindu?
udara menebar bau basah saat gerimis mericik
disusul hujan yang mengeruhkan kolam
tempat ikan-ikan berkencan dan padma bermekaran

sementara kau masih belum mengirim tatapan

kau tahu apa itu cemburu?
halilintar di mataku membabi buta ke segala penjuru
memenggal pohon kelapa,, menghanguskan ulat bulu
dan membakar rumput jelatang hingga ke akar

sementara kau terus memupuknya lagi

kau tahu apa itu cinta?
rumah tak berpintu dengan jendela besar
menghadap semesta. kuncinya ada di hati
dan tautan tangan serta doa-doa saat semadhi
kau dan aku menyatu dalam sunyi

(Serang, 2017)


Uthera Kalimaya, perempuan kelahiran Pandeglang, peminum kopi yang sudah jarang menulis cerpen dan puisi. Surel: uthera.kalimaya@gmail.com, Facebook, Instagram, Twitter: @NyimasK


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.


Berita Terkait :

Sajak-sajak Dedet Setiadi
Sajak-sajak Firda Rastia
Cerpen Ilyas Ibrahim Husain: Hikayat Cumlaude dan Ember Bocor

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button