biem.co — Sabtu 29 Juni 2013 jam 11.45 saya bergegas merapihkan meja kerja, tidak ingin ketinggalan bis yang akan mengantar pulang, saya segera naik ojek sampai ke pinggir tol. Niat Abah untuk mengumpulkan keluarga besarnya hari ini tidak boleh tercederai oleh ketidak hadiran menantunya yang jarang datang hanya karena mengutamakan urusan pekerjaan di pabrik. Saya sudah tidak peduli dengan pemandangan sebuah truck yang terguling di pinggir tol atau macet yang memanjang di depan pintu tol Serang Timur. Saya ingin segera sampai di rumah Abah.
***
Setelah menghabiskan nasi putih, sate dan ayam bakar diatas daun pisang yang sudah disiapkan oleh istri tercinta, rapat keluarga pun di mulai. Dengan khusyu kami mendengarkan wasiat apa yang hendak disampaikan Abah pada kami, bukan persoalan keluarga yang dibahas, bukan pula harta warisan yang dibacakan. Abah hanya membacakan persiapannya untuk pulang kampung yang sudah begitu matang, begitu lengkap dan begitu detail. Semua kebutuhan dan teknik yang dianggap terbaik dalam perjalanannya nanti terlihat sudah begitu siap. Perjalanan Abah ke suatu tempat yang pasti kita semua akan kembali kesana, yang boleh jadi kita luput dari persiapan-persiapan yang terencana, lalai dari hal-hal apa saja yang mesti dilakukan secara teratur dan tersusun rapih. Kita lupa bahwa tempat ini seharusnya menjadi bagian dari rencana kehidupan kita menuju ke suatu tempat yaitu Kampung akhirat
Sebagian dari kita mungkin masih takut akan datangnya hari kematian itu, namun bagi Abah kampung akhirat adalah tempat yang mulai dirindukannya. Begitu baiknya perbekalan yang telah beliau persiapkan mempengaruhi ketenangannya untuk menghadapi perjalanan panjangnya. Abah sadar betul bahwa setiap orang pasti akan mengalami kematian (al-‘Araf [7]: 34). Menurut Abah, kematian itu ibarat pintu yang sekali kita melewatinya, sudah pasti kita tidak akan mungkin kembali lagi. Kehidupan kita akan beralih dari kehidupan di alam dunia yang fana, ke alam kubur, sampai kemudian kita akan beretemu dengan hari dimana kita akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Allah, SWT.
Wasiat yang pertama Abah sampaikan adalah apabila beliau sakit jangan dibawa ke rumah sakit. Mengingat usianya yang sudah sepuh, beliau tidak ingin merepotkan keluarga dan tentu saja beliau ingin pada saat sakaratul maut ada anak-anaknya yang menemani dan membimbingnya agar bisa meninggal dalam keadaan mengingat Allah SWT. Mengapa demikian, karena pada saat menjelang kematian, kondisi seseorang seperti mabuk karena merasakan penderitaan dan rasa sakit yang tidak terkira. Malaikat mencabut nyawa secara perlahan mulai dari kaki hingga ke tenggorokan, sakitnya diumpamakan seperti menguliti kambing dalam keadaan hidup atau diumpamakan seolah-olah hidungnya sedang terendam air dan bernafas dari lubang jarum, kemudian terasa seperti dahan berduri naik dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun. (Ibnu Jauzi, at-Tabshirah, 1/213).
Wasiat yang kedua dari Abah saat kematiannya datang dan ruh sudah terlepas dari tubuhnya, maka beliau ingin keluarganya saja yang memandikannya (Ahmad, 4/17176; Ibnu Majah, 1/1455). Yang tidak kalah pentingnya menurut Abah apabila telah tiba waktunya pulang ke Kampung akhirat adalah untuk segera memandikan, mengafani dan menguburkannya (Shahih Bukhari, 1/1252; Muslim, 2/944). Dengan menyegerakan, Abah berharap anak-anaknya masih berkesempatan untuk meregangkan persendiannya agar tidak kaku dan menekan perutnya agar tidak kembung. Meluruskan kaki serta meletakkan kedua tangannya agar bersidekap seperti dalam keadaan shalat. Abah sudah menyiapkan kain kapan (12 meter), tutup lajur panjang (8 meter), baju gamis (3 meter) dan sorban (1 meter). Bukan hanya itu, Abah sudah mempersiapkan uang untuk biaya mengurus jenazah beliau dan juga istrinya nanti. Secara detail Abah mengingatkan kepada anak-anaknya posisi mayat saat disolatkan, ukuran makam sampai biaya apa saja yang akan menjadi pengeluaran.
Rapat keluarga pun kemudian tenggelam membicarakan hal-hal teknis dalam mengurus jenazah, mulai dari memandikannya, mengafaninya, menyolati, memakamkan hingga ketentuan pembagian warisan. Subhanallah, belum pernah saya melihat ada orang yang begitu siap menghadapi kematiannya. Abah menyadarkan saya bahwa kehidupan di dunia merupakan ujian dari Allah SWT untuk mengetahui apakah kita tunduk dan ta’at kepada-Nya (al-Mulk [76]: 2). Kehidupan dan kematian manusia ditentukan oleh Allah SWT. Manusia tidak sedikit pun mampu untuk mengubah ajal yang akan menimpa dirinya. Kita dituntut untuk selalu mengingat kematian agar dapat mempersiapkan diri untuk kedatangannya dan tidak terlena dengan nikmat duniawi (Tirmidzi, 4/2307, hadits hasan gharib; Nasa’I, 4/1824; Ibnu Majah, 2/4258). Bahkan untuk mengingat kematian, Kanjeung Nabi juga memerintahkan agar umat Islam mengunjungi rumah pembaringan di dunia (Muslim, 2/976). Duh, jadi kangen sama almarhum Bapak…
Irvan Hq, adalah CEO biem.co dan Ketua Umum Banten Muda Community. Di sela waktu padatnya bekerja di sebuah perusahaan, Irvan menyempatkan diri membuat tulisan ringan sebagai catatan dari berbagai persoalan sosial kehidupan yang terjadi di sekelilingnya.