CerpenInspirasi

Cerpen Ilyas Ibrahim Husain: Hikayat Cumlaude dan Ember Bocor

biem.co — “Memangnya dengan menulis cerita pendek kamu bisa mendapatkan uang?!”

Begitulah pertanyaan sekaligus makian yang sering didapati Luthfi, tatkala berjibaku dengan laptop merek Usus. Ia hanya anteng-anteng saja mendengarkan perkataan ibunya. Sedangkan Ekawati—ibunya, cuma geleng-geleng kepala memandangi anaknya yang kembali asyik berjibaku dengan laptopnya.

“Ibu tidak habis pikir loh? Bagaimana bisa seorang sarjana ber-IPK 3.91, lulus dengan predikat cumlaude, cerdas secara akademik tetapi tidak bisa membuat asap dapur rumah mengepul?!” Ekawati melontarkan sebuah pertanyaan yang bernada menyinggung kepada anaknya yang dulu dibangga-banggakan.

Adapun Luthfi hanya tersenyum nyinyir mendapati ibunya mengungkit-ngungkit permasalahannya yang masih menganggur bersanding dengan ironi menjadi lulusan terbaik.

***

Masih terngiang dibenak Luthfi tatkala sebulan sebelum diwisudah, ia mendapati ibunya dan ibu-ibu komplek sedang asyik bergosip ria di rumah Ibu Lurah.

“Wah anak Ibu hebat yah!” Puji Ibu Lurah.

Ekawati hanya tersenyum simpul penuh kesombongan kemudian berseloroh dengan nada yang begitu lebay.  “Anak saya gituloh, Bu! Sejak semeter awal sampai akhir, selalu IPK nya tinggi. Di transkip nilainya ituloh, wuiiihhh!!! Semuanya A. Kecuali Pendidikan Agamanya, dapat B dia.”

Kurang lebih begitulah isi percakapan antara Ekawati dengan teman segengnya, ibu-ibu komplek perumahan. Luthfi hanya mendapati ibunya tak jemu-jemu membanggakannya.

Tidak hanya itu, menurut rumor yang dibawa semilir angin, Ekawati selalu mengumbarkan prestasi Luthfi di setiap ada kesempatan, baik itu ketika hajatan Pak Lurah, pesta pernikahan anak kepala dusun, hingga arisan ibu-ibu komplek. Bahkan lebih parahnya lagi pernah satu ketika Ekawati menumpangi becak hendak ke pasar, tanpa babibu ia menceritakan prestasi anaknya yang dibangga-banggakan kepada pengayuh becak. Pengayuh becak hanya mangut-mangut.

Terkadang Luthfi dibuat pusing atas tindak-tanduk dan mulut ember bocor ibunya. Tapi apatalah daya, Luthfi hanyalah mahasiswa anak-mami yang tidak berani mbalelo. Bagi Luthfi, mengejar prestasi dengan indikator IPK tinggi adalah yang paling utama, tapi tetap dengan koridor yang benar. Luthfi berpikir demikian karena pemahaman yang ditanamkan ibunya bahwa indikator kesuksesan ditentukan dengan IPK yang tinggi dan masa studi yang cepat. Karena hal itulah Luthfi dikenal sebagai mahasiswa yang rajin belajar, kutu buku, dan berkepribadian introvert.

Pernah satu waktu, ketika Luthfi sedang asyik membaca buku: cara praktis meraih IPK 4.00. Salah satu aktivis mahasiswa mendekatinya dan menawarkan untuk bergabung dalam lembaga kemahasiswaan yang dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ. Tetapi Luthfi menolak, alasannya sederhana: baginya lembaga kampus hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku.

Bro, saya lihat kamu punya potensi, kamu mau gabung di HMJ?”

“Tidak! Untuk apa gabung di HMJ?! Bikin buang-buang waktuku saja.” Begitulah perkataan Luthfi ketika diajak beberapa kali oleh senior-seniornya atau kawan seangkatannya untuk berorganisasi.

Setiap kali mendapati jawaban itu, terkadang kawan dan seniornya dongkol, tapi sebagai makhluk yang menamakan dirinya Intelektual-Muda, perasaan dongkol itu disikapi dengan bijak, dengan cara mengatakan.

“Dasar! Mahasiswa Kupu-Kupu!”

***

Kini, setelah setahun lulus dan menjadi seorang sarjana, Luthfi hanya banyak diam di rumah, lebih sering membuat cerita-cerita pendek. Maklum ia bingung pada dirinya sendiri? Habis kuliah mau ke mana? Ngapain? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat di kepalanya.

Terkadang Luthfi iri kepada orang-orang yang dulu dianggap hanya membuang waktu, seperti senior atau kawannya yang pernah tergabung di organisasi kampus. Rata-rata dari mereka kini telah menjadi orang mentereng, ada yang menjadi Anggota DPRD, Ketua Partai, Camati, dsb

Namun yang membuat perasaan Luthfi semakin iri dan dengki sedengki-dengkinya tatkala mendengar kabar tentang teman seangkatannya yang lulus dengan tertatih-tatih, kuliah tujuh tahun dan sering berdemonstrasi, sekarang telah menajadi staff bupati. Ia masih mengingat percakapan di telepon itu.

“Halo, Luthfi. Bagaimana kabarmu?” 

“Yah, beginilah masih menganggur.”

“Wah luar biasa yah, masa lulusan terbaik menganggur samapi sekarang?”

“Yah, saya juga tak tahu, mungkin inilah rencana Tuhan.”

“Begitu yah…, saya juga terkadang bingung loh, IPK-ku kan cuma pas-pasan, tapi lolos seleksi untuk menjadi staff bupati, ironisnya lagi, tempat kerjaku adalah tempat yang sering kudemo saat menjadi mahasiswa.” Kawannya Luthfi hanya terkekeh mengingat betapa rahasia Tuhan begitu mencengangkan.

“Yah, mungkin belum nasib. Oke deh selamat berkerja.”  Luthfi kemudian memutuskan sambungan telepon.

***

Luthfi kembali memandangi laptopnya, sedangkan Ekawati hanya mendesah pelan dan berlalu meninggalkannya. Adapun Luthfi masih asyik menulis walaupun pada praktiknya Luthfi sedang tidak menulis melainkan mengetik naskah cerita pendek, apapun ditulis, yang penting waktu produktif. Jemari tangannya menari-nari di atas tuts-tuts, menimbulkan bunyi; cekrak-cekrak, trik-trak , tuk-tuk-tuk-tuk. Sebuah suara yang sangat disukai Ibunya. Tapi itu dulu, ketika Luthfi masih berstatus mahasiswa dengan label mahasiwa teladan. Tapi sekarang? Wuiiihhh Ibunya selalu marah-marah tanpa alasan ketika mendengarkan suara-suara itu.

“Dasar! Anak yang tidak bisa dibanggakan, bikin malu Ibu saja!” Hadrik Ekawati kemudian berlalu meninggalkan anaknya yang hanya menatap lurus ke layar laptop, berpura-pura mengacuhkan ibunya, dan mengetik hingga malam hingga tubuh meminta untuk beristirahat.

***

Ketika fajar kembali menyapa Ekawati, ia kemudian menuju kamar Luthfi yang masih tidur terlelap. Ekawati kemudian membangunkan anak yang sangat disayanginya dengan guyuran air dari timba. Luthfi terjaga, mendapati dirinya basah kuyup. Belum tuntas rasa dinginnya Luthfi kemudian mendapat hadrikan dari ibunya.

“Hei… Luthfi! Sampai kapan kamu menganggur. Cari kerja sana, kamu lihat anak tetangga sudah jadi PNS, lah kamunya kapan? Lulusan terbaik kok menganggur.”

Luthfi hanya tertunduk lesu, entah apa gerangan yang merasuki ibunya sehingga berbuat demikian, membangunkan anaknya dengan cara guyuran air dari timba, entah sudah berapa kali Luthfi merasakan dinginnya guyuran air.

Tatkala matahari mulai berada di ufuk barat. Ekawati bersama ibu-ibu komplek lagi asyik kongkow-kongkow di rumah Ibu Lurah. Ekawati hanya duduk sembari mendengar celotehan pedas yang terlontar dari kawan-kawannya.

“Gimana kabarnya anak Ibu? Lulusan terbaik itu? udah dapat kerja belum?”

Ekawati hanya terdiam mendapati Ibu Lurah melontarkan kalimat tanya yang begitu pedas dan menusuki telinga.

“Wah! Luar biasa yah, anak Ibu lulusan terbaik, tapi pengangguran. Anak saya saja yang IPK nya cuma 3.01 lolos jadi PNS, jadi staff bupati lagi.” Sahut Ibu RT, perkataannya seperti seseorang yang menuangkan karosine ke atas bara api.

Ekawati hanya tertunduk malu, anak yang dibangga-banggakan melalui mulut ember bocornya kini tak ubahnya anak yang tak berguna, kerjanya cuma nulis-nulis di laptop, tidak jelas!

***

Masih terlalu pagi bagi Luthfi untuk terjaga, tidak seperti biasanya, ia bangun duluan tinimbang ibunya. Savonette di jemarinya telah menunjukkan pukul 04.00. “Mudah-mudahan belum terlambat,” sahutnya pada diri sendiri, ia mengendap-negndap keluar dari rumah, membawa ransel dan tas laptop yang bertuliskan Usus, made in resistor. Di depan pagar rumahya telah terparkir mobil sedan, seorang perempuan tinggi dengan kaca mata hitam serta blazer dan rok hitam setinggi lutut telah menunggunya.

“Tuan sudah siap?” tanya peremupan itu, Luthfi mengangguk mantap. Kemudian langsung memasuki mobil sedan tersebut lalu meluncur, entah kemana perginya. Luthfi mungkin sudah lelah dan kabur dari rumah.

Ketika matahari telah terbit, Ekawati berjalan sembari membawa gayung air di tangannya yang siap diguyurkan kepada anaknya. Tatkala pintu kamar dibuka, Ekawati kecele, karena Luthfi tak ada, dicarinya di setiap sudut rumah tak ditemukannya. Smartphone-nya juga tergelatak manis di atas meja belajarnya, Ekawati kebingungan ia mendengus kesal seraya berucap pada dirinya sendiri.

“Kemana gerangan anak itu?

***

Sudah seminggu kabar menghilangnya Luthfi menjadi bahan gosip di kalangan ibu-ibu kompleks. Ekawati hanya mendapati dirinya menjadi bahan perundungan oleh kawan-kawannya.

“Memang anak Ibu kabur kemana?” tanya Ibu Lurah dengan nada satir.

Kembali Ekawati lebih memilih diam, tidak menggubris perkataan Ibu Lurah.

“Wah kok bisa yah, anak Ibu yang lulusan terbaik itu kabur dari rumah?” sahut Ibu RT menimpali perkataan Ibu Lurah, kembali Ekawati memilih diam.

“Mungkin malu kali sama warga komplek, seorang lulusan terbaik di komplek ini menjadi pengangguran, tidak produktif. Jangan-jangan nilainya pakai sogok-sogokan.” Sahut Ibu Dusun. Ekawati hanya tertunduk malu, ia tak habis pikir apa yang harus dilakukan.

Di tempat yang tak jauh dari rumah Ibu Lurah, di pos ronda belakang rumah, Pak Lurah sedang asyik membaca Koran Kempes yang menampilkan satu berita yang menjadi headline.

Diperhatikannya tulisan besar di halaman utama koran.

LUTHFI PEMUDA YANG MENGATAKAN DIRINYA PENGANGGURAN MENJADI PEMENANG CERPEN PILIHAN KORAN KEMPES 2013.

Pak Lurah hanya tersenyum simpul, kini ia tahu bahwa Luthfi tidak menghilang atau kabur, melainkan pergi secara diam-diam. tetapi Pak Lurah tidak lantas memberitahukan berita menggembirakan ini kepada Ekawati, ibunya Luthfi. Pak Lurah hanya berucap pada dirinya sendiri.

“Kalau berita ini dibaca oleh ibunya Luthfi! Pasti mulut ember bocornya semakin bocor sebocor-bocornya.”

Tompobalang, 22 Agustus 21 September 2016


Ilyas Ibrahim Husain, adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni Pendidikan Sejarah UNM ini lahir di Sungguminasa, Kabupaten Gowa pada 06 April 1993. Pegiat literasi di Paradigma Institute, Ruang Abstrak Literasi, dan Guru Tidak Tetap di SMAN 1 Sungguminasa (Gowa). Sementara melanjutkan studinya di Program Pascasarjana UNM.


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button