biem.co — Sepulang dari dermaga Karangantu seminggu lalu, dermaga di ujung kota Banten itu, istriku menjadi pendiam. Tidak banyak bicara padaku, dan tidak juga mempersiapkan keperluanku. Kerjaannya hanya memandangi toples-toples kosong yang baru saja dikeluarkan dari gudang. Sebelumnya aku tidak pernah tahu istriku mengoleksi toples-toples bening berbahan kaca sebanyak itu di gudang.
Ada sembilan puluh sembilan toples dengan kertas label yang berbeda-beda. Di sana tertera tanggal juga nama-nama yang sering kutemukan di buku-buku koleksinya. Seperti sepotong senja, langit biru, hujan sore itu, lampu-lampu malam dan masih banyak lagi. Istriku meletakkan toples-toples bening itu di ruang kerjanya. Di atas meja yang berukuran empat meter.
“Apa yang kamu kerjakan dengan toples-toples itu sayang?”
“Tolong jangan ganggu aku,” jawaban yang cukup menohok ulu hatiku. Tidak seperti biasanya, ia tidak membalikan badan ketika berbicara padaku.
“Tapi sudah satu minggu kamu tidak beranjak dari toples-toples itu?”
“Aku tidak butuh apapun saat ini, kebahagiaanku hanya ada pada toples-toples ini. Pergilah. Tutuplah pintunya rapat-rapat!”
Semakin istriku melarangku untuk mendekatinya, semakin aku didera rasa penasaran. Apa istriku sudah gila? Aku mendekat, menyentuh bahunya. Mengelus rambutnya yang terasa sangat lengket. Sudah satu minggu istriku tidak mencuci rambutnya.
“Kamu baik-baik saja, kan, sayang?”
Istriku tidak menjawab. Ia sibuk dengan toples-toples bening itu. Membersihkannya berkali-kali, membuka satu persatu toples lalu tersenyum. Kadang istriku memeluk toples itu dengan penuh kasih sayang. Seperti memeluk anak kami setiap kali pulang dari Dubai. Kerinduan yang dipendam lalu tertumpahkan ketika melihat pemuda kecil lima belas tahun di depan pintu mengucap salam. Sudah tiga tahun anak lelaki kami satu-satunya mendapat beasiswa di Dubai.
Aku masih berdiri bersandar pada dinding dekat jendela. Kubuka daun jendela agar udara masuk ke ruang kerja istriku dan cahaya menerangi ruangan yang hanya berukuran lima kali lima meter. Sudah dua puluh lima tahun sejak aku menikahinya, istriku meminta syarat untuk membuatkan ruangan khusus untuk bekerja.
Ruangan kerja yang sudah akrab dengan istriku ini dipenuhi buku-buku di setiap dindingnya. Aku tidak mengerti mengapa istriku menyebut ruangan kecil sempit ini ruangan kerja. Aku sendiri lebih suka menyebutnya perpustakaan mini. Ratusan buku menyesaki setiap sudutnya. Satu-satunya penerang hanya jendela yang menghadap ke beranda rumah.
Dari ruang kerja ini, aku tidak pernah mendengar istriku mendapat uang dari hasil kerjanya. Padahal waktunya telah habis diruangan ini. Entah pagi, siang, juga malam. Sehabis mengecup keningku dan membisikan kalimat “Selamat tidur sayang, aku mencintaimu” istriku pergi ke ruangan kerjanya. Menyalakan musik jazz, membuka laptop, menyeduh kopi kemudian jari-jarinya sibuk menari di atas keyboard.
Ia akan tertidur dengan posisi duduk dan berbantal tangan. Aku akan menggendongnya dan memindahkan ke tempat tidur. Menarikan selimut. Tapi istriku pasti terbangun dan berkata: “Terimakasih sayang, aku sengaja tertidur di ruang kerja agar kamu memindahkan aku ke tempat tidur.”
Aku memeluknya, seakan setiap detik dari nyawaku hanya untuk menjaganya.
“Kamu mengerjakan apa sebenarnya?”
“Aku sedang menulis sebuah kisah.”
“Tapi sudah dua puluh lima tahun, kisah itu tidak pernah selesai. Tidak pernah selesai kamu tulis. Sudah berapa halaman? Pasti tebal sekali jika terbit menjadi buku.”
Istriku tidak menjawab. Aku tahu perempuan yang kucintai ini pasti sudah tertidur. Kebiasaan yang sudah sepuluh tahun itu tidak lagi aku rasakan di minggu- minggu ini. Aku merasa cemas dengan keadaan istriku. Aku berlalu ke dapur, membuatkan roti bakar dan segelas susu hangat.
“Aku kerja dulu, jika ada apa-apa telpon aku,” kukecup lagi keningnya.
***
Sore ini, sepulang kerja. Aku menemukan istriku tergolek di lantai. Rambutnya yang terurai panjang menutupi hampir semua wajahnya.
Aku didera cemas. Segera kusingkap rambut yang menutupi wajah itu. Busa serupa bubuk soda yang di siram air es menyembur dari bibir istriku yang mulai biru memucat. Matanya mendelik menatapku. Tapi tatap mata itu, mata penuh isyarat, ada pesan yang ingin disampaikan. Segera aku mengangkat tubuh istriku, dan memanggil Mang Karmin, sopir pribadiku.
Dengan cepat pula Mang Karmin datang dan hendak membantuku mengangkat tubuh istriku.
“Mang, tolong Ibu, buka gerbang kita ke Rumah Sakit sekarang,”
Tiba-tiba istriku menahan dengan jemarinya yang mencengkram kuat pundakku.
“Jangan, aku tak apa-apa.”
Istriku duduk dengan sendirinya, mengusap busa-busa di bibirnya dan merapikan rambutnya yang awut-awutan.
Sejenak aku dan Mang Karmin saling tatap. “Tapi kamu keracunan…”
Istriku menggeleng lemah. “Rupanya, coklat itu tidak membuat aku mati.” Ia menunjuk sepotong coklat yang sudah berjamur.
“Kamu gila! Kamu ingin bunuh diri?”
Aku mengambil kertas pembungkus coklat yang tergeletak di lantai. 07 Novemver 1989, coklat dari negara sebarang ini sudah sangat expired. Darimana istriku mendapatkan coklat ini? Sementara Mang Karmin yang menyaksikan adegan ini izin pamit untuk memberi ruang antara aku dan istriku saja.
Gegas saja aku ambilkan minum dan meminta istriku untuk meminum air sebanyak-banyaknya.
Kini ia sedang duduk di sofa di kamar kami. Rambutnya sudah aku ikat ke belakang. Bajunya sudah aku ganti. Wajahnya sudah aku bersihkan, dan segelas kopi hangat dalam cangkir yang ia genggam diantara dua jemarinya telah mengembalikan ia seperti sediakala. Sementara di luar hujan turun deras meningkahi genting rumah dan mematuk-matuk jendela kamar.
“Aku ingin memecahkan toples-toples itu,” gumamnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar karena suara hujan menelannya. Aku mendekatkan diri kepadanya, memeluknya dari belakang.
“Apa sebenarnya yang terjadi padamu Sayang? Aku tidak pernah tahu kamu memiliki toples-toples kosong sebanyak itu. Hai, sejak kapan kamu mengoleksi banyak toples?” aku selalu menjaga emosiku, aku selalu manahan kemarahanku. Entah hanya kepada perempuan ini, aku bisa menjadi lelaki yang sangat lembut sekali. Tak akan pernah kubiarkan sepatah kalimat pun yang terucap dari bibirku melukai hatinya.
“Sejak aku jatuh cinta kepadanya…” jawabanya sangat lirih dan menohok lagi ulu hatiku. Seketika kulepas pelukanku dan menepi di sisi sofa. Mendadak kurasakan hawa sepanas api tiba-tiba membakar seluruh hatiku, panas. Sangat panas.
“Kekasihmu yang meninggalkan kamu ke Singapura itu?” aku tak berani lagi menatap mata perempuan yang demi mendapatkannya aku rela melakukan apa saja.
“Dia tak pernah pergi. Dia selalu ada di hatiku.”
Aku benar-benar marah sekarang, cemburu membakar sudah semua yang ada pada diriku.
“Bagaimana kamu bisa hidup denganku tapi masih hidup dalam bayang-bayang lelaki lain?”
“Aku mencintaimu, tapi aku tak pernah bisa melupakan dia, maafkan aku. Sepuluh tahun sudah aku mencurahkan seluruh isi hatiku pada ruangan kecil itu, pada buku-buku, pada kisah yang sampai detik ini aku tak menemukan endingnya. Hingga sore itu, aku menemukan dia di dermaga Karangantu.”
Istriku terdiam sebentar, masih menggengam erat gelas teh. Sementara kedua bola matanya menatap lurus ke arah jendela yang masih telanjang. Sengaja kubiarkan lampu—lampu malam di luar sana yang di guyur hujan terlihat.
Aku masih sabar menunggu cerita selanjutnya, meski hatiku serupa guntur yang menggelegar.
“Kami bertemu tidak disengaja, seperti dua orang asing yang baru berkenalan.” Ceritanya mengalir lagi. Aku masih sabar mendengarkan.
“Karin!”
“Hai, Andu Raditiya. Sejak kapan kamu pulang ke Indonesia?”
“Sungguh ini sulitku percaya, aku mencarimu kemana-mana dan aku menemukan di sini.”
Kami berdiri berhadapan.
Aku melihatnya lebih dewasa, lebih tua tepatnya. Kulitnya yang coklat tampak terlihat lebih coklat, kumis tipis tumbuh di atas bibirnya yang semakin menghitam. Barangkali rokok telah membuat warna bibirnya menjadi demikian gelap. Tinggi badannya selalu tegap dan terlihat lebih berisi. Tapi ada yang hilang dari diriku ketika berhadapan dengannya.
“Kamu, apa kabar?” pertannyaan basa-basi itu terucap begitu saja.
“Kamu sudah menikah?” pertanyaan yang langsung kepada inti. Aku tahu dia bukan lagi pemuda seperti dua puluh lima tahun lalu. Tapi pertanyaan itu pun terlalu aneh untukku jawab
“Mana mungkin aku menunggumu duapuluh lima tahun, kamu mau aku jadi perawan tua?”
“Tapi aku belum menikah.”
Aku tersentak kaget mendengar pernyataan yang meluncur dari bibirnya. Lalu dia menceritakan semua rasanya, pencariannya dan ini gila jika harus kuceritakan padamu. Dia memintaku kembali padanya.
“Ada satu hal yang sangat kusesali selama sepuluh tahun ini, kamu tahu apa yang?”
Istriku meletakkan gelas teh ke atas meja. Ia menatapku, jemarinya membelai pipiku.
“Aku keliru. Telah kuhabiskan sepuluh tahun untuk memikirkannya, telah kukumpulkan semua kenangan cintaku dengannya kedalamtoples-toples itu, ternyata aku keliru.”
“Maksudmu?”
“Dia hanya sebatas masa lalu dan aku tak lagi menemukan debar itu. Sekarang mari kita hancurkan toples-toples itu, semua sudah tak berarti lagi bagiku.”
Kemudian aku menyaksikan istriku memecahkan satu-persatu toples-toples kosong itu kedalam sebuah tong besar. Tong tempat sampah. Setelah meminta mang Karmin membawa toples-toples itu keluar rumah.
Toples-toples itu pecah satu persatu. Ia melemparkan toples-toples itu dengan kasar, kadang menjerit dan berkata-kata kasar. Sembilan puluh sembilan toples pecah dan lebur. Lalu tanpa kuduga, istriku melemparkan laptop yang sudah sepuluh tahun menemaninya menulis. Ia menyiramkan minyak tanah dan membakarnya.
“Musnahlah semuanya.”
Tanpa kuduga sebelumnya, tanpa kupikirkan akan terjadi. Istriku menlocat kedalam tong sampah dan membiarkan api melahapnya.
Genap sudah seratus toples-toples kenangan.
Nessa Dinata, Karyawati Telkom Akses ini menyukai dunia literasi sejak duduk di bangku SMA. Saat ini bagi penulis, menulis adalah cara membebaskan diri dari rutinitas. Penulis dapat dihubungi di media sosial instagramnya @Ness_dinata
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.