Oleh H. Uus M. Husaini, Lc., M.Pd.I
biem.co – Salah satu daya tarik yang begitu hebat dari bulan Ramadhan adalah adanya satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Malam itu dikenal dengan lailatul qodar (malam ketetapan atau malam kemuliaan). Semua orang berusaha memburunya, tua muda, kaya miskin, laki-laki maupun perempuan.
Sebagaimana difahami bersama bahwa Lailatul Qodar adalah malam mulia yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an[1]. Banyak limpahan anugerah Allah yang tercurah pada malam itu. Malam ketetapan itu setiap tahun turun. Dan kita tentu ingin menyambutnya, kita ingin agar malam itu datang menemui kita. Agar malam itu datang menemui kita, tentu saja memerlukan persiapan untuk mendapatkannya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kapan lailatul qodar itu turun?
Banyak kalangan beranggapan, bahwa malam qodar terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagian lagi beranggapan bahwa malam itu terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Walaupun menurut penulis, sampai saat ini belum menemukan nash-nash yang shahih memastikan datangnya Lailatul Qodar, bahkan pendapat para ulama tersebut cenderung berbeda-beda sehingga kita merasa bingung dan kesulitan menentukan kapan kira-kira Lailatul Qodar akan datang.
Memang dalam beberapa hadits Rasulullah pernah bersabda, bahwa di sepuluh malam terakhir Rasulullah menyuruh kita untuk mengencangkan ibadah. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. bahwa Rasulullah Saw apabila memasuki sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”[2]
Semakna dengan hadits di atas disebutkan juga bahwa Rasulullah Saw jika memasuki sepuluh hari (terakhir di bulan Ramadhan), Beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh (beribadah) dan mengencangkan kainnya.” Dalam keterangan yang lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah Saw bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” [3]
Masih dalam riwayat Aisyah juga diterangkan bahwa Rasulullah ber’itikaf (berdiam diri untuk beribadah di masjid) di sepuluh terakhir di bulan Ramadhan sampai Rasulullah meninggal dunia kemudian dilanjutkan (kebiasaan tersebut) oleh isteri-isterinya.[4]
Dan beberapa hadits lainnya yang mengisyaratkan bahwa lailatul qodar terjadi di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Namun, apabila ditanya tentang kepastiannya? Maka jawabannya tidak ada yang bisa memastikan. Bahkan bisa jadi, hadits-hadits tersebut muncul karena Rasulullah mendapat “informasi” bahwa suatu saat nanti umatnya tidak lagi meramaikan masjid dengan ibadah di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, karena fokusnya beralih pada baju baru, sandal baru, peci baru, kue untuk lebaran dan lain sebagainya yang serba baru. Shalat taraweh tidak lagi ramai seperti malam-malam pertama di bulan Ramadhan, yang ramai justru mall, toko-toko dan pusat perbelanjaan lainnya.
Menurut keterangan sebagian ulama, lailatul qadar sesungguhnya merupakan pengalaman personal. Ia merupakan peristiwa ruhani yang bisa dialami dan dirasakan secara berbeda oleh tiap orang. Karena malam kejadian itu peristiwa personal, adakalanya seseorang yakin bahwa ia sedang mengalami malam seribu bulan itu.
Di sisi lain, lailatul qadar juga terkait tentang kesungguhan orang menyambut bulan suci Ramadhan, ketekunan beribadah dan mengisi Ramadhan dengan amalan yang terbaik. Hikmah lailatul qadar bisa didapatkan semua yang terjaga dengan niat ibadah pada malam tersebut, akan tetapi pengalaman ruhani yang terjadi pada malam itu hanya dialami oleh mereka yang mengisi bulan Ramadhan dan malam-malamnya dengan kesungguhan hati. Kemungkinan kita hanya bisa melihat indikator seseorang mendapatkan lailatul qadar adalah perubahan sikap yang semakin baik pada satu tahun ke depan dibanding tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika kita menganalogikan lailatul qodar dengan datangnya hari kiamat, yang menjadi rahasia Allah, dan hanya Allah saja yang tahu kapan datangnya. Tentunya dengan hikmah, agar kita tetap beribadah sepanjang waktu dan tidak terjebak pada tebak-tebakkan tanggal, atau malam ganjil dan genap. Jangan sampai, ketika malam ganjil kita sibuk meramaikan malam dengan memperbanyak ibadah, namun tidak demikian halnya dengan malam-malam genap.
Yang jelas, alangkah nikmatnya jika ibadah yang kita lakukan, kita bisa melakukannya dengan penuh keikhlasan, lurus dan tulus, tanpa perlu menghitung-hitung seberapa besar pahala yang akan kita dapatkan dengan cara ini dan itu dan lain sebagainya, karena Allah adalah zat yang Maha Adil dan Maha Mengetahui, yang terkadang tanpa kita mintapun Allah pasti akan memberi.
Mumpung kita masih punya waktu dan kesempatan, mari kita isi Ramadhan kita dengan melakukan amalan yang baik, bahkan yang terbaik di setiap hari, di sepanjang malam di bulan Ramadhan. Sehingga dengan demikian, kita berpotensi untuk mendapatkan malam kemuliaan tersebut. Semoga, semoga…
[1] Q.S. al-Qodar [97]: 1
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqolany, Fath al-Bary Syarh Shohih al-Bukhory, bab al-amal fi al-‘Asyr al-Awakhir mi Ramadhan, (Daar el-Royyan li al-Turots, 1986 M/1407 H), h. 1920
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
[3] Yahya bin Syarof Abu Zakariya bin al-Nawawy, Syarh al-Nawawy ala Muslim, (Daar el-Khoir, 1996 M/1416 H), h. 1174
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ صُبَيْحٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
[4] Ali bin Sulthon Muhammad al-Qory, Mirqot al-Mafatih Syarhu Misykat al-Mashobiih, (Daar el-Fikr, 2002 M/1422 H), h. 1446
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Uus Muhammad Husaini, adalah Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi