Oleh Syahid Azzakky
biem.co – Jika Rumah Sakit Jiwa Greater Glasgo dan Clyde di Skotlandia menerapkan kegiatan memancing sebagai terapi kejiwaan bagi para pasiennya, Romli mungkin adalah satu dari sekian orang di dunia ini yang layak disebut sakit jiwa karena kegandrungannya pada kegiatan memancing, dan itu dirasakan betul oleh Coro, karibnya sejak sekolah dasar.
Memiliki sahabat yang fanatik pada kegiatan memancing dan kerap membawa ikan, umpan, joran dan spot-spot mancing terkini di tiap obrolannya dengan siapa pun, kapan pun, tentu bukan hal yang menyenangkan. Bagi beberapa orang, kehadiran manusia jenis ini sangat tidak diharapkan; bagi keharmonisan hubungan antar tetangga, dia sejenis benalu atau ekstrimis radikal yang saban waktu kerap melakukan upaya bunuh diri dari lingkungan sosialnya dengan mulut sebagai bomnya.
Sudah sejak SMP Coro mengenal betul kegandrungan Romli pada kegiatan memancing yang baginya, cuma aktifitas membuang waktu, membosankan dan tidak berfaedah. Kalaupun harus menemani Romli memancing, sekedar membunuh suntuk atau lebih sering dia niatkan untuk menghibur kawannya saja. Romli berhasil menangkap duyung sekalipun Coro akan tetap kalem.
Kecintaan Romli pada kegiatan memancing membuatnya lupa segalanya, dan itu membuat Coro prihatin, sebab sampai ke jeroan rumah tangga Romli, Coro hafal benar: kekacauan macam apa yang mampu dihasilkan oleh kegilaan seseorang pada hobinya.
Joran milik Romli bergoyang, benangnya bergerak ke sana-kemari. Ia tarik sekuat tenaga jorannya. Sudah 1 jam Romli dan Coro memancing dan awan teduh menaungi kegiatan keduanya. Seekor ikan mas montok dengan mulut yang melulu serupa corong minyak tanah menyambar umpan Romli. Sambil memasukan ikan mas montok itu ke dalam embernya, Romli memberitahu Coro kalau minggu depan Linda akan mengadakan resepsi pernikahan. Awan yang tadinya teduh, mendadak berubah mendung. Coro hisap kreteknya, mengepulkan asapnya sekaligus dalam sekali hentak.
“Lihat saja, sebelum malam pertamanya, kukebiri lelaki yang berani nikahi gacokan-ku itu!”
Romli menoleh cuek.
“Kalau ikan, Linda itu ibarat putri duyung,” ujar Romli sembari memasang umpan seekor cancing pada mata pancingnya.
“Linda nyata, bukan mitos!”
Mata pancing Coro tak kunjung berjodoh dengan ikan mana pun. Romli meneruskan, katanya, Linda mengundang teman-teman kerjanya termasuk Coro, untuk datang ke pesta pernikahannya. Pantas saja belakangan Coro kerap ditumbuk rasa rindu pada rutinitas yang dulu dia keluhi bahkan rutuki sesekali waktu—tentu itu bukan jenis rindu yang menyenangkan. Rindu yang bisa dibilang tidak tahu malu.
Di balik kerinduan yang putus urat malunya itu, Coro menyesal tidak bisa mendapatkan hati Linda, yang kecantikannya tersohor di seantero kantor dan kemolekan tubuhnya, bisa diadu dengan keseksian artis termontok di Indonesia sekalipun. Perempuan lainnya di kantor yang sebenarnya juga cantik, seakan redup pesonanya dikikis oleh nyalang pesona Linda.
Pembawaan Linda yang lemah lembut namun tetap berwibawa, membuat kecantikannya sangat alami. Saking dahsyatnya daya pikat Linda, percayalah, satu kedipan matanya saja sanggup membuat siapa pun berfantasi sepanjang malam hingga subuh menjelang. Romli pernah membuktikan itu, dan dia pun dibuat lupa bahwa dirinya adalah sejenis manusia kelewat mekanis dengan jadwal harian yang dari dulu begitu-begitu saja isinya.
Coro dan Romli sama-sama memiliki keyakinan kalau Linda menaruh rasa pada masing-masing mereka. Persaingan pun tidak bisa dihindarkan; keduanya pernah saling sikut dan adu jotos demi merebutkan hati Linda. Sekali waktu keduanya pernah saling mendiamkan, saling senyap. Namun persaingan keduanya jadi hambar saat Yudha masuk dan menjabat manajer di tempat kerja mereka. Dengan posisi itu, sudah barangtentu perempuan mana pun akan mudah digaetnya, dan kehadiran Yudha membuat Coro juga Romli merasa —meminjam ungkapan Killgore Trout— tidak lebih dari sesuatu yang diaduk-aduk kucing.
***
“Jadi si culun itu calon lakinya? Cih! Mau-maunya Linda dinikahi kunyuk culun macam begitu!”
“Jadi datang ke sana?”
“Tentu!” Kepulan asap rokok berbentuk O lesat dari mulut Coro.
“Kalau aja si culun itu nggak pernah ada di kantor kita, mungkin Linda mau aku jadikan istri kedua.”
“Ah, jangan ngimpi!”
“Yang pertama kali sukses ajak jalan Linda, siapa?!” Romli agak berbisik. “Oya, kau belum bayar utang taruhan kita waktu itu. Mana? Seratus ribu!”
“Ah, iya. Nantilah, jangan sekarang. Bisalah kau takar isi dompet pengangguran macam kita ini.”
Suara Coro selalu meninggi dan posisi duduknya jadi tegak ketika membicarakan Yudha yang kerap membawa Linda pergi ke mana-mana dengan dalih urusan kerja. Yudha pula alasan satu-satunya Coro mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Dia tidak tahan melihat perempuan pujaannya itu dijadikan asisten pribadi Yudha.
“Aku menelepon Linda semalam dan minta maaf kalau nanti berhalangan hadir.” Romli mengembuskan asap rokoknya. Duduk meyangkung dan bertelanjang dada, membuat perutnya kian terlihat bergelambir layaknya sapi brahman.
“Lalu aku ke sana dengan siapa?”
“Ajak saja abangmu, atau anak gadis abangmu yang jelita itu. Minggu depan aku mau mancing. Tempat baru, lumayan, tangkapannya besar. Dan momennya lagi pas. Cuma di musim hujan ikan itu mudah didapat.”
“Ikan apa?”
“Lihat saja, kau pasti kaget. Ikan langka, besar pula. Lebih menggiurkan dari putri duyung.”
“Siapa mau lihat!?”
Hp Coro berdering. Sebuah panggilan masuk. Coro memelankan suaranya, lebih terdengar seperti berbisik. Romli menenggak kopinya yang sudah dingin sampai tandas sambil pendengarannya dipasang betul-betul awas.
***
“Kamu undang Kuncoro?” bisik lelaki yang berdiri di pelaminan, bersebalahan dengan pasangannya.
“Aku tidak undang dia. Mungkin dia baca undangan yang aku sebar di facebook.”
“Untung dia cuma sendiri, tidak dengan si Romli yang doyan berulah itu.” Dari suaranya lelaki itu tampak lega.
“Ya, sukurlah.”
Sambil menyuap makanan di tengah keramaian lalu lalang tamu undangan, tatapan Coro fokus ke arah pelaminan, seolah polisi yang sedang mengintai kegiatan ilegal. Seorang teman Coro, yang tidak kenal sama sekali pada Linda maupun Yudha, tengah mengantri hendak ikut bersalaman. Coro menyunggingkan senyum.
Aaaaakkk!
Linda histeris, wajahnya tersiram cocktail.
“Ma… maaf, maaf, mbak.” Teman Coro itu pura-pura tersandung, dia segera menyingkir dari pelaminan. Yudha memerah wajahnya, menahan muntahan geram. Sambil memelintir kumisnya, Coro tersenyum menang.
“Aku ke toilet, sayang.” Linda tampak malu dan gegas berlari kecil menuju toilet. Coro mendelik, segera dia rogoh kantung batik, mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.
Sekarang!
Seorang perempuan berambut ikal tergerai dan membawa kotak besar, menubruk Coro. Ponsel Coro jatuh, Coro mengendus aroma parfum yang tertinggal dari tubuh perempuan tadi, harum yang semerbak. Nyengat.
Linda berjalan tampak kerepotan dengan gaunnya. Dari arah berlawanan seorang lelaki mengenakan masker dan kacamata hitam dengan santai mendorong food trolley cukup besar diselimuti kain putih. Saat memasuki toilet wanita, seseorang membekap Linda dengan tissue basah. Linda ambruk. Lelaki tadi mengangkat tubuh Linda keluar dari toilet wanita. Lelaki dengan food trolley satunya mematung tepat di depan toilet. Dia tampak awas.
Coro tengah menghubungi seseorang.
Tidak ada jawaban.
Coro gelisah. Yudha sedang berbincang-bincang dengan beberapa koleganya. Coro berlari ke arah kamar mandi, dari arah yang dituju dua orang lelaki tengah tergesa-gesa mendorong food trolley.
Beberapa perempuan mengerumuni tubuh lelaki yang terkulai di toilet wanita. Seorang security mengangkatnya keluar. Pandangan Coro tertumbuk.
“Sial! Ulah siapa ini?” Coro panik. Dia gegas berlari ke luar gedung. Tepat di depan pintu keluar gedung, dua lelaki tadi membentangkan kain putih lebar yang tadinya menutupi tubuh food trolley. Coro mematung bingung; seperti ada sesuatu yang tersendat-sendat dalam kepalanya; seperti ada tembok tinggi yang merintangi ingatannya mewujud sebuah informasi yang utuh. Coro segera merasakan kejanggalan saat secara tidak sengaja matanya menangkap pemandangan aneh di post security gedung. Tak ada sesiapa pun! Dengan cekatan Coro alihkan lagi pandangannya ke mobil hitam yang berjarak 10 meter darinya.
Sepersekian detik yang sesak.
Coro melihat tubuh Linda yang lunglai tersandar pada bangku mobil tersebut sebelum pintu mobil ditutup dengan keras. Langit mendung, hujan menderas turun. Mobil hitam itu sudah melaju. Kaki Coro tertahan, tak bisa digerakkan, seperti ditindih sesuatu saat tidur dan dalam keadaan setengah sadar, siapa pun akan dibuat tak berdaya sama sekali untuk menggerakan tubuh. Orang-orang menyebutnya “dikencingi setan”. Hanya setan bernyali besar yang berani mengencingi seseorang dalam keadaan sepenuhnya sadar, bahkan ketika gelombang otak tengah berada dalam kondisi gamma.
Coro tidak sempat mengejar, nafasnya tersengal-sengal. Dia berbalik badan, memandang ke arah pelaminan. Terlihat dari kaca gedung, Yudha tampak gelisah saat mengobrol dengan security gedung tersebut. Persetan deras hujan, Coro segera berlari mencari pangkalan ojeg terdekat. Namun saat sampai di sisi jalan raya….
Dwaaaarrr…
Tubuh Coro terhentak seketika. Asap tebal pekat segera menghambur; mobil yang terparkir di sekitar gedung ringsek, menghambur ke segala arah; teriakan histeris orang-orang mulai terdengar. Coro menyeka matanya. Dentum ledakan itu membuat dengung panjang di kedua telinganya. Puing-puing gedung menyerak ke segala arah. Teriakan, takbir dan istigfar terdengar di mana-mana. Sirene mobil polisi mulai terdengar. Tubuhnya basah kuyup, hujan mulai reda. Di kejauhan tampak seorang lelaki membuka payungnya, masuk ke dalam mobil hitam. Mata Coro terbelalak.
“Bangsat!”[]
Syahid Azzakky, lahir dan besar di Jakarta, Alumnus Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan-19. Menulis cerpen, puisi, esai, artikel dan skenario. Belakangan tengah menggeluti dunia kepenulisan skenario, khususnya kejar tayang. Sempat ikut menulis skenario untuk program drama komedi Kabayan Sekolah Lagi di Rcti (2016), sitkom Epen Cupen The Series di Global Tv (2016) dan Serial anak Buyung Upik di Rcti (2017), dan beberapa judul Ftv di Kisah Nyata Trans 7 juga Sctv. Pernah menulis skenario untuk film dokumentar Kabupaten Siak dari Dinas Pariwisata Riau. Pernah menjadi content writer untuk www.playword.com. Puisinya banyak tergabung dalam beberapa buku antologi puisi, terakhir puisinya tergabung dalam Antologi Lentera Sastra II penyair 5 Negara (Mutiara Publishing, 2014). Novel keroyokannya yang bertajuk Sebanyak Rintik Hujan Kala Ini diterbitkan oleh Rumah Fiksi Jogja (2016). Juara 1 lomba menulis Kategori Esai dalam lomba bertema Indonesia Dalam Kritik Sosial yang diadakan oleh majalah RumahDunia.com (2014). Juara 1 lomba menulis kategori cerpen yang diadakan oleh Beetalk Indonesia dalam rangka menyambut Hari Aksara Dunia (2015). Kini berprofesi sebagai trader komoditi dan menetap di Bogor. Sesekali masih menulis skenario dan menulis apa saja yang enak ditulis.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.