biem.co — Tradisi budaya yang khas berkembang di masyarakat Indonesia adalah tradisi mudik jelang Ramadan dan jelang lebaran. Kerinduan akan kampung halaman, sanak famili, orangtua, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada, menjadi spirit tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Muslim, yang beraktifitas atau berkarir di daerah perantauan. Tradisi mudik ini seolah sudah menjadi bagian ibadah ritual yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak heran jika tiket kereta api dengan berbagai tujuan jauh-jauh hari sebelum Ramadan sudah habis, dibeli oleh para calon pemudik. Jelang Ramadan biasanya mudik dimaksudkan untuk berkunjung silaturahmi kepada keluarga dan saling mohon doa dan bermaafan menghadapi bulan Ramadan, sambil melakukan ziarah dan kirim doa, serta bersih bersih makam kedua orang tua bagi yang sudah meninggal orangtuanya di kampung halaman, sekaligus juga mengobati kerinduan terhadap suasana tarawih perdana di tanah kelahiran.
Tradisi mudik lebaran juga seakan telah menjadi ritual bagi seluruh kalangan. Baik kalangan ekonomi menengah ke bawah maupun ke atas ikut menikmati tradisi tersebut. Atmosfir kampung halaman, berkumpul bersilaturahmi keluarga terasa sangat mewarnai suasana mudik, dengan berbagai motivasi yang menyertai para pemudik. Misalnya, rindu kampung halaman, sungkem orang tua, silaturahmi dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal dunia, dan bahkan ada yang ingin berbagi kebahagiaan dengan sesama. Mudik lebaran bahkan sudah seperti menjadi fardhu a’in bagi muslim yang hidup di perantauan. Hampir semua mode transportasi dipadati oleh pemudik, termasuk yang membawa langsung kendaraan pribadi ikut meramaikan suasana jalan raya yang menjadi jalur mudik dengan segala perbekalannya, dengan membawa suasana kebatinannya masing-masing, ingin menumpahkan rasa rindu, berbagi cerita dan pengalaman mengarungi dinamika kehidupan di perantauan, kepada sanak famili, kerabat, sahabat di tanah kelahiran. Para pemudik rela mengeluarkan banyak biaya, bersusah payah, berdesak-desakan, dan terkadang tidak memedulikan keselamatan diri. Fenomena seperti itu bisa dilihat di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Di sepanjang jalan seorang pemudik mengendarai sepeda motor berboncengan dengan membawa barang-barang dan perbekalan yang sangat banyak.
Baca juga: Fatah Sulaiman: Ramadhan Upgrade Kejujuran
Mudik adalah tradisi unik masyarakat Muslim Indonesia, yang telah ikut mempengaruhi perputaran roda perekonomian di pedesaan tanah kelahiran, sebagai dampak dari kebiasaan pemudik yang pulang kampung, dengan membawa hasil kerja di perantauan berupa uang dan barang dalam jumlah besar. Mereka yang datang dengan berbagai latar belakang sosial biasanya membagikan bingkisan lebaran kepada keluarga dan tetangga terdekat, yang merupakan implementasi ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi atau berbagi (religious giving).
Terlepas dari tradisi positif mudik dengan segala pernak perniknya, bagi umat muslim yang melaksanakan ibadah ramadhan, tentu saja jangan sampai melupakan hakikat mudik yang paling utama, yaitu mudik ke kampung rohani secara spiritual sebagai buah perjalanan pelaksanaan ibadah ramadhan, sebelum menuju ke mudik sejati menuju keabadian menghadap ilahi rabbi. Secara spiritual, mudik dalam Quran berarti kembali kepada ampunan Allah. Sebagaimana perintah Allah SWT dalam firmanNya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang hanya disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (QS Ali ‘Imran: 133).” Inilah perjalanan mudik utama yang harus dilakukan oleh muslim yaitu segera “mudik” dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan.
Baca juga: Spirit Toleransi dalam Keragaman di Tanah Jawara
Jika dalam tradisi mudik lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah SWT jelas dibutuhkan bekal yang lebih banyak lagi. Bekal yang harus kita bawa sebagai muslim yang telah menunaikan ibadah puasa dengan penuh suka cita dan keihlasan yang dilandasi keimanan adalah ketakwaan, yang akan tercermin pada perilaku kehidupan kita selanjutnya di dunia dalam bermasyarakat dan berbangsa, antara lain; menjadi muslim yang senantiasa mendahulukan maaf dibanding marah, bersabar dalam duka dan senantiasa berbagi di setiap karunia, menegakkan salat, mengamalkan kebajikan dan menebar kedamaian bagi sesama.
Derajat ketakwaan sebagai hasil ibadah puasa adalah bekal yang sangat berharga. Inilah sejatinya bekal mudik utama, menuju mudik sejati kembali kepada Penguasa Kehidupan dan Kematian semua mahluknya. Berbekallah untuk masa depan akhiratmu, maka sesungguhnya Sebaik-baiknya bekal adalah Ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini harus tercermin dari perilaku hidup yang bermakna dan bermanfaat bagi sesame, disisa perjalanan hidup seorang muslim di dunia fana, sebagai hasil pendidikan dan pelatihan kesabaran, kedisiplinan, pengendalian diri, selama melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Dr. H. Fatah Sulaiman, adalah Sekretaris MUI Banten dan Ketua PW Almaarif Nahdlatul Ulama Provinsi Banten.