biem.co — Kisah lima tahun lalu masih membekas di kepala saya, konsistensi untuk menceritakan apa yang ingin beliau sampaikan kepada setiap penumpang yang naik ke dalam taxinya membuat cerita ini sempat beredar baik dari mulut ke mulut maupun menjadi bahan gunjingan di dunia maya. Kisah tentang sejarah panjang masuknya ayam negeri dan bahaya yang ikut mengintai anak-anak bangsa membuat saya tidak memiliki ruang untuk sekadar tertidur seperti biasanya, mata dan telinga saya terus menyimak dimensi lain yang dituturkan sang supir taxi.
Selasa 28 Agustus 2012 jam 09.53, saya masuk ke dalam taxi, nafas saya masih tersenggal setelah menyelesaikan 68 transaksi di BCA SCBD, Jakarta. Selain mengganti tanggal satu per satu secara manual, 46 slip di antaranya terpaksa saya revisi nomor ceknya. Belum lagi jurus-jurus negoisasi harus saya keluarkan secara maksimal agar beberapa transaksi yang dianggap belum memenuhi syarat bisa tetap dijalankan hari itu juga. Itulah kehidupan, terkadang apa yang sudah kita rencanakan dan kita persiapkan dengan baik, masih bisa meleset hasilnya oleh karena faktor-faktor yang tidak terduga sebelumnya.
“Ada masalah ya dengan nafas, Bapak?”. Suara berat milik supir taxi itu mengejutkan saya, tatapannya yang tajam membuat saya menahan nafas sejenak, sinusitis yang saya derita ini memang tipe setia dan tidak mudah disembuhkan, mulai dari Dokter Spesialis, Dokter TCM hingga berbagai terapi sudah saya coba, tapi tetap saja sinusitis saya mengundang pertanyaan orang-orang yang berada di sekeliling saya. Belum sempat saya menjawab, supir taxi itu kembali bertanya, “sudah berapa lama pakai kacamata?”. Saya tersenyum dan menjawab, “memangnya kenapa pak?”. Langsung saja supir taxi itu memvonis, “itu karena Bapak kebanyakan makan mie, telor dan ayam negeri.” Hmm.. untung saja kepalanya plontos, kalau tidak sudah saya cukur habis-habisan rambutnya dari kursi belakang.
“Tolong antar saya ke BNI Senayan pak,” pinta saya kepada supir taxi itu. Jempol saya mulai iseng diatas screen hp, geser sana geser sini mencari artikel menarik di berbagai situs berita, dan supir taxi itu ternyata masih melanjutkan pidatonya mengkritisi saya yang seharusnya tidak perlu menggunakan kaca mata, “Orang zaman dulu belajar pakai lampu minyak pak, apinya kecil sekali, kalo belajar matanya sampai kepedesan karena dipaksa membaca di tempat yang kurang terang, tetapi mata mereka tetap sehat dan tidak pakai kacamata,” jelasnya. Senyum saya mulai kecut dan mencoba menahan diri untuk tidak melempar handphone yang saya pegang ke kepalanya yang plontos itu.
Baca juga: Catatan Irvan Hq: Gemblong Bakar
Saya berusaha menenangkan diri dengan membuka akun facebook (fb), biasanya dari sekian banyak status, ada saja yang statusnya inspiratif, dan saya sudah berniat akan mencaci maki supir taxi ini lewat status fb. Namun tiba-tiba saja niat saya terhenti ketika mendengar supir taxi ini bercerita tentang sejarah masuknya ayam negeri di Indonesia pada 1971, dan sejak itu banyak orang Indonesia yang mulai menunjukkan kebodohannya. Saya mulai menyimak apa yang dibicarakan supir taxi ini, selain banyak keterkaitan antara ayam negeri dengan salah satu produk yang dihasilkan oleh perusahaan tempat saya bekerja, mengetahui sejarah ayam negeri juga dapat menjadi pelajaran dan wawasan baru buat saya, bahkan kalau kita bersungguh-sungguh memperhatikan dan menulusuri sejarah masa lampau itu akan banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.
Mulailah taxi yang saya tumpangi dipenuhi oleh cerita-cerita tentang bagaimana ayam kampung dan ayam negeri mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Ayam kampung sebagai representatif kehidupan orang Indonesia zaman dahulu, sedangkan Ayam Negeri sebagai representatif kebanyakan masyarakat Indonesia masa kini. Misalnya ketika supir taxi itu mengumpamakan ayam kampung dimana kalau dikagetkan dia hanya terkejut saja sedangkan ayam negeri kalau mendengar suara yang mengagetkan langsung mati. Begitu juga dengan orang zaman dulu yang lebih sehat dibandingkan orang Indonesia sekarang yang sering jantungan. Kekuatan fisik orang zaman dulu juga bisa dilihat dari waktu kerja mereka ke sawah yang dimulai dari pagi buta, sering kena panas dan hujan, bahkan tidur hanya dilantai beralaskan tikar dan berselimut sarung, tetapi mereka tidak pernah ada masalah dengan tubuhnya. “Coba kalau orang jaman sekarang, kehujanan sedikit bisa flu, tidur di lantai bisa masuk angin, bahkan jatuh di kamar mandi saja bisa langsung kena stroke…, itu karena mereka semua mengkonsumsi ayam negeri. Kalau ayam kampung memang biasa berkeliaran dimana-mana, tidurpun bertengger di pohon sampai pagi.” jelasnya kepada saya. Cerita tentang ayam kampung dan ayam negeri terus keluar dari mulut supir taxi itu, andai saat itu ada obat bius di dekat saya, pasti supir taxi itu sudah saya suntik.
Akhirnya kampanye tentang bahaya mengkonsumsi ayam negeri itu berhenti juga karena saya sudah sampai ke tempat tujuan, sambil menerima selembar dua puluh ribuan dari saya, supir taxi itu mengatakan bahwa dia sudah banyak menyampaikan pesan ini kepada setiap penumpang yang naik kedalam taxinya. Bahkan banyak penumpang yang menyatakan setuju dengan pendapatnya itu. Dia berkeinginan menyampaikannya kepada seluruh masyarakat Indonesia agar tidak mengkonsumsi ayam negeri. Saya pun mengucapkan terima kasih kepada supir taxi itu karena baru kali ini naik taxi serasa ada ayam di sekeliling saya.
Sambil menunggu antrian, kepala saya belum sepenuhnya bisa melupakan pengalaman di dalam taxi tadi, ayam negeri memang salah satu hasil rekayasa gen yang andal, pengetahuan manajemen yang luar biasa dan kemajuan ilmu bermutu tinggi yang dibuat manusia di era industrialisasi modern tentu saja membuat usia pemeliharaannya menjadi jauh lebih pendek dari ayam kampung, tahapan pembesarannya sangat cepat dan memiliki daya produktifitas daging lebih tinggi. Ini yang kemudian membuat ayam negeri menjadi populer di Indonesia. Namun demikian perkembangan sepesat itu belum mampu membuat manusia mengungkapkan semua rahasia yang terdapat dalam diri ayam. Pengetahuan manusia pada binatang ciptaan Allah, SWT itu tetap saja tidak akan lebih dari sebutir debu di padang pasir yang luas. (An Nahl : 8).
Tanda-tanda keterbatasan ilmu pengetahuan manusia adalah mengenai rahasia dibalik pertumbuhan ayam negeri yang luar biasa itu. Logikanya, ayam negeri yang selalu hidup di kandang yang bagus dengan berbagai fasilitas dan kebersihan yang membuat ayam negeri itu nyaman, ditambah dengan makanan khusus yang penuh gizi dengan jadwal yang teratur akan membuat ayam negeri memiliki kelebihan dalam segala hal dibandingkan ayam kampung. Tapi kenyataannya ayam negeri justru menjadi sangatlah sensitif, sedikit saja keadaannya menyimpang dari yang seharusnya, ayam negeri itu langsung sakit, yang lainnya pun ikut sakit dan akhirnya semua ikut mati. Meski bergelimang berbagai kenyamanan, ayam negeri itu sesungguhnya sudah kehilangan identitas diri sebagai makhluk hidup, ayam negeri telah diubah oleh manusia menjadi mesin penghasil daging dan telur dalam jumlah besar dan waktu yang singkat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Baca juga: Catatan Irvan Hq: Pulang Kampung
Kehilangan identitas diri juga banyak dialami generasi muda saat ini, dalam belajar, bekerja dan meniti karir, kebanyakan generasi muda menghendaki kehidupan yang nyaman seperti ayam negeri. Selesai sekolah, rata-rata membayangkan dirinya diterima bekerja di sebuah perusahaan yang besar, menerima gaji besar, mendapatkan sejumlah jaminan dan fasilitas, mampu membeli rumah dan mobil sendiri, serta berkantor di salah satu gedung megah dan mewah. Mendambakan hidup enak, semua kebutuhan terpenuhi, jauh dari beratnya perjuangan hidup, jauh dari gemblengan dan tantangan alam, tidak tahu bagaimana beratnya banting tulang dan bercucur keringat. Sama seperti ayam negeri yang menerima kenyamanan dan berbagai fasilitas dari majikannya.
Disadari atau tidak pada saat yang sama sebenarnya kita telah kehilangan kebebasan diri sebagai hak azasi manusia yang paling hakiki, kehilangan semangat dan daya juang. Status diri kita telah diubah menjadi mesin yang sangat produktif demi kepentingan majikannya, sama seperti ayam negeri. Meski tidak ada yang salah untuk memperoleh kesejahteraan, kesenangan dan kemewahan bagi diri sendiri dan keluarga, namun falsafah ayam negeri membuat kita menjadi generasi yang ringkih, getas, sensitif dan mudah patah semangat. Generasi ayam negeri mengubah kita menjadi figur yang selfish dan egois, selalu mementingkan diri sendiri. Tidak ada lagi rasa perihatin dan empati kepada sesama. Apalagi keinginan berkorban untuk orang lain.
Ayam kampung yang berbeda dalam banyak hal, hidup bebas di alam lepas, pergi ke sana-ke mari mencari makan, bermain, dan bercengkerama, tidur seadanya dan di mana saja. Ayam kampung mencari makan sendiri, berjuang menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan, berpanas-panasan dan berhujan-hujanan, memakan apa saja yang bisa dimakannya, tidak peduli kotor demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari. Meskipun demikian ayam kampung mempunyai daya tahan yang kuat dan umur yang lebih panjang. Kehidupan ayam negeri adalah salah satu tanda-tanda di sekitar kita yang diberikan Allah SWT untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. (Az Zariyat : 51). (*)
Irvan Hq, adalah CEO biem.co dan Ketua Umum Banten Muda Community. Di sela waktu padatnya bekerja di sebuah perusahaan, Irvan menyempatkan diri membuat tulisan ringan sebagai catatan dari berbagai persoalan sosial kehidupan yang terjadi di sekelilingnya.