Oleh Egi Mahbubi
biem.co – Asep belajar bicara dan mulai dapat mengucapkan suku kata demi suku kata. Mula-mula Nenek mengajarinya ba, bi, bu. Asep perlahan mengikuti ucapan Nenek. Selanjutnya, Nenek mengajarkan beberapa suku kata: I-bu. Namun, entah mengapa, kata yang pertama bisa Asep ucapkan adalah Ba-bi. Nenek selalu mengatakan kepada Asep agar tidak mengucapkan kata itu. Meski Asep, yang belum genap dua tahun, belum tentu memahami perkataan Nenek.
Barulah setelah bisa mengucapkan ba-bi, Asep mampu mengucapkan i-bu. Perasaan Nenek sangat bahagia. Asep terus mengulang-ulang mengucapkan kata itu. Kemudian ia pun dapat mengucapkan dua kata itu secara bersamaan. Nenek terkejut mendengar Asep mengucapkan ba-bi-i-bu. Kadang ia mengucapkan dengan terbalik, i-bu-ba-bi. Nenek menjadi gusar. Ia khawatir ini akan menjadi kebiasaan yang terbawa sampai Asep tumbuh besar.
***
Asep merupakan anak hasil pernikahan Sari dan Maman. Kehadiran Asep di tengah-tengah pasangan suami-istri yang belum genap tiga tahun membangun rumah tangga itu nyatanya tak mampu menjadi perekat untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Jalinan kasih di antara mereka harus kandas kereka sudah tak mampu lagi berdamai dengan masalah-masalah yang selalu tak selesai dengan damai.
Sari tak tahan lagi dengan sikap Maman yang tidak mau berusaha keras untuk mencari nafkah. Maman yang hanya lulusan SMA itu hanya bekerja sebagai supir truk di sebuah perusahaan pertambangan batu. Penghasilan Maman sangat minim untuk mengongkosi kebutuhan keluarga. Dan yang tak dapat Sari terima, kebiasaan Maman nongkrong di warung-warung, minum-minuman, berjudi, dan barangkali, main mata dengan perempuan yang ditemui di tengah jalan saat ia harus menempuh perjalanan panjang dari kota ke kota.
Kebutuhan hidup keluarga semakin bergelayut di pundak Maman setelah kehadiran si buah hati. Kehadiran anak pertama mereka nyatanya tak lekas membuat hati Maman bangkit untuk menemukan jalan usaha dari pelbagai arah. Maman malah semakin bingung harus berbuat apa. Pikirannya silang sengkarut bagai benang kusut. Emosinya dengan mudah tersulut sehingga aa dan Sari menjadi mudah sekali bertengkar. Hal-hal kecil yang seharusnya bisa dibicarakan dengan duduk bersama malah berujung perkara. Hampir setiap hari mereka tak luput dari pertengkaran. Perkakas rumah tangga kerap menjadi sasaran luapan emosi. Barang-barang beterbangan, pecah, menjadi bunyi-bunyi yang lumrah memukul telinga para tetangga.
Puncak pertikaian mereka terjadi ketika pemilik kontrakan sudah tak bisa lagi berbaik hati. Ini sudah memasuki bulan kelima mereka tidak membayar sewa. Sementara Maman tak tahu lagi harus mencari uang dari mana. Orang-orang sudah tidak ada yang percaya kepadanya, begitu juga dengan saudara-saudaranya yang sudah seringkali memberinya pinjaman.
Sari kini sudah tak kuasa lagi bersabar pada Maman yang seolah tak punya daya apa-apa untuk menemukan jalan keluar dari himpitan ekonomi. Ia meminta ijin kepada Maman untuk pulang ke rumah orang tuanya sementara waktu untuk menenangkan diri. Maman merasa tersinggung dengan sikap Sari. Ia memaki dan membanjiri Sari dengan kata-kata yang terdengar begitu sarkas.
“Babi!”
Sari mengurut dadanya yang bergetar karena denyut jantung yang tiba-tiba berdebar.
“Kenapa aku harus punya laki sepertimu?!”
Maman terperangah mendengar pertanyaan itu. Ia sangat ringan tangan untuk melayangkan tamparan di pipi Saridan meninggalkan tanda merah di pipi Sari untuk pertama kali. Sari tak kuasa menahan tangis. Ia menutup muka dengan telapak tangan kirinya sementara satu tangannya lagi mendekap Asep yang berada dalam gendongannya. Suara gaduh percekcokan mereka membuat tangis Asep pecah meski tak mampu menghentikan pertikaian.
“Mulai sekarang kamu saya talak!”
Sari menuju kamar berkemas pakaian yang dibundel dengan sarung dan membawa serta Asep meski tangisnya belum juga reda. Maman hanya bisa berdiri mematung di depan pintu menyaksikan kepergian Sari seraya menahan tubunya yang gemetar. Sebenarnya ada sedikit sesal yang terselip di bilik hatinya namun segera terbakar oleh amarah yang masih menyala. “Ah… Babi!” sekali lagi ia mengumpat dengan suara lantang seraya menendang pintu.
***
Setelah pisah dari Maman, Sari harus menjalani hari-hari yang berat. Ia mulai memikirkan jalan hidup. Asep butuh susu, butuh bubur, atau barangkali butuh sosok seorang ayah? Ah, belum kering luka yang menganga di dada perempuan yang masih sangat muda untuk mengalami kegagalan rumah tangga. Tapi bagaimana ia bisa mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan? Ia tak ingin terus menerus membebani orang tuanya yang hanya seorang kuli tandur.
Ia berpikir untuk bekerja di luar negeri. Bibinya yang telah lebih dulu bekerja di Saudi sempat mengajaknya. Sari menimbang-nimbang dengan matang. Jika ia bekerja di sana, berarti ia harus meninggalkan Asep dan orang tuanya yang sudah mulai lanjut usia. Meninggalkan kampung halaman yang telah memberinya cerita indah dan nestapa.
***
Lima tahun Sari meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari rezeki di Saudi. Ia telah mampu menopang perekonomian keluarga. Rumah tempat tinggalnya yang dulu tampak lapuk bagian-bagian dindingnya, kini telah direnovasi. Baru pada tahun ketiga ia pulang ke kampung halamam. Para tetangga tampak pangling ketika pertama melihat Sari setelah lama tak jumpa. Wajahnya tampak lebih ayu dengan wajah yang cerah dan badannya lebih terurus. Pakaian yang ia kenakan selalu rapih. Ditambah gelang emas berkilau melingkar di pergelangan tangan dan kalung melingkar di leher menjulur sampai ke dadanya yang kerap mengundang perhatian orang-orang yang berjumpa.
Kepulangannya Sari ke kampung halaman disambut seluruh keluarga, kecuali Asep. Lama tak bertemu, Sari bagaikan asing di mata anaknya. Setiap kali Sari ingin menggendongnya, Asep selalu menolak. Ia lebih lekat pada pelukan Neneknya. Sari begitu sedih, tetapi ia mencoba memahami. Mungkin terlalu lama ia pergi meninggalkan Asep sehinga ia menganggap Neneknyalah yang merupakan ibunya, yang selama ini selalu mengurusnya.
Neneknya tak bosan memberi pengertian kepada Asep agar ia yakin bahwa Sari adalah ibunya. Kepada Asep, ia kembali mengajarkan kata I-bu. Namun, Asep malah mengucapkan Ba-Bu. Kata itu terdengar seperti pecahan kaca yang menancap di hati Sari. “Ba-bi-i-bu,” ucap Asep di lain waktu. Duh, Sari…. Ia mencoba menegakkan hati yang seakan runtuh berkali-kali. Namun, meski perkataan itu teramat menyakitkan, ia tak pernah membenci Asep. Ia menganggap Asep hanya seorang anak yang masih putih pikiran dan perasaan. Ia hanya menirukan apa yang diterima dari sekitarnya. Dan Asep, telah mendengar kata Ba-bi sejak kedua orang tuanya kerap bertikai.
Semoga ini hanya masalah waktu, bisik batin Sari. Ia berharap kelak Asep memiliki pikiran dan perasaan yang lebih dewasa untuk menerima bahwa orang yang seperti asing baginya ini adalah ibunya. Namun, apakah asep bisa menerima jika kelak ibunya telah memiliki pengganti bapaknya? Sari berulangkali bertanya dalam hati. Ia kian dirundung sedih dan berat hati, apalagi jika nanti harus meninggalkan Asep kembali. Sari telah berjanji akan kembali mengabdi sebagai babu, apalagi ia juga terlanjur terikat perasaan dengan majikaannya yang kini telah menaruh hati. (*)
Serang, Januari 2017
Egi Mahbubi, lahir 1 Oktober 1992 di Serang, Banten. Menulis cerpen, novel, dan cerita anak.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.