Oleh Asep Abdurrahman
biem.co – Kembali, dunia pendidikan tinggi dikagetkan dengan rencana pemilihan Rektor yang mengalami perubahan. Prosedur pemilihan Rektor yang awalnya ditentukan oleh senat dan menteri sekarang ditentukan oleh Presiden.
Penentuan Rektor selama ini dinilai kurang transparan, karena sejumlah alasan teknis strategis telah mencederai dunia akademik. Misalnya: munculnya kasus suap pemilihan Rektor, kedekatan calon Rektor dengan internal Kementrian, jual beli suara, dan lain sebagainya.
Adanya kasus di atas membuat Kemenristekdikti beberapa waktu yang lalu berencana akan mendatangkan dosen luar negeri untuk menjadi rektor universitas negeri di Indonesia yang menimbulkan pro dan kontra. Ide impor rektor itu bertujuan meningkatkan kinerja universitas, terutama bidang penelitian yang masih rendah. Asumsinya, kualitas Rektor berpengaruh signifikan terhadap kemajuan universitas, khususnya penelitian.
Munculnya rencana tersebut, membuat kalangan praktisi pendidikan menjadi gelisah, kehilangan semangat akademik karena posisi Rektor adalah sangat strategis menentukan arah dunia kampus. Terlebih pembangunan kedewasaan akademik dimulai dari universitas yang bertransformasi ke masyarakat lewat alumni universitas yang telah menyandang lulus alias sarjana.
Mekanisme Pemilihan Rektor
Rektor, dilihat dari fungsi dan tugas sehari hari memang sangat strategis dalam mengelola lembaga pendidikan tinggi. Sebagai seorang manajer, Rektor mempunyai kewajiban mengelola akademik, kemahasiswaan, keuangan, kehumasan dan semua yang berbau iklim akademik di lingkungan universitas.
Belum lagi Rektor harus mengkoordinasikan dengan para Dekan yang diwakili oleh tugas Wakil Rektor, agar irama universitas dapat berjalan sesuai dengan visi misi Universitas. Semua itu membuat jabatan Rektor dipandang sebagai tugas yang sangat strategis. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan catatan penting sebagai pihak yang terlibat langsung dalam proses pemilihan Rektor.
Maka, pemilihan Rektor sebagaimana diungkapkan dari Koran Sindo 2/6/ diatur dalam Permendikti Nomor 1/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/ Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri. Dalam Pasal 7 disebutkan, menteri dan senat melakukan pemilihan rektor dalam sidang senat (huruf a). Pemilihan tersebut dilakukan dalam sidang tertutup dengan ketentuan menteri memilik 35% hak suara dari total pemilih, sedangkan senat memiliki 65% hak suara dan tiap anggota senat memiliki hak suara yang sama. Konsekuensi atas aturan itu adalah sering terjadi calon rektor yang sangat populer atau meraup dukungan besar di kampus gagal terpilih. Porsi 35% suara itu juga yang sering memunculkan kritik bahwa pemilihan rektor dianggap tak transparan.
Mereka yang dianggap memiliki koneksi dengan Kementerian akan dengan mudah terpilih. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah menemukan indikasi suap dalam pemilihan sejumlah rektor PTN. Nilai suap disebut bervariasi antara Rp 1,5 miliar sampai Rp 5 miliar. Sejumlah orang diduga menggunakan suap untuk memanfaatkan proporsi 35% hak suara menteri.
Kekhawatiran akan pemilihan Rektor yang kurang transparan, menyebabkan pemerintah mengambil arah kebijakan pemilihan Rektor dengan presiden sebagai penentu akhir dari proses pemilihan Rektor. Maka ini adalah jalan terjal pemilihan Rektor bagi calon Rektor yang mendapat persetujuan dari internal universitas.
Sekelumit Pemilihan Rektor
Dalam konteks ini, biasanya argumen yang dijadikan dasar untuk membenarkan Menteri mempunyai wewenang untuk menentukan calon rektor di perguruan tinggi negeri adalah bahwa rektor adalah perpanjangan tangan dari kebijakan Menteri. Rektor haruslah yang sesuai dengan visi misi dan mampu menjabarkan kebijakan menteri. Tidak mungkin seorang rektor bertentangan dengan Menteri sebagai atasannya. Oleh karena itu, adalah hak Menteri untuk memilih siapa calon rektor yang dianggapnya mampu bekerja sama dengannya. Selain itu, dengan otoritas Menteri memilih Rektor, maka biaya politik calon menjadi semakin ringan dan riak-riak yang terjadi akibat gesekan antar elemen di perguruan tinggi tersebut dapat diminimalisir.
Kalau Senat Perguruan Tinggi atau Majelis Wali Amanat (MWA) yang memilih rektor dan Menteri tinggal meng-SK kan dan melantik, maka akan terjadi kubu-kubuan. Calon yang kalah akan menjadi oposisi dan tidak akan mendukung calon yang menang. Pada gilirannya akan terjadi perkembangan yang tidak sehat dalam perguruan tinggi tersebut.
Sepintas argumen ini benar. Namun demikian, bila dikaji lebih lanjut, argumen tersebut dapat dibantah karena perguruan tinggilah yang paling mengerti tentang kampus . Sebagai lembaga ilmiah yang memiliki kebebasan mimbar dan kebebasan akademik, perguruan tinggi idealnya terbebas dari kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Perguruan tinggi yang bersangkutanlah yang paling paham tentang siapa yang paling layak dan paling siap untuk memimpin. Rektor yang dipilih berdasarkan suara terbanyak di lingkungan internal perguruan tinggi secara relatif menunjukkan bahwa itulah yang terbaik menurut perguruan tinggi tersebut. Sang Rektor pun, menurut hemat saya, dapat menyesuaikan diri dengan visi misi dan kebijakan Menteri. Sangat kecil kemungkinan Rektor terpilih akan menempuh jalan yang berseberangan dengan Menteri.
Sebaliknya, kalau Menteri memilih dan mengangkat calon yang kalah, akan terluka psikologis calon yang menang dan para pendukungnya. Untuk apa mereka sebelumnya berjuang, kalau akhirnya di tingkat Menteri akan berakhir kalah. Hal Ini dapat dikatakan sebagai pembunuhan demokrasi di dunia perguruan tinggi. Ini justru akan mempertajam konflik di kalangan elemen kampus dan menyuburkan aroma dendam. Alasan bahwa akan terjadi kubu-kubuan kalau pemilihan diserahkan ke Senat/MWA juga tidak sepenuhnya tepat.
Argumen ini sudah mempersepsikan bahwa para orang-orang berilmu di perguruan tinggi sama dengan politisi yang bertarung hidup-mati untuk memperoleh posisi-posisi politik strategis. Orang-orang perguruan tinggi adalah mereka yang terhormat yang lebih mengedepankan etika akademik dan kesantunan daripada kepentingan politik.
Saya yakin mereka masih dapat menjaga integritas moral, karena mereka mengedepankan kepentingan bersama perguruan tinggi. Tidak jarang pimpinan perguruan tinggi terpilih menjadikan saingannya sebagai wakilnya untuk membantu memajukan perguruan tingi tersebut. Dalam suatu kasus, beberapa tahun lalu, seorang pemimpin terpilih fakultas di sebuah perguruan tinggi negeri justu mengajukan pesaingnya sebagai wakilnya dalam bidang akademik. Bahkan pesaingnya yang lain diusulkannya kepada pimpinan perguruan tinggi untuk menjadi wakil rektor. Ini artinya bahwa dunia kampus sebenarnya masih bisa steril dari kepentingan-kepentingan politik.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi